Langsung ke konten utama

Genap Setahun Pengabdian


 


Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain. 

Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo.

Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan.

Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai pengembaraan pengetahuan di lembaga pendidikan tersebut, walaupun saya mengakui bahwa saya tidak memiliki baground pendidikan yang linear bahkan terbilang kontras dengan ijazah yang saya miliki.

Proses ini membawa saya untuk mengubah cara pandang bahwa manusia seperti saya hanya bisa merencanakan, semua ketetapan dan kepastian adalah Allah yang mengatur semua. Memang alasan yang terkesan spiritual, tapi begitulah keyakinan yang harus tertanam dalam sanubari saya, yang jelas apa yang dimulai bukanlah akhir dari segalanya. Selama manusia itu ada, maka proses kehidupan terus berjalan. Hikmah itulah yang kemudian saya pegang erat.

Mei 2022 genap tiga bulan saya mengabdi di SMP YIMA, Menjalankan tugas sesuai amanah dan tupoksi yang saya terima. Di sela-sela pasca mengajar itu, saya memiliki banyak waktu luang. Kesempatan waktu luang itu saya berusaha maksimalkan untuk membiasakan kemauan yang sudah saya bangun dan mulai sedari dulu, yaitu membaca dan menulis. Meskipun berupa tulisan sederhana atau sekedar menelurkan ide dan cerita kehidupan yang saya alami. Begitulah ritme hidup yang saya jalani: mengajar, mempersiapkan materi, membaca buku/jurnal/berita/novel atau karya sastra yang lain yang saya gemari, sesekali juga menulis.

Demi menjaga bahasa Inggris yang sudah saya pelajari pada saat di Kampung Inggris Pare sebelum di YIMA, saya juga manfaatkan untuk mengulang dan berlatih membuat kalimat sederhana dan melatih listening dengan mendengarkan podcast atau speech yang dikemas dalam bahasa inggris. Beruntung di YIMA ada program billingual yang membantu saya untuk mengembangkan bahasa inggis, sebuah ilmu kebahasaan yang baru saya sukai itu.

Ritme itulah yang saya kerjakan hari demi hari selama saya tinggal di SMP YIMA. Kebetulan saya diberi tempat duduk yang cukup leluasa sehingga saya dapat melakukan banyak hal untuk mengisi kekosongan waktu, apalagi saya tidak memiliki pathner yang duduk bersebelahan, sehingga saya hanya bisa fokus pada kepentingan saya sendiri.  Selain rutinitas itu setiap harinya, saya belajar mengerjakan tugas administratif sebagaimana biasanya.

Mengajar di lembaga pendidikan Islam layaknya YIMA, ini merupakan tempat ketiga selama saya diamanahi menjadi pengajar. Pertama tentu di pesantren, tempat di mana saya belajar. Kebetulan saat saya duduk di kelas XII saya diamanahi mengajari adik tingkat kelas X dan XI seputar ilmu alat di daerah/blog dengan durasi waktu yang tidak menentu tapi hampir setiap malam.  

Sebetulnya saya tidak menamai mengajar dalam posisi tersebut, lebih tepatnya sharing pengetahuan yang kebetulan saya sedikit mengerti. Tempat kedua adalah di Pesantren Misbahul Kamal Dadapan, asuhan Kyai Erfan Kamil yang kebetulan saat ini mengabdikan dirinya sebagai Ketua Tanaszaha Bondowoso. Kegiatan di pesantren tersebut Bernama Amaliah Bakti Santri/ ABS. Orientasinya adalah berupa pengajaran di lembaga pendidikan yang dimaksud dan berupa pengabdian pada masyarakat yang memang menjadi prasyarat kelulusan bagi kelas XII, tepatnya 2015 silam. PPL kalau anak kuliahan menyebutnya.

Sedikit bekal pengalaman mengajar dari sana itulah saya merasa terbantu untuk mengajar di SMP YIMA, meskipun saya belum sepenuhnya terbiasa berintraksi dalam transfer pengetahuan dengan siswa seusia mereka. Keyakinan dalam hati cuma terus menyala bahwa tidak ada sesuatu yang tidak dapat dipelajari termasuk berintraksi bersama siswa dengan beragam karakter.

