Langsung ke konten utama

TERSESAT


Oleh : Hasan Ainul Yaqin (Inunk)
Cahaya layar lebar di bioskop begitu mencolok menyinari ruang yang dipadati penonton dari setiap kalangan, keramaian di dalam ruangan tidak seperti biasanya yang hanya dipenuhi orang – orang bersaku tebal yang mampu membeli tiket untuk menonton film sesukanya, tetapi malam itu suasana tempat hobi kaum kelas atas demi sekedar menghilangkan kebosanan berubah menjadi suasana kesedihan dan keheningan.
Hening Bukan karena malam mulai larut kemudian situasi menjadi hampa bagaikan orang yang tidak berani bicara lantang mengungkapkan kebenaran yang harus ia sampaikan, bukan juga karena ada orang meminta pertolongan tapi tak ada satupun yang rela mengulurkan tangannya, namun objek film inilah yang menjadikan suasana tampak berubah tidak seperti malam – malam biasanya yang  penuh tawa kala film komedi dipertontonkan, yang mengundang ketakutan kala film horor tertayang dengan penampilan menyeramkan, yang meluluhkan perasaan kala film romantisme percintaan mulai menguasai layar kaca.
Inilah film refleksi 20 tahun Reformasi yang mengubah suasana bioskop tampak hening membuat penonton tidak percaya pada apa yang namanya Reformasi, reformasi yang diidam-idamkan melahirkan kemakmuran, kesejahteraan, kebebasan  justru berbuah pahit mengebiri orang yang nasibnya terpinggirkan. Buruh, petani, rakyat jelata, perempuan, pengemis tidak kunjung usai menjadi korban kebrutalan Negara, kekerasan atas nama golongan semakin lepas dari perhatian Negara, semua orang membela masing – masing haknya, tetapi tidak sedikitpun yang sadar akan kewajibannya.
 “Negara ini dinobatkan sebagai Negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam  melimpah ruah, semua tersedia di bumi yang dikaruniai tuhan bernama Indonesia, tetapi saudara, tersimpan dimana kekayaan ini, ditangan siapa harta karun itu sembunyi, kalau masyarakat kita masih belum menyicipi ketentraman dalam hidup karena susahnya mencari makan, sulitnya diterima masuk lapangan kerja, maka saudara, sejatinya kemerdekaan yang diraih 73 tahun yang lalu harus mesti dipersoalkan, maka tepat malam reformasi inilah kita perlu merefleksikan bahwa Indonesia benar – benar merdeka, di moment ini kita berkumpul bersama membicarakan masalah serius bangsa ini,” kata Ketua Panitia Handoko saat memberikan sambutan dengan semangat berapi – api diacara nonton bareng dalam refleksikan 20 tahun reformasi.
Tidak terasa film yang menayangkan soal reformasi  tidak mampu menghipnotis mata mereka yang hadir memadati ruangan kemudian dilanjut diskusi kecil – kecilan terpejam karena mengantuk, padahal waktu semakin larut hingga jarum jam menunjukkan pukul 13.30. sebenarnya usai pukul 23.30, tapi akibat waktu molor akhirnya melebihi jadwal yang ditentukan.
            ya beginilah kondisi masyarakat Indonesia, selalu mengundur waktu, tidak menghargai kesempatan waktu yang ada, mental bangsa kita telah disulap menjadi mental nanti dulu, seolah sudah menjadi kesepakatan umum. Waktu ibarat pedang hanya pepatah yang cukup dihafal, mantra jawa alon – alon seng penting klakon  apa ini yang menyebabkan kita berbuat santai dan saking santainya mengkaburkan waktu yang terselip di sela-sela kesempatan.?
