Pesantren mempunyai ciri khas tersendiri dibanding lembaga pendidikan lain
pada umumnya. kekhasan itu nampak terlihat di pembangunanya yang sederhana,
cara berpenampilan orang yang mencari ilmu di dalamnya, dan lokasinya yang
tinggal di wilayah pedesaan.
Banyak peneliti menyebut tiga elemen di atas tidak bisa dipisahkan dalam
melakukan kajian tentang pesantren. Namun ciri khas tersebut terbilang
sangat sederhana dan terkesan normatif jika kajian pesantren hanya fokusi
seputar terkait ketiganya.
Memang ketiganya kaitan erat dan sangat nyata di dunia pesantren, tapi
dalam kacamata Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, ada sebuah
objek istimewa yang lebih dan cukup menarik dikaji dari lembaga sederhana
itu, bahwa pesantren mempunyai kultur tersendiri dan berbeda daripada
lembaga lain. Karenanya ia berpendapat pesantren merupakan sebagai sub
kultur
Paling tidak memiliki tiga elemen lagi agar dapat dikatakan pesantren
sebagai sub kultur kata Gus Dur. Pertama, pola kepemimpinan
pesantren yang mandiri dan tidak terkoptasi oleh negara. Kedua,
kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dan diambil dari abad yang
sangat lampau. Dalam terminologi pesantren menyebutnya dengan kitab klasik
atau kitab kuning. Ketiga, terdapat sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat pesantren khususnya.
Tiga elemen inilah yang oleh Gus Dur disebut bahwa pesatren merupakan
sebuah sub kultur. Tesis ini sangat terkenal di kalangan pesantren. Hingga
saat ini pesantren besar ataupun kecil, baik pesantren yang berdiri di desa
ataupun di kota tesis tersebut selelu membekas di tubuh pesantren.
Kepemimpinan pesantren sangatlah mandiri, negara sama sekali tidak ikut
campur dalam urusan penentuan siapa yang menjadi pengasuh/ pemimpin di
pesantren. Sepenuhnya berada di tangan pesantren yang biasanya didasarkan
oleh kebijakan pengasuh sebelumnya memberikan amanah pada generasi
setelahnya untuk peneruskan tongkat estafet perjuangan. Atau berdasarkan
musyawarah keluarga.
Di dunia pesantren, kyai mempunyai otoritas tunggal dalam mengelola
pesantren berikut lembaga yang bernaung di dalamnya. Namun seiring
berjalanya waktu, Kyai menyerahkan amanah kepada orang yang menurutnya
mumpuni dalam bidang yang dipegangnya. Sekali lagi, negara dalam hal
tersebut tidak punya peran dalam menentukan segala kebijakan yang
berhubungan dengan pesantren.
Berbeda halnya dengan pendidikan negeri. Otoritas dalam penentuan pemimpin
ada keterlibatan peran negara yang memang bagian tugasnya turut andil
menentukan siapa kepala/pemimpin dari sebuah lembaga tersebut.
Elemen selanjutnya terkait kitab rujukan yang digunakan masyarakat
pesantren. Kitab rujukan orang pesantren menamai kitab klasik yang lebih
masyhur dikenal dengan sebutan kitab kuning. Refrensi kitab rujukan diambil
dari masa yang sangat lampau, kira-kira sudah berabad-abad jaraknya dari
sekarang, namun masih saja dianggap relevan dijadikan pegangan dalam
memutuskan persoalan yang terjadi saat ini.
Meskipun perkembangan zaman semakin maju, di dunia pesantren kitab kuning
tetap dijadikan pelajaran utama yang tidak akan pernah ditinggalkan.
Uniknya sampai saat ini kitab kuning itu masih menjadi refrensi utama yang
sangat memadai bagi orang pesantren dan dijadikan penggalian sumber
pengetahuan oleh kyai atau asatidz di pesantren. Tak heran, di setiap
pesantren di Nusantara mayoritas metode pembelajaranya yaitu menggunakan
kitab kuning sebagai acuan utamanya dengan cara dimaknai di bawah tulisan
arab dengan memakai bahasa sesuai wilayah masing-masing.
Orang maduran pakai Bahasa Madura, begitupun orang Jawa memaknai kitab
menyesuaikan dengan Bahasa yang dipakai oleh penduduk setempat. Fokus
kajianya pun beragam. Ada Tauhid, tafsir, ilmu tajwid, filsafat, balaghoh,
dan fikih. Sejauh penulis ketahui, pesantren di Indonesia kajian paling
dominan adalah melingkupi tentang fikih.
Dominasi fikih ini tidak bisa dilepaskan dari periode sebelum-sebelumnya
yang sangat kaitanya dengan sejarah peradaban Islam dan tokoh yang
dijadikan kiblat oleh ulama Nusantara pada era waktu itu. Dari masa itulah
kemudian paradigma yang dibangun, pengetahuan yang dikaji sebelumnya
terwarisi sampai era saat ini di setiap pesantren di Nusantara.
Inilah latar belakang mengapa pesantren di Nusantara fikih lebih dominan
dikaji dibanding keilmuan lain. Terlepas dari itu, pengajaran melalui kitab
kuning masih dianggap metode penyampaian ilmu yang sangat efektif di dunia
pesantren untuk mentransferkan ilmu dari guru kepada murid.
Elemen ketiga Gus Dur menyebut bahwa di pesantren ada nilai yang dianut
khususnya oleh masyarakat pesantren. Saya belum mengerti nilai apa yang
dimaksud Gus Dur, menurut pandangan penulis nilai yang dimaksud sangat erat
kaitanya dengan kehidupan santri sehari-hari bersama santri lainya,
guru/kyai, dirinya sendiri, dan pada masyarakat yang tingga di lingkungan
pesantren.
Pada sesama santri, ada nilai sosial yang sangat tinggi dibangun tanpa
harus dibeda-bedakan sesama santri lainya. Meskipun santri terlahir dari
orang berada, masuk pesantren semuanya sama, tidak ada yang lebih tinggi
ataupun lebih rendah berdasar faktor kelas sosial.
Selanjutya nilai kepatuhan terhadap kyai/guru yang sangat hormat. Lancang
pada guru disebut prilaku su’ul adab. Sebab itu, apa yang
disampaikan guru seolah-olah tidak bisa disanggah dan apa yang diperintah
guru adalah sebuah keharusan mematuhi. Jika mengkritik guru yang dikira
salah menurut persepepsi pribadi dianggap prilaku tercela atau tidak sopan.
Belum lagi penghormatan lain yang biasa dilakukan oleh masyarakat pesantren
terhadap gurunya. Tentu sikap demikian belum tentu bisa dijumpai di lembaga
lain.
Lalu pada hubungan santri dengan dirinya sendiri. Pesantren adalah tempat
mencari ilmu dan barokah. Menuju jalan panjang itu tidaklah bisa dicapai
dengan sikap foya-foya dan budaya hidup nyaman. Segala kenyamanan harus
ditinggalkan, tidak boleh dibawa ke pesantren. Dari larangan itu tidak lain
kecuali mengajarkan santri untuk hidup sederhana dan menjalani hidup apa
adanya alias tidak menuruti kehendak hawa nafsu.
“Di pesantren orang mencari ilmu harus merasakan jerih payah dan susah,”
begitu pesan yang pernah penulis dengar. Dan terkahir nilai sosial bersama
masyarakat sekita persantren.
Komentar
Posting Komentar