Kemudian antara akhir Mei dan awal Juni saya dihubungi direktur untuk menemuinya di kantornya. Saya tidak bertanya-tanya mengapa saya dipanggil, karena sebelum itu kebetulan ada hal yang perlu saya konsultasikan. Perkiraan saya pemanggilan itu pasti berkenaan dengan tindak lanjut dari apa yang sudah saya musyawarahkan dengan beliau sehingga saya tidak bertanya mengapa saya diminta menghadap beliau kembali.

Gayung bersambut, pemanggilan itu meleset dan melampaui dari apa yang saya duga. Jawaban yang saya berharap keluar dari penyampaiannya justru di luar bayangan. Permintaan itu betul-betul menanggung beban dan tanggung jawab yang tidak kecil. Permintaan itu tentu tidak langsung saya iyakan mengingat kemampuan saya yang tidak memungkinkan, apalagi mengemban amanah yang teramat besar. Perasaan kecamuk menghantui saya. Setelah beberapa proses itu, perjalanan hidup di SD YIMA dimulai, yang saat ini genap setahun pengabdian saya berproses di dalamnya. 1 Juli 2022-1 Juli 2023. (Dalam Alinea ini sengaja saya tidak menulisnya keseluruhan).

2 bulan di SD YIMA yang terbilang cukup baru itu, kemudian 2 bula berikutya tepatnya akhir Agustus 2022 saya ditunjuk oleh pengurus Tanaszaha Bondowoso untuk menjadi Ketua panitia dalam sebuah even besar yang menjadi kegiatan rutinitas Tanaszaha setiap tahunnya yaitu SAHABI. Penunjukan itu bisa dibilang tanpa musyawarah terlebih dahulu bersama saya sebelumnya. Bagaimana tidak, pada saat itu saya masih berada di sekolah, menyelesaikan tugas saya yang belum kelar saya tuntaskan.

Tiba-tiba saya menerima panggilan WA dari Sekretaris Jendral Tanaszaha Ahmad Fariqi (saya menyebutnya kak Fariki) yang saat itu saya mengenalnya hanya sebatas rupa. “acara ini tidak akan dimulai sebelum sampean datang dik” saya masih ingat panggilan itu. Dengan desakan itu, saya bergegas ke kantor Tanaszaha yang saya tidak mengerti mengapa saya diminta kesana segera.

Pengurus dan alumni sudah berkumpul di sana. Tanpa berlama-lama lalu pengumuman struktur kepanitiaan SAHABI yang di dalamnya saya ditunjuk menjadi ketua panitianya. Saya diam membisu, mencoba sanggah saya tidak menyiapkan alasan yang rasional. Karena di hadapan saya adalah orang baru yang saya tidak banyak mengenal nama dari sebagian besar di antaranya. Selain baru, mereka juga seneor yang terlampau jauh masa dan usianya sama saya, bahkan saya paling junior di antara mereka. Di tengah mereka, saya ibarat anak kecil yang baru bisa merangkak.

Keputusan itu akhirnya mau tidak mau saya terima. Mengingat tugas saya yang baru di SD, saya merenung seorang diri di kamar atas ketidaksanggupan saya untuk merangkap menjadi ketua panitia di even itu. Akhirnya saya sowan menemui ketua Tanaszaha di kediamannya dan pengurus seneor di rumahnya yang terletak di Koncer untuk memundurkan diri sebagai Ketua Panitia.

Jawaban “Iya” yang saya harapkan justru tidak muncul di lisannya. “Dijalani saja dulu dik, nanti akan dibantu dengan teman-teman yang lain. Jangan khawatir, kalau acaranya Genggong tidak mungkin tidak dibantu dengan Kyai Sepuh” saya terdiam seribu bahasa, akhirnya hari demi hari selama 3 bulan saya jalani posisi itu hingga akhirnya acara itu berhasil mendapat apresiasi yang begitu besar dari segenap pihak dengan dihadiri kurang lebih 3000 an jamaah. Tentu bukan karena saya, tetapi karena saya memiliki teman yang bersedia kerjasama dan komitmen bahkan rela meninggalkan rumah dan keluarganya demi mempersiapkan acara tersebut. (saya akan mengenangnya dalam hati saya yang paling dalam)

Di tengah fikiran yang cukup kacau itu, saya ngedroup hingga akhirnya jatuh sakit selama tiga hari lamanya. Memikirkan bagaimana dua kegiatan dan rutinitas baru yang saya kerjakan harus bisa jalan beriringan tanpa harus ada yang dikorbankan satu di antara yang lain. Selama 2 bulan lebih itu, saya tidak punya banyak waktu istirahat dan bermain yang cukup. Diri saya betul-betul diforsir untuk menghandle keduanya (Kegiatan di SD YIMA dan Kegiatan SAHABI) berusaha berjalan dengan maksimal. Mari kembali ke cerita sekolah, cerita di atas itu adalah bagian sepenggal kisah yang menyertai saya saat menjalani proses pengabdian di SD YIMA. 

