(kiri: Sumanto, kanan dosen Unwahas Iman Fadhilah)
Hari Kamis kemarin (10/11), ada diskusi publik
di Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS), simbol yang tepat diambil dari nama
Wahid Hasyim untuk nama Universitas tersebut, selain beliau tokoh agama pada
masanya yang menghargai agama lain, juga termasuk pahlawan yang berjuang mati –
matian untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Beliau pula merupakan salah satu
panitia sembilan yang terlibat dalam perumasan dasar negara yaitu pancasila
yang dijadikan pedoman bangsa kita, ya bangsa Indonesia.
Lepas dari itu, beliaulah yang mengusulkan
nilai ketuhanan untuk dimasukkan dipoin yang paling tinggi. Yaitu “ketuhanan
yang maha esa”. Kalau belum tau atau lupa siapa Wahid Hasyim, beliau putra dari
pendiri NU Hadratus Syaikh Al Arif Billah KH. Hasyim Asyari dan ayah dari Bapak
presiden ke 4 KH. Abdur Rahman Wahid. Yang masyarakat memanggilnya dengan
sebutan Gus Dur.
Diskusi itu bertemakan Konstelasi politik
Timur tengah yang kebetulan narasumbernya Profesor muda yang telah banyak
menuangkan pemikirannya melalui Karya, salah satu Karyanya yang sempat kubeli
yaitu “NU Dari Politik Kekuasaan Sampai Pemikiran Keagamaan” beliau adalah staf
pengajar di salah satu perguruan Tinggi di Timur Tengah, Jabal Dahran, Saudi
Arabia. meski tingal disana beberapa tahun, namun materi yang disampaikan lugas
akan kebahasa Indonesiaannya, tidak seperti sebagian masyarakat kita, yang
perlahan – lahan sok kearab – araban atau kebarat-baratan memangil Akhi-Ukhti,
dan Akhok, you , ana, Ayem dan lain – lain.
Berhubung
ia putra dari petani desa kabupaten Batang Jawa Tengah, ia memperkenalkan
budaya dan tradisi Indonesia ke tempat dimana ia mengajar, termasuk bahasa
Indonesia. Lalu beliau berpesan “pelajarilah bahasa, apalagi bahasa Inggris
yang sudah menjadi bahasa dunia, itu penting. Namun cukup jadikanlah sebagai
alat saja,”Pesannya.
ia
adalah Sumanto Al Qurtuby yang kawan – kawannya memanggil dengan sebutan Kang
Manto. Yang timbul dibenak kawan – kawan saya, mengapa dia memilih mengajar di
luar negeri kok tidak di Indonesia, silahkan tanyakan sendiri jika dianggap
penting bagi kalian melalui Facebooknya “Sumanto Al Qurtuby” yang isi
komentarnya dipenuhi ribuan komentar dari para Facebookers, baik yang pujian
akan pemikirannya yang dituangkan dalam media massa ataupun cacian dari orang –
orang dewasa tapi bermental anak TK yang dengan mudahnya menyalahkan.
Hidup memang tak semanis madu dan tak seindah
surga meski saya tak pernah kesana, dibalik ada orang yang suka pasti ada orang
yang membenci, dibalik ada orang memuja dan memuji, pasti ada orang yang
mencela dan memaki, dibalik ada orang yang senang, pasti ada orang yang tidak
senang, ya beginilah, jangankan kita, Ataupun Pak Profesor Sumanto, seorang
Nabi Muhammad saja sosok utusan Tuhan yang membawa misi pekerti yang baik, ada
juga yang membenci, meski banyak yang menyambut baik akan kehadirannya. Cukup Koruptor
saja yang tak perlu dipuja, tak perlu dihormati, tak perlu disegani, tak perlu
disanjung, tak perlu dikasihi apalagi Dibela. Ya, kalau masih ada yang
membenarkan tindakannya, perlu diperiksa akalnya.
Inilah kehidupan
yang penuh rintangan dan tantangan, terdapat suka dan tak suka kepada kita,
yang penting jalani dan berbuat baik kepada semua orang, pesan kakekku sewaktu
masih hidup dulu, semoga Allah menerima segala amal ibadahnya dan mengampuni
dosa dan kesalahannya. kalau kita menyerah, kita takut untuk berbuat, kalau
takut berbuat, seakan kita menyerah sebelum bertempur, apakahsikap ini yang
dinamakan penakut ? entahlah.
Kamis itu, jadwal kuliah Full dari jam 07.00 –
sampai 12.50 selalu berlanjut tidak ada waktu senggangnya sama sekali, namun
berhubung Kuota Absensi masih tiggal 1 atau 2 saya lupa, terpaksa Saya izin
kebapak dosen melalui rayuan teman semoga bisa dimintai pertolongan, entah
diizinin sakit, ataupun bepergian, tapi yang jelas saya tidak masuk perkuliahan
beliau – beliau, namun bukan berarti saya bolos kuliah. Hanya saja menggantikan
kuliah diluar kampus. Yang tujuannya sama sama belajar. Bedanya materi yang
disampaikan saja.
Ada banyak materi baru yang belum pernah
ku jumpai sebelum diskusi itu yang tak mungkin saya share semua disini, baik di buku ataupun informasi lain mengenai
politik timur tengah, konflik antar masyarakat yang ditimbulkan karena
persoalan politik, beda dengan Indonesia yang sebenarnya konflik karena
politik, tapi yang lebih ditonjolkan nama – nama agama, sehingga yang terjadi
nama tuhan dibawa kemana-mana dalam artian dimana – mana mengatasnamakan tuhan.
Belum lagi masalah pakaian, menurut Kang Manto
sapaan akrabnya mengatakan “bangsa Indonesia ini lebih tertarik pada Covernya
dari pada isi ataupun Ruhnya.
“berjubah ataupun bercadar dikalangan
masyarakat Arab itu hanyalah cover atau casinngnya saja, sedangkan masyarakat
menghiraukan Ruhnya/spiritnya bagaimana masyarakat disana semangatnya dalam bekerja keras,
membaca, dan lain sebagainya,”Jelasnya kepada peserta.
Atau kalau menurut Emha Ainun Najib, manusia
harus mendambakan ISINYA KUTANG bukan
KUTANGNYA. Apapun Kutangnya yang penting isinya. Hehehe (jangan salah
tafsir lho ya..!)
Di tanah rantau, Minggu, 12 November 2017
Komentar
Posting Komentar