Langsung ke konten utama

Sarung Pakaian Khas Masyarakat Agama Hindu


Di dunia pesantren kain sarung merupakan pakaian khas santri dalam kehidupan sehari-hari. Siapa sangka, pakaian yang oleh sebagian orang diklaim sebagai pakaian umat muslim ini pada dasarnya adalah pakaian khas milik masyarakat agama Hindu di Nusantara.

Namun belakangan seiring dengan perjalanan pesantren dari masa ke massa, sarung pakaian khas masyarakat agama Hindu dianggap pakain santri atau lebih umumnya pakaian umat muslim. Santri yang tidak memakai sarung lebih-lebih ketika sudah pulang ke masyarakat bisa jadi dianggap kurang menyeriusi kesantrianya dan setengah-setengah memahami tentang agama Islam selama di Pondok.

Soalnya kain sarung sudah terlanjur dipahami oleh sebagian orang sebagai pakaian yang dianjurkan dalam agama Islam. Padahal tidak demikian, anggapan negatif seperti itu oleh masyarakat terhadap santri yang berpenampilan berbeda dengan biasanya hanya karena masalah memakai celana atau tidak bersarung.

Kesalahan persepsi ini dilatarbelakangi sebab kesalahan masyarakat memahami mana bagian ajaran agama dan mana produk budaya. Sehingga sarung yang pada dasarnya produk budaya agama Hindu diklaim sebagai produk agama Islam yang patut bagi pelajar agama Islam seperti halnya santri untuk mengenakanya. jika tidak, bukan main, banyak tuduhan negatif dari masyarakat terhadap santri apabila keluar dari pondok melepaskan kain khas seorang santri berupa sarung.

Sarung Pakain Tradisi Bukan Ajaran Agama
Kain sarung sebetulnya bukanlah pakaian dianjurkan dalam agama Islam, melainkan pakaian khas agama Hindu di Nusantara sebelumnya. Islam hanya menganjurkan memakai pakaian yang menutup aurat. Terserah pakain apa saja dikenakan asal menutupi tubuh yang dilarang. Dalam arti tidak secara spesifik menyebutnya kain Sarung seperti yang diklaim banyak orang dewasa ini.

Pakaian sarung yang sudah menjadi pakaian tradisi santri di pondok pesantren sebuah petanda, bahwa penyebaran agama Islam di Nusantara ini tidak berjalan secara lurus sebagaimana dari tempat asalnya di mana agama Islam datang. Melainkan agama tersebut harus dibenturkan dengan kultur budaya yang bersemai di Nusantara. Sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan Islam dapat melaju sangat pesat.

Agama ketika tidak dicampurkan dengan budaya mengalami kemandekan dan terbata-bata dalam proses penyebaranya. Yang terjadi masyarakat yang dijadikan sasaran pemahaman agama Islam, sulit menerimanya jika agama Islam didakwahkan secara transenden tanpa dikawinkan dengan kondisi budaya yang melekat pada masyarakat setempat.

Dakwah walisongo ini menjadi bukti bahwa penyebaran agama tidak disampaikan secara kolot dan konservatif. Walisongo mempraktikkan agama Islam dengan cara memadukan dengan keyakinan kebudayaan masyarakat setempat.

Atas strategi dakwah itu, Islam dapat berjalan dengan pesat hingga menjadi agama dengan penduduk mayoritas di Indonesia tanpa harus meneteskan darah dan air mata. Keberhasilan ini dipicu lantaran Walisongo mengawinkan ajaran agama Islam dengan budaya yang dipegang erat oleh masyarakat tanpa harus menghilangkan nilai dan substansi dari agama Islam itu sendiri. inilah perbedaanya antara Islam Nusantara dengan penyebaran Islam di negara lain. khususnya di wilayah Timur Tengah.

Bukti Sejarah
Lantas apa bukti bahwa sarung pakaian khas masyarakat Hindu di Nusantara ? pertama, sebelum Islam datang ke Nusantara, Hindu merupakan agama yang dianut oleh banyak masyarakat Nusantara. Tidak heran simbol keagamaan yang terdapat di beberapa masjid di Indonesia atau pada pakaian yang dikenakan oleh masyarakat Muslim lebih spesifik masyarakat pesantren seperti sarung sebetulnya hasil perpaduaan antara budaya dan agama.

Bukti selanjutnya mengenai kata santri yang berasal dari kata sangsekerta yaitu shastri. Antropolog ternama Clifford Geertz memaknai kata shastri yaitu ilmuan Hindu yang pandai menulis. Kemudian kata tersebut diproyeksikan dengan kata santri yang bermakna mengacu pada seseorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh.

Pernyataan dari Clifford Geertz tersebut sebetulnya menginformasikan kepada kita bahwa ulama pesantren bisa menerima tradisi-kultur masyarakat setempat yang sudah ada sebelumnya meskipun terlahir dar kultur jawa dan agama Hindu.

Inilah sebetulnya yang ingin ditunjukkan ulama pesantren. Mereka mau merayap tradisi dan kultur apapun ke dalamnya tanpa harus meninggalkan substansi dan kehilangan jati dirinya dengan tanpa mengikuti agama yang dianggap bertentangan

Bondowoso, 12 Juni 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se