Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2019

Agama Dalam Perspektif Sosiologi

(saat diskusi sosilogi agama dalam perspektif tokoh)) Agama tidak saja berbicara soal hubungan dengan Tuhan. Cakupan agama lebih luas dan selalu dinamis bersamaan dengan perjalanan sejarah manusia dari waktu ke waktu. Karena menyusuri ruang dan waktu itulah kemudian agama sangat mungkin ditafsirkan oleh sebagian masyarakat perihal bagaimana agama dalam sudut pandang mereka. Tentu penafsiran tersebut tidak akan jauh dari batas teritorial dimana agama itu diyakini oleh masyarakat setempat, bisa jadi berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainya dalam soal memahami arti dari sebuah agama sesuai dengan apa yang mereka alami dan rasakan. Di sinilah tokoh seperti Max Webber dengan teori fenomenal dan kontruksionalnya, Karl Marx dengan teori struktral dan konfliknya, dan Emile Durkheim yang terkenal dengan teori fungsional-solidaritasnya memberikan sumbangsih pengetahuan pada wacana keaagamaan dalam perspektif sosiologi. K

Pesantren Sebagai Sub Kultur; Telaah Pemikiran Abdurrahman Wahid

Pesantren mempunyai ciri khas tersendiri dibanding lembaga pendidikan lain pada umumnya. kekhasan itu nampak terlihat di pembangunanya yang sederhana, cara berpenampilan orang yang mencari ilmu di dalamnya, dan lokasinya yang tinggal di wilayah pedesaan. Banyak peneliti menyebut tiga elemen di atas tidak bisa dipisahkan dalam melakukan kajian tentang pesantren. Namun ciri khas tersebut terbilang sangat sederhana dan terkesan normatif jika kajian pesantren hanya fokusi seputar terkait ketiganya. Memang ketiganya kaitan erat dan sangat nyata di dunia pesantren, tapi dalam kacamata Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, ada sebuah objek istimewa yang lebih dan cukup menarik dikaji dari lembaga sederhana itu, bahwa pesantren mempunyai kultur tersendiri dan berbeda daripada lembaga lain. Karenanya ia berpendapat pesantren merupakan sebagai sub kultur Paling tidak memiliki tiga elemen lagi agar dapat dikatakan pesantren seb

Pesantren Lembaga Pendidikan Masyarakat Grass root

Orang setinggi apapun pendidikanya dan di manapun ia mengenyam pendidikan, orientasi pertamanya harus diniatkan sekiranya bermanfaat pada orang lain. Entah lewat profesi atau jalan manapun. Ketika ilmu didapat, sudah seyogyanya perlu diabdikan buat kemaslahatan banyak orang. Seperti hadist nabi, beliau bersabda “Sebaik-baiknya manusia ia yang memberikan manfaat pada manusia lainya”. Memberi manfaat pada orang lain tidak saja lewat satu pintu, seseorang bisa lewat melalui berbagai sudut semampu seseorang tersebut dalam menebar manfaat pada orang lain. Atau paling tidak, tidak mendatangkan malapetaka terhadap mereka. Sehingga keberadaanya tidak menyusahkan dan ketiadaanya selalu dinanti dan dirindukan. Menanggapi hal itu lembaga pendidikan punya peran sentral dalam mendidik manusia ke arah tersebut. Lantas bagaimana pendidikan diharapkan mampu mengejewantahkan peranya ? Yaitu Pendidikan harus menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Sarung Pakaian Khas Masyarakat Agama Hindu

Di dunia pesantren kain sarung merupakan pakaian khas santri dalam kehidupan sehari-hari. Siapa sangka, pakaian yang oleh sebagian orang diklaim sebagai pakaian umat muslim ini pada dasarnya adalah pakaian khas milik masyarakat agama Hindu di Nusantara. Namun belakangan seiring dengan perjalanan pesantren dari masa ke massa, sarung pakaian khas masyarakat agama Hindu dianggap pakain santri atau lebih umumnya pakaian umat muslim. Santri yang tidak memakai sarung lebih-lebih ketika sudah pulang ke masyarakat bisa jadi dianggap kurang menyeriusi kesantrianya dan setengah-setengah memahami tentang agama Islam selama di Pondok. Soalnya kain sarung sudah terlanjur dipahami oleh sebagian orang sebagai pakaian yang dianjurkan dalam agama Islam. Padahal tidak demikian, anggapan negatif seperti itu oleh masyarakat terhadap santri yang berpenampilan berbeda dengan biasanya hanya karena masalah memakai celana atau tidak bersarung. Kesa

