Sehari
sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke
saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya
masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan
anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya
menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu?
Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat.
Pertanyaan
berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun
keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak
sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya. “Karena guru adalah
yang mengajarkan ilmu”, "Karena guru yang mengajarkan al qur'an", “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti
yang baik”, “Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah
pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara
beragam.
Pertanyaan
selanjutnya “Seorang guru apakah hanya yang mengajar di sekolah ini”.
Pertanyaan terakhir yang saya ajukan. “iya”, bebarapa di antara mereka
menyebut salah satu wali kelasnya, dan satu di antaranya menjawab “tidak”.
“Ibu, mama juga guru, karena yang mengajarkan makan, merangkak dan pembelajaran
yang lain” Jawab mereka secara berebutan. Pertanyaan siswa itu yang pada
akhirnya memotivasi saya merefleksikan mengapa hari guru mesti dirayakan.
Saya teringat
memori saat belajar di bangku sekolah dasar, guru saya meminta siswa termasuk
saya menulis cita-cita yang tercantum di biodata untuk dipajang di dinding
kelas dengan hiasan bunga, ukiran, warna warni yang membuat projek itu tampah
lebih menawan. Sejak itu sampai lulus kuliah saya tidak pernah mencantumkan
cita-cita menjadi seorang guru. Latar belakang keluarga yang tidak berprofesi
sebagai guru di lembaga formal, mungkin saja mempengaruhi ketidakminatan saya
sebagai guru.
Alasan
yang lain adalah kayakinan pribadi bahwa meskipun tidak bersekolah di
pendidikan profesi keguruan secara spesifik atau tidak menjadi guru
professional di lembaga formal tertentu, suatu saat saya pasti memiliki
tanggung jawab dari Tuhan untuk membersamai, mengajar, mendidik paling tidak
terhadap anak dan keluarga saya di masa depan. Alasan yang cukup rasional,
paling tidak menurut saya sendiri.
Dari
alasan itulah yang juga tidak membangkitkan selera saya memilih menjadi guru. Gayung
bersambut rupanya Tuhan menitipkan amanah menjadi pendidik pada skala yang
lebih luas, sebelum diamanahi mengajari anak sendiri, yaitu mendidik anak
bangsa seperti saat ini yang saya jalani. Bagaimana suatu saat ? insyaallah
Tuhan lebih paham jalan terbaik hambanya.
Persepsi
menjadi guru menurut saya tidak berhenti pada pendidikan yang ia tempuh,
universitas apa yang dipilih. Cara pandang saya ini tentu bukan karena latar
belakang pendidikan saya yang bergelar non pendidikan tapi berada di lembaga
pendidikan. Sama sekali bukan, tetapi karena rasio historis yang coba saya
urai.
Sebelum
berdirinya sekolah, lembaga pendidikan, dan universitas, hakikatnya ilmu Tuhan tersebar
di dunia yang begitu luasnya. Kemudian ilmu Tuhan itu diserap, dipelajari dan
diperdalam oleh orang-orang yang haus akan keilmuan hingga akhirnya mereka
menjadi pakar atau ahli pada bidang tertentu. Kemudian diikuti untuk saling
berguru satu sama lain.
Beberapa
diantaranya bahkan memiliki keahlian lebih dari satu bidang, para filusuf
contohnya atau ulama-ulama terdahulu yang karyanya menembus masa, masyhur di
seluruh dunia hingga dijadikan refrensi sepanjang zaman hingga saat ini. Salah
satunya Hujjatul Islam Al Imam Al Ghozali, Imam Syafi’i, dan para ahli fiqih,
ahli logika, ahli filsafat, ahli tauhid, ahli hukum, ahli kebahasaan dan ahli
bidang apapun.
Pengakuan
dunia pada keilmuan yang mereka miliki tanpa embel-embel gelar profesor,
Doktor, Doktor Honuris Causa, atau gelar akademik yang lain yang memang tidak
bisa dijadikan satu-satunya ukuran mengakui keilmuan seseorang. Apalagi di masa
sekarang, sudah jamak diketahu semua gelar akademik itu gampang dibeli dan
mudah dibicarakan dan dinegosiasikan demi kepentingan tertentu.
