(saat diskusi sosilogi agama dalam perspektif tokoh)) |
Agama tidak saja berbicara soal hubungan dengan Tuhan. Cakupan agama lebih
luas dan selalu dinamis bersamaan dengan perjalanan sejarah manusia dari
waktu ke waktu. Karena menyusuri ruang dan waktu itulah kemudian agama
sangat mungkin ditafsirkan oleh sebagian masyarakat perihal bagaimana agama
dalam sudut pandang mereka.
Tentu penafsiran tersebut tidak akan jauh dari batas teritorial dimana
agama itu diyakini oleh masyarakat setempat, bisa jadi berbeda antara
masyarakat satu dengan masyarakat lainya dalam soal memahami arti dari
sebuah agama sesuai dengan apa yang mereka alami dan rasakan.
Di sinilah tokoh seperti Max Webber dengan teori fenomenal dan
kontruksionalnya, Karl Marx dengan teori struktral dan konfliknya, dan
Emile Durkheim yang terkenal dengan teori fungsional-solidaritasnya
memberikan sumbangsih pengetahuan pada wacana keaagamaan dalam perspektif
sosiologi.
Kamis kemarin, 27 Juni 2019, seperti biasa Justisia menggelar diskusi di
kampus tentang “Sosiologi Agama” yang dimulai oleh Afan selaku pemantik
pada sore itu. Ia cukup panjang bicara soal agama dalam perspektif
sosiologi. Mulai dari definisi, fungsi, teori, lalu pada pemikiran tokoh
yang cukup relevan didiskusikan. Diskusi tersebut tentu bukan untuk
berkiblat mengikuti teori atau pemikiran yang mereka telurkan.
Hanya saja meminjam teorinya sebagai pisau analisis untuk mengambil benang
merah yang kemudian dapat dikontekstualisasikan memandang Indonesia saat
ini. Sebagaimana kita ketahui, dalam aspek tertentu, masyarakat Indonesia
terbilang sangat religius. Tempat ibadah tidak pernah sepi, jual beli ayat
agama sangat laku dipromosikan, konflik mengenai agama tidak ada hentinya
masyarakat gaduh dan saling grudug tentangnya, bahkan satu-satunya
kementrian yang secara spesifikasi terfokus menangani masalah agama mungkin
cuma ada di Indonesia yaitu kementrian agama, yang saat ini kasus jual beli
jabatan di lembaga tersebut sedang naik daun.
Di Indonesia agama bukan lagi sekedar keyakinan pada Tuhan belaka, tapi
lebih dari itu, ia telah menjadi kedok persembunyian untuk membungkusi
tubuh yang penuh percikan noda hitam. Dengan bersembunyi di balik agama,
noda kotor itu seolah dapat dihilangkan entah dengan cara apapun. Baik atau
buruk bukan menjadi urusan. Hina, keras, dan dusta tidak dipedulikan.
Begitulah kondisi memiriskan yang membuat agama tampak sangat jahat dan
kejam seperti disampaikan Charless Kimball dalam bukunya berjudul “When Religion Becomes Evil”
Emile Durkheim
Menurut Emile Durkheim, agama dan budaya adalah sesuatu tak terpisahkan.
Durkheim berpandangan demikian mengacu pada suku Aborigin di Australia.
Dalam tradisi budaya suku setempat yang pada mulanya keyakinan budaya
kemudian digeser menjadi keyakinan agama.
Begitupun dalam konteks Indonesia, pemikiran Durkheim dapat menjadi
refrensi bagaimana agama dan budaya di sini sangat erat hubunganya. Seperti
halnya Tahlil, ketika ada orang wafat, mulai dari hari si mayit wafat
sampat hari ke 7, ada doa bersama di rumah mayit yang biasa disebut Tahlil.
Doa ini dengan tujuan agar si mayit diterima segala amal ibadahnya dan
diampuni segala kesalahanya oleh Allah. Ritual semacam ini belum pernah
dipraktikkan oleh nabi Muhammad SAW di zamanya. Tahlil hanya sekedar budaya
masyarakat yang kemudian dianggap sebuah keyakinan agama yang harus
ditaati.
Ritual tahlil kalau ditarik pada pemikiran Durkkheim dalam teori
solidaritasnya sebenarnya bukan saja soal mendoakan mayit agar supaya
dimudahkan urusanya menghadap Tuhan. Tapi dalam tahlil, terdapat aspek
sosial antar masyarakat satu dengan lainya. Mereka dapat berkumpul di suatu
tempat tanpa harus diundang untuk mendoakan orang yang lebih dulu
mendahuluinya.
Maximilian Weber
Selanjutnya Max Weber, ia merupakan keturunan dari orang tua yang sholih.
Ibunya penganut ajaran agama Protestan yang taat, sementara ayahnya seorang
birokrasi negara Jerman dimana Weber hidup. Didikan orang tuanya salah satu
yang membentuk karakter Weber khususnya dalam soal ketaaatan dalam
beragama. Menurut dia, agama punya peran positif pada masyarakat modern.
