Langsung ke konten utama

SANTRI UNTUK NEGERI



Kokokan ayam masih belum terdengar, hanya beberapa ekor kelelawar yang berterbangan dari tempat satu ketempat lain untuk mencari makan. Rupanya malam masih dalam kesunyiannya , tiba – tiba ada suara lantang didepan gubug tempat santri menunaikan ibadah sholat berjamaah dengan nada membangunkan santri yang lagi sedang tidur nyenyak menikmati mimpi alam bawah sadarnya.
lambat laun suara itu semakin lama semakin lantang, tak pelak lagi setelah diteliti dari nada dan gaya bahasanya, adalah kyai Fatah pengasuh pondok Raudholtul fikr  desa Ronggolawe, yang membangunkan santrinya untuk diajak bermunajat kepada Allah . Semua santri tanpa berfikir panjang saat suara itu datangnya dari kyai, langsung bergegas menuju tempat wudhu yang berada disamping gubug.
meski jalan sambil terselundupan, kancing baju masih belum terpasang semuanya, kopyah dipakai masih miring-miring diatas kepala mereka, rasa ngantuk tak mampu menghipnotis santri untuk tidur kembali, kalau sang kyai sudah berada dihadapan mereka. Semua santri berbaris meluruskan sofnya dengan rapat dibelakang sang kyai sesuai aba aba yang disampaikan “sawwu sufufakum, fainnal tasfiyata sufufi min tamamis sholah”
Seusai sholat Tahajjud, sambil menunggu waktu subuh datang, seperti biasa kyai Fatah menyampaikan mauidhoh hasanah kepada santri, santri mendengar khusuk, apalagi topik yang dibahas tentang kebangsaan dan perjuangan para ulama, kebahagiaan pun mengintai mereka. lalu kyai fatah menanyakan satu persatu santrinya yang duduk dibarisan paling depan tentang cita – cita mereka untuk Indonesia. “kalian bercita – cita menjadi apa kelak nak ?” Tanya kyai fatah dengan nada penuh cinta kasih kepada masing santri.
 “Aku ingin menjadi dokter kyai, agar aku dapat membantu orang sakit, supaya bisa sembuh dengan izin Allah” Sahidin memulai jawabannya dengan kepala yang tunduk dihadapan kyai.
“Kalau saya ingin menjadi Guru kyai, agar saya dapat membantu kecerdasan kehidupan bangsa di Indonesia” jawaban Amiruddin santri asal jambesari
“Saya berbeda, dengan Amiruddin dan Sahidin kyai, kalau saya ingin menjadi pengacara, agar dapat membantu masyarakat berproses didepan hukum” jawab Boni santri yang rumahnya dekat Kota
“Saya ingin menjadi polisi kyai, karena saya ingin mengabdikan hidup pada Negara” jawab Burhanuddin yang memang sejak kecil mencita-citakan menjadi polisi
“Saya ingin menjadi politisi kyai, yang bertugas untuk mewakili rakyat demi meningkatkan kesejahteraannya jawaban dari Abidin.
Berbeda dengan firdaus saat menyampaikan cita citanya, “kalau saya ingin menjadi penyanyi atau artis kyai, agar namaku terkenal dari sabang sampai merauke” semua santri pada ketawa tat kala firdaus membeberkan cita citanya, begitupun kyai fatah sedikit tersenyum dengan cita cita Firdaus yang ingin menjadi artis. “Walah kamu nak nak, ia gag papa, kalau punya bakat, silahkan saja, asah bakatmu” apresiasi kyai kepada salah satu santrinya.
“Ayo lanjut Mad, kamu bercita – cita menjadi apa?” Lanjut Tanya kyai pada santri sebelahnya.
“Kalau saya ingin menjadi seperti kyai saja, meladeni santri – santri” , jawab Rohmat dengan nada rendah.
           Kyai Fata menganggukkan kepala dengan ditambah senyum ramah, saat mendengar cita – cita santrinya, rupaya waktu menunaikan sholat subuh, tinggal 5 menit lagi, sebelum iqomah dikumandangkan, Kyai Fatah berpesan pada santri – santrinya
“cita – cita kalian semua mulya nak, mau jadi apa kalian, bagaimanapun profesinya, ingatlah sejarah Indonesia, jika engkau tau sejarah ini,maka engkau akan sadar, pengorbanan yang telah menumpahkan berjuta – juta  darah, beratusan nyawa, hanya demi cita-cita yang amat mulya  yang dituju yaitu indonesia merdeka. Maka tugas kalianlah melanjutkan perjuangan pahlawan, kyai, serta genarasi sebelumnya yang turut serta berjuang untuk kedaulatan NKRI” pesan kyai kepada santrinya.
“Allahu akbar, allahu akbar, asyhaduanla ila ha illallah....,” iqomah telah terkumandang.

di Tanah Rantau, 22 oktober 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se