Pengkonsentrasian
ilmu di bangku universitas mungkin hanya salah satu cara memudahkan pelajar
untuk memilih bidang apa yang ingin dipelajari dan pemenuhan kebutuhan
administratif yang diperlukan di kemudian hari. Sehingga saya menyebutnya salah
satunya, bukan satu-satunya. Siapapun berhak memilih menjadi guru dengan
pengetahuan yang ia punya, kemauan yang coba ia bangkitkan, skill yang ia
miliki dan jiwa pengabdian pada anak bangsa yang terus ia jadikan pecut penyemangat.
Saya
percaya peradaban yang gemilang tercipta dari pendidikan berkualitas dan cara
mendidik yang baik. Di mana itu dimulai, saya masih percaya pendidikan pertama adalah
di lingkungan keluarga itu sendiri, sebagaimana sabda Nabi Muhammad bahwa orang
tua merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Lahir, tumbuh dan dididik di
keluarga yang baik, insyaallah anak itu berkembang menjadi anak yang baik pula.
Kebaikan itu menyeluruh, taat kepada Tuhan, menghormati manusia tanpa memandang
apapun dan memiliki rasa kasih sayang kapada makhluk lain.
Pendidikan
di Tengah Globalisasi
Di tengah
arus globalisasi yang sedemikian derasnya ini, pengetahuan apapun tersaji di
internet meskipun tanpa kehadiran seorang guru di dalamnya. Mereka yang cuma
ingin menambah pengetahuan bermodal smartphone tinggal memilih pengetahuan apa
yang ingin dipelajari..
Tetapi
lembaga pendidikan bukan demikian, ia punya orientasi, visi-misi, dan goal yang
ingin diciptakan demi peradaban gemilang di masa depan yaitu, pembangunan
karakter, penjernihan hati, pengasahan kecerdasan intelektual, emosional dan
juga spiritual kemudian budi pekerti yang luhur. Oleh karena itu dinamai
lembaga pendidikan bukan lembaga pengajaran. Jika orientasinya hanya pada pemburuan
pengetahuan seyogyanya lembaga pendidikan tidak lagi dibutuhkan.
Menjadi
guru di era sekarang menghadapi tantangan yang berbeda dibanding era sebelumnya.
Tantangan terbesar saat ini menghadapi kecanggihan tekhnologi yang diakses oleh
siswa. Perkembangan siswa saat ini paling tidak ditemui dalam tiga tempat,
sekolah, rumah termasuk lingkungannya dan terakhir di dunia maya.
Dulu
semasa belajar di bangku sekolah dasar, orang tua saya mudah memprediksi jika
ada sifat yang berubah pada anaknya, mereka akan menyelidiki bermain bersama
siapa di sekolah atau bergaul bersama siapa saja jika di rumah. Saat ini, dunia
semakin meluas. Kemudahan akses tekhnologi menyeret mereka mengakses apa saja
yang tersaji di internet.
Dampak negatif
dan positif yang tersedia sulit untuk dibedakan. Imbasnya perolehan informasi
di media itu, diejewantahkan pada laku kehidupan sosial sehari-hari. Tetapi
apapun tantangannya, semangat ini tidak boleh pupus begitu saja. Terus
bergerak, belajar, dan berinovasi, karenanya di judul saya menuliskannya “Menjadi
Guru”.
Proses
menjadi ini adalah proses pembelajaran yang tidak pernah berakhir sampai kapanpun
demi kepentingan anak bangsa di masa depan. Anak bangsa yang hebat tidak
terlepas lahir dari didikan rahim guru yang mengajar dan mendidiknya, karenanya,
hari guru patut untuk dirayakan. Saya berdoa semoga guru yang telah mengajar dan
mendidik saya sejauh ini, diberi keberkahan dalam hidupnya dan dibalas dengan
kebaikan yang terus mengalir. Saya teringat pesan ibu saya pada setiap pulang dari pesantren. "Jangan keluar rumah sebelum bertemu dan silaturrahim kepada guru ngajimu"
Komentar
Posting Komentar