MENGHADIRI GUS DUR DENGAN MENELADANINYA
Islam datang bukan merubah budaya leluhur kita menjadi budaya arab, bukan
aku jadi ana, sampean jadi antum, sedulur jadi akhi, kita pertahankan milik
kita, kita filtrasi ajarannya bukan budayanya.(Abdurrahman Wahid)
Tugu
muda yang berdiri tegak di tengah bundaran lapangan depan Museum Deponegoro, menjadi
simbol dari pada sejarah kota Semarang. Tadi malam tempat ini dijejaki manusia
mulai dari PELITA (persaudaraan lintas agama), pelajar diberbagai perguruan tinggi
kota semarang, dan aktivis sosial. Tapi bukan aksi bela agama yang berjilid -
jilid, melainkan untuk merefleksikan perdamaian sebagai kegiatan dalam rangka
memperingati houl ke tujuh bapak bagsa Abdurrahman Wahid atau Gus dur. Dan tak
lupa, turut hadir masyarakat kendeng yang sudah 12 hari berbaring menuntut
mencabut ijin lingkungan didepan pintu gerbang Kantor Gubernur untuk menunggu
sang penguasa keluar dari sarang nya. Dengan selendang yang dipakai merupakan
ciri kas penduduk setempat dan topi tani(‘’odheng’’
dalam bahasa madura) bertulisan ‘’tolak
pabrik semen’’. tak lepas dari kepala sebagai mahkota.
Lantunan
puisi mulai disuarakan mengenang wafatnya Gus Dur sebagai nada pembuka, mampu
membuat massa meratapi kesededihan atas kehilangan tokoh penebar kedamaian,
pembela minoritas, pembela kaum tertindas, dan pembela masyarakat lemah. Sudah
7 tahun lamanya ia meninggalkan kita, meninggalkan Indonesia, namun suara untuk
menelusuri jejaknya tak ada henti di
bahas diberbagai sudut belahan jiwa dunia.
Gus
dur yang notabenenya beragama islam memandang Islam bukan sekedar agama yang
berporos pada aspek teologis saja, tetapi dalam aspek sosialpun demikian, maka
tidak salah jika Gus dur dilebelkan tokoh pruralisme. menurutnya sebagai umat
beragama yang terpenting adalah bagaimana memanusiakan manusia. Karena semua agama
mengajarkan nilai-nilai kemanusian kepada sesama manusia tanpa pandang bulu apa
agamanya, apa sukunya.
Perefleksian
perdamaian semakin didapat maknanya ketika Nogroho tokoh Kristen sahabat Gus Dur saat
menceritakan pengalamannya dikala ia mendampingi Gus Dur. ia menuturkan” Gus dur mempunyai jiwa yang benar benar
murni, dia lebih cinta indonesia dari pada golongannya sendiri’’
Hadirnya golongan Syia’ah, Ahmadiyah, Kristen,
Katolik, Islam dan agama dan komonitas lain di tengah acara dalam refleksi
perdamaian memperingati Houl Gus Dur menandakan dan membuktikan bahwa kehadiran
beliau di bumi nusantara ini memberikan makna toleransi, sikap perdamaian, dan
jiwa kesolidaritasan antar golongan dan agama.
Gus
dur sudah wafat, tapi beliau masih hidup, kehidupan beliau dapat kita rasakan
kembali jikalau kita mencontoh teladannya. Yakni sikap cinta tanah air, cinta sesama manusia,
tidak mendiskriminasi kelompok, dan menebar kedamaian di dunia, khususnya di
Indonesia yang multi agama dan etnis.
Diujung
acara sebelum doa yang disampaikan oleh Gus Ubaidillah Ahmad, bapak Nogroho
memeberi pesan kepada hadirin ‘’
mengingat Gus Dur bukan menangisi saja,
tetapi melanjutkan api yang sudah dinyalakannya’’.
Komentar
Posting Komentar