Apa yang digagas Weber tidak berangkat dari ruang hampa, teori tersebut
muncul dengan dilatar belakangi kondisi masyarakat dimana Weber hidup. Dari
latar belakang itulah kemudian Weber berpendapat bahwa agama dapat memberi
angin segar pada umat agar bisa beranjak dari segala derita yang ditimpanya
di dunia.
Dengan cara apa kata Weber? Tentunya menjadi sosok pekerja keras. Hasil
kerja keras itulah dapat mendorong umat agama menebus segala kesalahanya
dengan membayar sesuatu kepada gereja sebagai ajang penebusan dosa yang
telah dilakukanya. Dengan membayar ada keyakinan dosanya terampuni.
Dari sinilah kemudian masyarakat di zaman Webber hidup berlomba-lomba
mengejar harta agar dapat berbakti pada agamanya. Kondisi sosial inilah
kemudian terbit buku di tanganya yang berjudul “The protestant ethic and the spirit of capitalisme” munculnya
buku ini mendorong seseorang memiliki semangat kapitalisme. Harapan Weber,
ketika harta itu diraih dapat membantu masyarakat miskin yang nasibnya
belum beruntung dengan didasari pada etika dan keluhuran nilai dari sebuah
agama.
Tapi sayang, belakangan yang terjadi justru kapitalisme bukan menjadi etos
kerja seperti Weber harapkan. Melainkan keserakahan manusia secara individu
untuk mengejar keuntungan semata. Sementara agama dan masyarakat miskin
kian hari tidak ditoleh alias ditinggalkan. Semangat kapitalisme Max Weber
menurut pemahaman penulis tidak jauh berbeda dengan ajaran agama Islam yang
banyak diyakini oleh masyarakat Indonesia.
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk memenuhi 5 kewajiban pokok dalam
agama. Salah satu kewajiban yang harus ditaati umat muslim yaitu zakat.
Ibadah zakat berbeda dengan ibadah lain yang tidak memerlukan kesiapan
materi. Tapi dalam zakat agar orang dapat menunaikan rukun Islam ke 3 itu
kekayaan materi menjadi salah satu kuncinya.
Belum lagi ibadah lain yang Islam anjurkan, seperti wakaf, infak, shodakoh.
Meski hal tersebut ibadah sunnah, tapi pahala dan dampaknya sangat besar
sekali utamanya bagi kelangsungan hidup manusia. Agar bisa menunaikan
ibadah yang dianjurkan oleh Allah tersebut, seseorang harus memiliki
sesuatu yang bisa diberikan. Termasuk kekayaan materi.
Islam sama sekali tidak membatasi ummatnya mencari harta
sebanyak-banyaknya. Asalkan ketika harta itu didapat terdapat tanggung
jawab yang harus dipenuhi yaitu dengan membantu masyarakat fakir miskin
yang tidak mampu dengan cara mendistribusikan sebagian kekayaanya melalui
jalan ibadah yaitu Zakat, Infak, Shodakoh, dan Wakaf.
Karl Marx
Terakhir, agama menurut Karl Marx. Marx hidup di German,. Tempat dimana
Marx hidup penindasan menjadi santapan sehari – hari yang dilakukan oleh
pemodal (Borjuis) terhadap buruh yang notabenenya sebagai kaum proletar.
Dalam penindasan yang terjadi itu, taring agama menjadi ompong, ia bungkam,
tidak memberikan solusi atas persoalan yang menimpa masyarakat setempat.
Sementara pemimpin agama (baca : agamawan) menjadi legitimasi atas
penindasan yang meninabobokkan rakyat.
Dari latar belakang sosial itulah, dengan berani Karl Marx mengatakan agama
adalah sebuah candu bagi masyarakat. Dikatakan candu, sebab agama bungkam
atas kasus yang menimpanya di dunia. Agamawan hanya berfatwa janji palsu
soal surga semata tapi abai atas derita ketertindasan yang menimpa umatnya.
Lalu bagaimana dengan agama di Indonesia yang katanya menempatkan Tuhan dan
agama di atas segala-galanya. Apakah agama yang dianut sudah memberi
terobosan pembebasan atas penderitaan rakyatnya dari Sabang sampai Merauke
? jika tidak, maka tesis Marx dapat digaungkan kembali bahwa agama telah
menjadi candu yang meninabobokkan rakyat.
Begitulah agama, ia bukan saja bicara keyakinan pada dzat yang maha tinggi.
Jika agama diyakini hadir dala setiap ruang dan waktu bersamaan dengan
peradaban manusia, seharusnya agama tidak berhenti untuk terus didialogkan,
dipertanyakan, bahkan dikritik jika agama berjalan melenceng dari nalar
sehat manusia.
Puri Banjaran, 29 Juni 2019
Komentar
Posting Komentar