Bayang – bayang itulah yang mengusik fikiranku, Salman. aku tak tau harus bertingkah bagaimana ketika persoalan yang menimpa negeri ini semakin akut, status mahasiswa yang diberi kesempatan padaku mengenyam bangku pendidikan tinggi seperti tidak ada gunanya, peran agent of change yang biasa disuarakan kakak kelasku ketika menyambut mahasiswa baru bagaikan angin yang terselip pada saat menginjakkan kaki pertama kali di kampus.
            setelahnya mahasiswa disibukkan atas apa yang menjadi kebutuhan dirinya, tidak peduli kepentingan yang menyangkut orang lain, Menyandang gelar mahasiswa seolah tidak ada bedanya dengan mereka yang berharap melanjut pendidikan tinggi tetapi tidak kesamapaian karena faktor biaya melambung tinggi, apalagi bagi kaum perempuan di kampungku, kampung primitif, kampung kumuh plus bodoh, kampung yang tidak ada kemajuan meski bergonta – ganti kepala lurah setiap priodenya, mustahil tercapai cita – cita mereka bersekolah mengejar gelar sarjana.
Lingkungan kampungku telah mengkerdilkan kaum perempuan, nasib kaum perempuan seolah sudah ditaqdirkan menjadi Ibu bagi anak – anaknya saat mereka melahirkan, dan menjadi budak suami yang selalu siap melayani kebutuhan seks tuanya.
pesan yang selalu menggema mereka dengar dari orang tuanya, “jadilah ibu yang baik buat anakmu nak, dan jadilah istri yang sholihah bagi suamimu”, mengerjakan tugas semacam itu, perguruan tinggi bukan tempatnya, sekolah bukanlah jembatan menuju kesana, cukup belajar di rumah pada ibu dan saudara perempuan mereka sudah lebih dari cukup.
“Sudahlah, jangan terlalu menguras keringat memikirkan sesuatu yang bukan saatnya kamu fikirkan, yang penting lakukan apa yang menjadi tugasmu sekarang, dan kewajiban yang harus kamu tunaikan, dan yang lebih penting lagi sekarang bagaimana malam ini kita harus pulang, besok kita kuliah mengikuti perkuliahan dosen yang galaknya minta ampun, kalau besok sampai kita tidak masuk karena teledor, siap siap kita mengulang makul di semester depan, dan aku tidak mau mengulang makul yang super sulit ini, Fisika. apalagi diajar dosen yang menjijikan karena kegalakannya yang tidak bisa dinegosiasi,” nasehat Berlin sedikit menenangkan dadaku yang mulai emosi mengamat keadaan, meski kalimat terakhir menjengkelkan darinya, ya itulah watak Berlin berkata apa adanya sesuai yang dia lihat.
            Dialah perempuan yang selalu menyertai kemana aku pergi, berkelana mencari objek wisata ataupun mengikuti acara diluar tugas akademik demi sekedar menghargai waktu luang. Aku ingat betul nasehat almarhum kakekku kala berpamitan pergi merantau ke tanah orang, mencari ilmu, memperluas wawasan, berkenalan dengan budaya lain, beliau berkata “orang pendidikan merekalah yang memanfaatkan waktu luang,” selama ada waktu dan ada moment yang dapat diambil hikmahnya itulah yang menyeretku beranjak pergi, kecuali keadaan saku sedang kering kerontang.
Jalanan tampak sepi, tidak ada segelintir kendaraanpun melintas jalan arah menuju aku dan Berlin pulang, orang – orang pada nyenyak tidur, lampu rumah mereka tak memercikkan cahaya sedikitpun, tidak ada suara kebisingan terdengar, hanya suara motor buntutku dan suara gemuruh angin yang menyusup ragaku, menerobos paru – paru jiwaku, aku lupa tidak membawa jaket di ranselku, sehingga tubuh terasa menggigil bak dikurung didalam kulkas, begitu juga dia mungkin merasakan hal sama yang hanya membungkus tubuhnya dengan kaos tipis meski berlengan panjang.