Pesantren, Tempat Teraman Menangkal Pengaruh Buruk Modernitas

Di tengah perkembangan zaman seperti saat ini dimana arus modernitas semakin merambah dalam segala lini kehidupan kita, seseorang membutuhkan hunaian alternatif yang bisa menjadi pelindung dari jajahan pengaruh negatif darinya (modernitas). Hunaian alternatif itu penulis masih punya keyakinan yaitu di pondok pesantren. Sampai saat ini pesantren dianggap merupakan lembaga pendidikan yang sangat ketat dalam memproteksi para santri dari pengaruh produk modernitas yang buruk seperti pergaulan bebas, narkoba, dan prilaku menyimpang lainya. Seiring berjalanya waktu, bergeraknya zaman, tidak mesti modernitas mendatangkan keberkahan bagi kehidupan keseharian kita. Kita perlu mewaspadai bahwa perkembangan zaman dengan segala kecanggihan tekhnologinya yang super juga berdampak petaka jika kita tidak menyikapi dengan fikiran analitis dan kritis. Berfikir Kritis Daya fikir kritis mutlak dibutuhkan sehingga kita tidak terkecoh di limbah

Adab Di Atasnya Ilmu; Sebuah Pembelajaran Etika Di Pesantren Jatim

Menyikapi selayang pandang masyarakat tentang kyai di Jawa Tengah ada perbedaan jika dibandingkan dengan di Jawa Timur. Perbedaan ini saya amati ketika menjumpai pertemuan-pertemuan yang di dalamnya ada kyai, santri, dan masyarakat. Baik dalam segi berpenampilan kyai-santrinya ataupun penghormatan masyarakat terhadap kyai. Penulis merasa terpancing menulis ini ketika penulis membaca artikel tentang pembahasan ini di website Alif.id dan di Mojok.co. Kedua situs tersebut menyoal perbedaan dalam soal etika di pesantren di Jawa Timur dan di Jawa Tengah. Kurang lebih judulnya seperti ini “kalau mau cari ilmu di Jawa Tengah, sementara kalau mau belajar adab di Jawa Timur”. Berhubung penulis berasal dan pernah tinggal di Pesantren di Jawa Timur, ada ketertarikan mengulas sedikit tentang pengalaman selama di sana. Sebanarnya semua pesantren di Nusantara sama, sama sama lembaga pendidikan berbasis agama. Mungkin hanya tipologi sistem pembel

Pesantren Menampung Semua Orang Tanpa Memandang Latar Belakang

Menuntut ilmu di pesantren tidak ada syarat ketat atau kriteria tertentu agar bisa diterima belajar di Pesantren. Tidak ada jalur yang beda-beda sebagaimana perguruan tinggi ketika membuka pendaftaran bagi calon mahasiswa baru. Di pesantren, semuanya masuk lewat jalur satu dengan catatan sesuai formulir yang tertera. Berdasar landasan ajaran agamanya yang kuat, kyai selalu menerima orang yang hendak belajar di pesantren dengan tangan terbuka, tanpa harus melihat latar belakang apapun dari mereka. Baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan kehidupan sebelumnya. Senakal-nakal apapun calon santri itu, kyai membukakan pintu dan mempersilahkan siapa saja belajar di pondok pesantren. Para kyai seperti dijelaskan kyai Husein Muhammad dalam bukunya Islam Tradisonal Yang Terus Bergerak sebagaimana diajarkan oleh agama Islam pada umumnya mengatakan “janganlah menolak orang yang belajar agama dan ingin menjadi baik” atau