Pemutasian dari SMP ke SD itu betul betul masa terberat yang saya hadapi. Saya harus memecut dan memforsir diri saya sendiri pada apa yang seharusnya dan bakal saya lakukan. Saya harus beradaptasi dengan segalanya baru yang saya alami.

Sebagaimana orang baru, perasaan sungkan, canggung, nervous, gag enakan, ketakutan berkecamuk dalam dada dan hati saya. Saya menyadari segala sesuatu yang dimulai dengan kebaruan memang demikian. Saya pernah menjadi siswa baru di sekolah, santri baru di pesantren, mahasiswa baru di kampus, kader baru di organisasi, orang baru di tempat belajar yang baru, dan pendatang baru di masyarakat. Kurang lebih begitu yang saya rasakan.

Tetapi menjadi orang baru di SD YIMA dengan amanah baru tentu tidak mudah. Butuh waktu lama bagi pribadi saya untuk berada di dalamnya. Dalam rentang waktu itu, ingatan saya masih membekas ketika pertama kali diperkenalkan oleh Yayasan dan management di hadapan pegawai YIMA Islamic School lalu dipersilahkan untuk menyampaikan sambutan yang saya bingung apa yang seharusnya saya sampaikan. Mental saya diuji, kepercayaan diri saya dipertaruhkan. Selesai di sana, kemudian saya diperkenalkan di hadapan guru SD YIMA di kantor yang jumlahnya terbilang banyak untuk ukuran guru sekolah dasar oleh Ketua Yayasan dan Direktur YIMA kala itu.

Bibir kaku, suara lirih, tingkah grogi, dan situasi ini belum pernah saya rasakan di forum manapun atau pertemuan manapun saat saya terlibat dalam kegiatan yang mengharuskan saya bertemu dengan orang baru. Bagaimana tidak canggung, saya sama sekali tidak mengenal nama dan mungkin juga wajah mereka. Dua di antaranya hanya Ustadz Sultan dan Ustadz Roni. Perkenalan dengan ustadz Sultan pun karena terlibat dalam projek kelas billingual yang difasilitiasi YIMA. Kemudian Ust Roni yang kebetulan juga sama-sama pengajar di SMP YIMA. Itupun sama sekali tidak intens bertemu mengingat beliaunya sering berkantor di SD YIMA.

Selebihnya adalah wajah baru yang belum saya temui selama di YIMA, kalaupun pernah ketemu dan ngobrol, itupun secara virtual dalam kelas billingual yang kala itu masih dalam masa pandemi covid 19.

Sejauh mata memandang, saya merasa diterima menjadi bagiannya untuk bersama-sama berkerja sama demi kepentingan SD YIMA di masa depan secara spesifik dan demi kepentingan YIMA secara keseluruhan. Genap setahun ini banyak pihak yang begitu berjasa yang turut serta membersamai penulis selama  berkiprah di YIMA Islamic School. Ketua Yayasan yang memberikan nasehat, Direktur YIMA, yang mengakhiri masa pengabdiannya di YIMA pada Senin 26 Juni 2023 lalu. Beliau ini selalu menerima konsultasi ketika saya belum sepenuhnya mengerti langkah apa yang seharusnya saya ambil meskipun pada tahun-tahun pertama saya tidak mengenal waktu menemui dan menyampaikannya kepada beliau.

Tak lupa kepada guru dan staff di SD YIMA. Ucapan terima sebetulnya tidak cukup atas apa yang guru dan staff SD YIMA lakukan khususnya selama saya menjadi bagiannya, sehingga mampu menjalin kerja sama dengan baik, solidaritas yang cukup kuat dan saling bahu membahu untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendidik, sehingga proses pembelajaran, penerapan program dan kegiatan sekolah bisa terjalani dengan baik. Tentu kolaborasi dan kerjasama yang sudah terjalin ini bisa lebih maksimal di masa masa mendatang, tujuannya untuk Allah, generasi bangsa, dan pengembangan diri masing-masing. Bondowoso, 1 Juli 2023

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se