“aku dingin sekali malam ini, gigiku gemetar kalah melawan semburan angin kencang, apa dirimu juga merasakan sedemikian,” tanyaku pada Berlin dengan tersendat – sendat bibirku mengucapkan.
“kalau bicara dingin, jangan ditanya, mataku sudah tidak kuat melawan ngantuk, fikiranku sudah tertuju diatas Kasur sambil memeluk guling di sampingku, yang penting bagaimana kita secepatnya harus sampai ke rumah,” desak Berlin yang sudah tidak sabar melawan gemuruhnya angin yang  menyerang rongga-rongga tubuhnya.
Suaraku dalam hati tidak tega melihat Berlin, tubuhnya menggigil, tanganya gemetar menggenggam handphone yang batreinya sudah habis, ingin kusuruh memeluk erat tubuhku, tapi khawatir bertafsir negative saat seruan itu kukatakan.
semakin ku laju motor buntutku, melewati jalanan sepi, aku semakin tidak mengerti kemana arah menuju pulang, gelapnya cahaya memburamkan pengelihatanku melihat plank penunjuk arah, tidak ada rumah dipinggir jalan, hanya tumbuhan pinus yang daunya melambai – lambai, dan suara air mengalir di sungai kecil, hanya itu saja bisikan suara terdengar selainya tidak. sepanjang jalan sepi, Berlin menangis sebab kita dalam keadaan tersesat, arah pulang semakin tidak kutemukan, jalan pintas di gang nomor 45 tidak kunjung ku dapati alamatnya, malah alamat salah yang kupijak sekarang, entah dimana alamat ini, tidak ada tanda – tanda yang menyatakan
“kamu tidak perlu menangis, air matamu tidak bisa memberi solusi, yang penting berdoa, berusaha seberani mungkin bagaimana sekiranya kita sampai ke tempat tujuan,” pintaku padanya dengan fikiran yang terombang ambing sebab dalam ketersesatan.
“apa kita tunggu besok pagi saja, menunggu mentari menancapkan cahayanya di bumi? Kita cari tempat tidur yang aman meski itu kumuh,” Ajaknya karena matanya yang sudah tidak kuat menahan rasa ngantuk.
“gila kamu, jangan  Berlin, kita harus mencari arah dengan terus berjuang, seandainya kita bermalam di tempat sekitar sini, bukan tidak mungkin kita diperskusi warga, dituduh yang tidak - tidak saat mereka bangun sedangkan kita masih nyenyak tidur karena kelelahan,”
“Emang diperskusi gimana maksudmu Salman, aku tak faham, kita khan hanya numpang tidur, tidak bertindak macam - macam,” bantahnya.
“walaupun begitu, kamu tidak faham pola pikir bangsa ini, hatinya mudah emosi, fikiranya gampang menyalahkan tanpa alat bukti yang jelas, sudah banyak buktinya, membakar orang yang disangka mencuri, kasus dugaan mesum yang kemudian dua sejoli di arak keliling dengan ditelanjangi di depan warga, apa kamu mau jika itu terjadi pada kita? Tentu tidak toh,” tanggapku sembari menjelaskan padanya.
Sepanjang jalan ku tancap gas, akhirnya berjuma lelaki paruh baya, rambutnya mulai memutih, punggungnya perlahan lahan membungkuk, rupanya bapak ini penjual sate keliling, mungkin karena mengusung jualanya setiap hari demi memenuhi kebutuhan anak istrinya, tubuh bapak ini cepat membungkuk dibelum saatnya.
Kita berdua berhenti di depannya untuk bertanya, sebelum melontarkan pertanyaan, bapak ini menawarkan satenya yang masih belum habis terjual, sambil menyantap sate, lelaki yang usianya berkisar 50 an menunjukkan arah menuju tempat yang kami maksud saat bertanya sembari menyantap sate ayam dagangannya. Berkat petunjuk penjual sate, sudah sedikit memberi gambaran arah menuju pulang.
Semarang, 18 April 2018









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se