Menyikapi selayang pandang masyarakat tentang kyai di Jawa Tengah ada
perbedaan jika dibandingkan dengan di Jawa Timur. Perbedaan ini saya amati
ketika menjumpai pertemuan-pertemuan yang di dalamnya ada kyai, santri, dan
masyarakat. Baik dalam segi berpenampilan kyai-santrinya ataupun
penghormatan masyarakat terhadap kyai.
Penulis merasa terpancing menulis ini ketika penulis membaca artikel
tentang pembahasan ini di website Alif.id dan di Mojok.co. Kedua situs
tersebut menyoal perbedaan dalam soal etika di pesantren di Jawa Timur dan
di Jawa Tengah. Kurang lebih judulnya seperti ini “kalau mau cari ilmu di
Jawa Tengah, sementara kalau mau belajar adab di Jawa Timur”.
Berhubung penulis berasal dan pernah tinggal di Pesantren di Jawa Timur,
ada ketertarikan mengulas sedikit tentang pengalaman selama di sana.
Sebanarnya semua pesantren di Nusantara sama, sama sama lembaga pendidikan
berbasis agama. Mungkin hanya tipologi sistem pembelajaranya yang dirasa
berbeda. Ada yang murni salaf, setengah salaf dan setengah sekuler, dan
tidak sedikit pula pesantren yang hanya menfokuskan pada pengajian al quran
saja. Kalaupun ada pembelajaran kitab, mungkin pembahasanya yang ada
hubungnya dengan ilmu tajwid.
Namun secara struktur pesantren di Indonesia sama seperti dijelaskan
Zamashari Dhofir dalam desertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul
Tradisi Pesantren. Yaitu adanya kyai sebagai pemegang otoritas tungga
tertinggi di lingkup pesantren, santri, tempat tinggal santri yang dikenal
dengan sebutan pondok, Masjid, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kesemua
prasyarat tersebut sarat ditemukan di mayoritas pesantren Indonesia.
Tradisi Pamitan/Minta Izin
Kembali pada pembahasan tentang pesantren di Jawa Timur berdasar pengalaman
penulis. Di Jawa Timur, saat orang tua ingin memondokkan anaknya di
pesantren, suatu keharusan berpamitan (baca:meminta izin) kepada guru
ngajinya sewaktu di rumah. Setinggi apapun ia menuntut ilmu dari tempat
satu ke tempat lain, untuk tidak melupakan guru ngajinya yang mengajarkan
baca tulis al quran pertama kali. Seperti ngaji alif, ba’, ta’ dan
seterusnya. Etika semacam ini dibilang suatu bentuk pengormatan kepada kyai
yang pertama kali memperkenalkan pada ilmu agama. Begitu pula setelah tiba
di Pesantren.
Orang tua santri di Jawa Timur tidak sembarang masuk ke pesantren untuk
memondokkan anaknya tanpa sowan terlebih dahulu kepada pengasuh pesantren
yakni kyai. Tradisi ini dilakukan agar mendapat restu dari kyai supaya
anaknya dapat belajar di pesantren yang diasuhnya. Meskipun kyai punya
tangan panjang seperti pengurus pondok dalam urusan admininstrasi tentang
pendaftaran masuk pesantren, tetap saja orang tua ingin menitipkan secara
langsung dengan cara sowan kepada kyai pesantren. Sowan ini didorong oleh
moralitas yang luhur. Seolah-olah ada nilai kepatutan yang seyogyanya
dilakukan.
Dalam tradisi di Jawa Timur memang sowan kepada kyai seperti dijelaskan di
atas, adalah bagian adab santri terhadap pesantren dan kyainya. Ibarat
orang hendak bertamu memasuki rumah, orang harus mengetuk pentu terlebih
dahulu atau paling tidak uluk salam. Bahkan orang tua santri rela menunggu
ber jam-jam sampai kyai datang menemuinya.
Jika bertepatan dengan kepergian kyai/ mios dalam istilah
pesantren, orang tua santri datang lagi di lain waktu. Selama belum ketemu
kyai, orang tua santri merasa kurang afdhal memondokkan anaknya. Begitupun
selepas santri tersebut berhenti mondok, berpamitan kepada kyai seolah
perintah wajib dalam tradisi pesantren yang perlu dilakukan oleh
orangtuanya. Orang Jawa Timur menyebutnya, kalau berangkatnya sowan,
pulangnya harus pamitan.
Etika Yang Utama
Di pesantren di Jawa Timur sesuai amatan penulis, selain wahana belajar
ilmu agama dan ilmu lainya, tetap saja pembelajaran akhlah harus
dinomorsatukan. Ajaran ini berkali-kali guru dan kyai sampaikan untuk
mengingatkan santrinya memiliki tatakrama yang luhur kepada semua. Baik
kepada Tuhan, guru, orangtua, dan masyarakat. Seringkali Kyai saya
berceramah di hadapan santrinya sehabis sholat untuk menjunjung tinggi
moralitas. Dalam ceramahnya, beliau bercerita kalau orang dahulu mencari
ilmu sepanjang 20 tahun. Sementara mencari adab lebih lama yaitu 30 tahun.
