Langsung ke konten utama

PESANTREN GERBANG SANTRI BELAJAR MERAKYAT




 ‘’Disekolah jangan sampai memperkerjakan tukang sapu untuk menyapu sekitar halaman sekolah’’ pesan Tokoh revolusioner Tan Malaka pada lembaga pendidikan, larangan tersebut mengacu supaya siswa belajar bagaimana menjadi rakyat. Karena pendidikan ouputnya bukan sekedar mengahasilkan siswa yang prestasi dan pandai, melainkan juga  bagaimana peserta didiknya mempunyai karakter yang baik, mandiri, solidaritas yang tinggi, serta peduli kepada sesamanya.
Penulis beranggapan pesantrenlah tempat yang baik untuk membentuk siswa yang mempunyai karakter sosial yang baik dan mempunyai sikap kerakyatan yang memang dikokohkan saat peserta didik mulia menginjak di pesantren tersebut, karena di tempat ini mereka bukan hanya belajar ilmu pengetahuan yang memang menjadi tujuan dari rumahnya.
 melainkan mereka juga diasah dan diberi pemahaman bagaimana mereka menyelesaikan tugas kerakyatan baik didalam aktivitas keseharian yang berhubungan dengan diri masing - masing, kawan santri lainnya, dan juga terhadap lingkungannya. Di lingkungan pesantren, Hubungan santri dengan ketiganya tidak pernah lalai, karena memang menjadi tugas sosial yang secara sadar harus mandiri dan penuh kegotong royongan.
Sebagai contoh, mencuci dan memasak, biasanya ketika dirumah ada orang lain yang menyelesaikan baik orang tua ataupun pembantu, namun ketika berada dipesantren, aktivitas itu menjadi tugas diri santri untuk melakukan dengan sendiri bersama  teman santri lainnya. begitupun yang berurusan dengan lingkungannya, seperti dalam masalah kebersihan, di bersihkan secara bersama-sama dengan santri lainnya, inilah potret pesantren yang menggambarkan bahwa tempat yang tepat untuk belajar bagaimana perasaaan menjadi rakyat.
Pondok pesantren menanamkan asas sama rata sama rasa terhadap semua santri, tidak hanya memberikan fasilitas yang mewah bagi mereka yang keturunan orang kaya, sedangkan memberikan fasilitas yang minim bagi mereka yang miskin. Namun ketika mereka masuk dalam naungan pondok pesantren, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai santri dan pesantrenpun memberlakukan sedemikian.
 Dengan sikap kerakyatan yang ditanam kepada santri, harapanya agar dapat mengilhami untuk memupuk daya ingatnya, tat kala santri menjadi garda terdepan pemimpin bangsa. Sehingga dalam mengambil keputusan dan kebijakan akan selalu tercampak dalam hati nuraninya untuk mengingat kepada orang yang di bawahnya(rakyat). karena hati nuranilah penentu ke idealismeannya seseorang, apabila idealisme luntur, berharap kesiapa lagi kalau bukan pendidikan pesantren yang dalam mendidik tidak hanya mengasah kecerdasan intlektual dan emosionalnya. Melainkan juga mengasah terhadap kecerdasan spritual.
INUNK
 Di Tanah Rantau, 17 Oktober 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se