Mendidik santri supaya berakhlak, pengasuh mengajarinya lewat media
kehidupan sehari-hari. Seperti contoh kecil, menjaga kebersihan. Lingkungan
yang bersih selain anjuran agama agar membiasakan pola hidup sehat, juga
membahagiakan tamu yang hendak bertandang ke pesantren. Selain itu, Kyai
dan Nyai seringkali berpesan kepada santri untuk memuliakan tamu yang
datang ke pesantren dengan bersalaman atau menyapanya, baik tamu yang
hendak bertemu kyai ataupun pergi ziarah ke makam almarhum kyai yang wafat
terlebih dahulu.
Dari penjelasan di atas mempertegas bahwa banyaknya ilmu pengetahuan tidak
ada berartinya jika tidak diiringi dengan budi pekerti yang santun. Dan hal
ini terbukti jika kita melihat petinggi di negara ini yang terjerat kasus
pidana lebih-lebih soal korupsi. Secara pengetahuan mereka tergolong orang
terdidik dan pintar. Berhubung tidak punya etika pada warga dan negaranya
akhirnya uang negara yang seharusnya diluncurkan untuk kepentingan umum
dikorupsi demi memenuhi hasrat diri dan golonganya. Karena itu Kyai
Mutawakkil, pengasuh pesantren Zainul Hasan Genggong selalu berpesan kepada
santrinya untuk menjadi orang benar.
Tidak hanya akhlak kepada guru, santri pula diajarkan menghormati anaknya
guru sampai keturunanya dan semua keluarganya. Tidak lain kecuali
pembelajaran adab santri kepada guru. Di setiap kesempatan, apabilan ada
anak guru ikut hadir undangan ayahnya, masyarakat bersikap takdzim serupa
kepada anak gurunya. Istilah orang pesantren menyebutnya keturunan guru
adalah guru.
Dalam ceramahnya, Seringkali kyai di pesantren berpesan bahwa al adab fauqol ilmi atau akhlak di atasnya ilmu. Karena itu orang
pesantren khususnya di Jawa Timur ketika mendapat perintah dari kyai dalam
urusan apapun itu, termasuk soal pilihan politik didorong oleh perintah
moral yang memang menuruti amanah kyai. Jika kyai A, moralitas menuntunya
mengikuti apa yang kyai serukan.
Perintah tersebut memang sulit jika kita berfikir pakai hitung-hitungan
rasio atau idealisme dari kita sendiri, Tetapi kepatuhan tersebut
semata-mata didasarkan pada memuliakan kyai secara adab. Tentu bagi
masyarakat yang tidak terbiasa dengan adat seperti ini, mengklaim santri
sederetan kaum orang fanatis.
Gus Dur saja seorang pemikir dan cucu kyai besar di Jawa Timur tatkala
mencalonkan Presiden atas perintah orangtua yang menurutnya apabila
orangtua itu menyuruh tidak ada alasan lain kecuali mematuhinya. Apa kata
Gus Dur saat diwawancarai di acara Kick Andy “ Saya ini orang pesantren,
jika orangtua itu memerintah A, saya harus A tanpa harus menantangnya,
bahkan ketika manyuruh masuk api, akan saya lakukan” orangtua yang dimaksud
Gus Dur dalam wawancaranya ada 4.
Selama di pesantren, ketika Nyai Hj Soesilowati Saifurridzal masih sehat
beliau seringkali memberikan tausiyah kepada santrinya di Masjid AL
Mubaraokah entah di lantai 1 maupun 2. Dalam tausiahnya, beliau bercerita
tentang kyai-kyai di pesantren. Kata beliau, orang mau menekuni profesi
apapun untuk selalu menghargai dan menghormati gurunya. Kerapkali beliau
sampaikan kepada santri dan mencontohkan tentang kyai kyai yang takdhim
kepada gurunya meskipun telah menjadi kyai besar. Tentu dari tausiah beliau
tidak lain kecuali mengajarkan adab seorang santri kepada siapapun,
terlebih kepada gurunya.
Menghormati Guru ke Atas & ke Bawah
Dewasa ini di tengah kondisi bangsa yang sedang mengalami dekradasi moral,
banyak guru yang dipenjara oleh orang tua siswa sendiri hanya karena
memukul, mencubit, atau memarahi anaknya. Sungguh ironis melihat tindakan
orangtua semacam ini. Bagi orang pesantren sesuai pengalaman penulis, belum
pernah hal ini ditemukan walaupun santri itu digundul ataupun dipukul oleh
gurunya.
Jika dilaporkan ke orang tuanya, justru orangtuanya tidak bisa berbuat
apa-apa. Ketika orangtua memondokan anaknya di pesantren, tanggung jawab
sepenuhnya diserahkan pada kyainya. Terserah kyai mau memperlakukan apa
terhadap santrinya. Yang jelas ketika guru memukul atau memarahi santrinya
tidak ada tujuan lain kecuali untuk mengubah sikap santri agar menjadi
pribadi yang lebih baik lagi.
Sebab guru tidak akan melakukan kekerasan seperti memukul, menampeleng
terhadap santri jika santri tidak melanggar peraturan yang ada di pondok
pesantren. Seperti disebutkan barusan, tidak ada tujuan lain, kecuali
mengubah prilaku santri agar lebih baik lagi dalam bersikap. Dengan
demikian, harapanya kelak setelah pulang ke masyarakat santri dapat menebar
kebaikan kepada masyarakat sekitar sekaligus menjadi teladan bagi mereka.
Komentar
Posting Komentar