Langsung ke konten utama

Merdeka Itu Ya Merdeka


oleh : ink
Tepat 17 agustus 1945 atau dalam kalender Hijriah 9 Ramadhan 1364 H Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari cengkraman bangsa Kolonial maupun bangsa jepang yang menjajah berkisar 350 tahun lamanya. Waktu 350 bukan waktu sebentar, bangsa Indonesia telah berlarut lama menjadi korban kebrutalan yang menjadikan mereka tidak berdaya, tenaga dan jiwanya harus ia pertaruhkan agar dapat bertahan hidup meski harus merelakan menyerahkan sebagian nyawanya dan menggelontorkan keringatnya untuk bekerja di bawah tekanan bangsa penjajah.
Baik kerja tanam paksa, kerja rodi, dan romusha harus ia paksakan melaksanakan sesuai perintah komando meskipun perintah tersebut tidak memperhatikan kondisi masyarakat Indonesia yang kala itu menjadi budak manis sang penguasa. Bekerja semampu dan sebisa mungkin bagi masyarakat yang berada dalam kukungan keterjajahan itu membutuhkan pertimbangan dari pada harus melayangkan nyawa dibelum waktunya.
Menjaga harga diri juga pembelaan diri belum sempat terbayang tergambar di kesadaran dirinya, Negara saja belum berdaulat alias belum merdeka, bagaimana memerdekakan diri sendiri yang diimbangi menjaga martabat harga diri jikalau Negara sebagai otoritas tertinggi tempat berlindungnya bangsa Indonesia masih belum dinyatakan kemerdekaanya. Maka disinilah pahlawan kita beserta rakyat yang hidup pada zaman itu berjuang melawan cengkraman penjajah hingga titik darah pengabisan guna merebut apa yang dinamakan kemerdekaan.
Mereka harus berjuang rela berkorban meski meninggalkan anak bhini dirumah, meninggalkan harta pusaka yang mereka punya, mengesampingkan tugas pribadi dan keluarga demi kepentingan tanah airnya, tanah air Indonesia. Dan inilah jihad sebenarnya, membela tanah air, jihad melindungi harkat martabat kemanusiaan bukan justru membunuh kemanusiaan itu sendiri apalagi sampai membunuh diri sendiri dengan beralasan syarat mati syahid, sungguh memilukan juga sangat memalukan.
Memerdekakan Negara
Apapun yang menimpa pahlawan kita mulai dari penculikan, penyekapan, pembuangan, pengasingan seperti yang dialami Soekarno, Moh Hatta, Tan Malaka, Syahrir, HOS Tjokro Aminoto serta founding father lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namanya dalam tulisan ini tanpa menghilangkan jejak dan jasanya  untuk rumah huniannya yang telah dicabik – cabik sedemikian ironisnya adalah suatu bentuk pertaruhan nyata, bahwa kalau memang kemerdekaan hendak didapat, maka perjuangan, perlawanan sekaligus pengorbanan harus mereka dentumkan dengan siap menerima segala resiko yang terjadi. Seperti halnya disampaikan Tan Malaka, bahwa barangsiapa mau merdeka, maka harus siap – siap kehilangan kemerdekaannya untuk mendekam di penjara.
Dalam pidatonya soekarno menyampaikan, kalau bangsa Indonesia hendak bebas dari belenggu penjajahan, kita harus merdeka dahulu, baru kalau Indonesia sudah menyatakan kemerdekannya, kita perlu menyempurnakan pekerjaan rumah selanjutnya. Ia mengisyaratkan bagaikan orang berkeinginan kawin,maka segeralah kawin, jangan tunggu punya harta banyak sebagai jaminan mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
            Begitu pula Indonesia, tidak perlu menunggu sempurnanya keadaan untuk memerdekakan Indonesia. Baru apabila kemerdekaan sudah dicapai, kita perlu menyelesaikan segala hal yang menimpa bangsa ini begitu menderintanya, mulai kemiskinan, pengangguran, penindasan, pengeplotasian dan lain sebagainya.
 Karena bagi Soekarno dalam risalahnya berjudul mencapai Indonesia merdeka, bahwa kemerdekaan is politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain adalah sebuah jembatan emas, disebrang jembatan itulah bangsa Indonesia menyempurnakan tugas dan pekerjaan rumah Indonesia. Tentu juga merupakan bagian tugas generasi selanjutnya sebagai pewaris kemerdekaan yang telah dicapainya, akan tetapi sudahkan kita utamanya pemerintah sebagai pemikul pundak rakyat menyelenggarakan tugas mulia sebagaimana ahli waris mestinya, atau malah mengubur hidup – hidup harta pusaka mulia itu?
Dewasa ini, sepertinya wajah kemerdekaan belum tampak menggelora menyinari bumi Nusantara. Kemerdekaan yang dicapainya seakan akan berjalan di tempat di atas jembatan emas seperti Soekarno katakan. Menuju garis finis kemerdekaan yang sebenarnya seakan belum optimis bagi bangsa ini jika pemerintah dan generasi selanjutnya sebagai pewaris kemerdekaan belum sepenuhnya menjalankan konstistusi alias mengidap tuna netra konstitusi. Kalau begini kondisinya, perlu mengamini perkataan soekarno, dengan mengatakan bahwa perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, sedangkan perjuanganmu lebih rumit karena melawan bangsanya sendiri.
            Melihat fakta sosial yang ada, seperti pejabat publik yang korup yang seharusnya mewakili dan melayani masyarakatnya justru membunuh dan mengkerdilkan masyarakat itu sendiri, orang pedesaan yang sedang asyik dengan udara sejuk dari permainya lingkungan tiba – tiba harus menelan pil pahit sebagai akibat berdirinya pabrik milik konglomerat yang berimbas pada kepentingan hidup masyarakat akibat pembuangan limbah, pengerukan lahan yang berdampak pada hilangnya mata pencaharian mereka sebagai petani.
Belum lagi membahas kaum miskin kota, mereka yang berprofesi sebagai pedagang di pasar, pedagang kaki lima di pinggir jalan harus ditumpas oleh persaingan globalisasi yang begitu akut. Pembangunan apartemen, mall, perhotelan megah dan bangunan mencakar langit lainnya harus ditanggung dengan miskin hati bagi mereka yang tidak beruntung nasibnya. Perkotaan tempat intraksi antar citizen atau warga sudah dibim salabim menjadi tempat mengerikan, tempat persaingan golongan kelas atas namun meminggirkan golongan menengah kebawah.
            Maka tak salah, Peter Lang mengingatkan dalam bukunya Mortal City yang dikutib Eko Budihardjo dalam buku reformasi perkotaan, bahwa kota – kota besar di dunia sekarang ibarat sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi, tentu yang diuntungkan dalam peperangan ini  yaitu everyday war yaitu pengusaha kelas kakap, merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengekploitasi berbagai paradoks perkotaan demi keuntungan mereka sendiri. sedangkan bagi kaum miskin kota mereka harus terpaksa melapangkan dadanya seolah menerima meski dalam batin memberontak.
Melihat keadaan yang mengenaskan itu, lagi – lagi Negara dan segenap aparaturnya berdasar kewenanganya yang seharusnya membenahi, mengatur, serta merumuskan kebijakan yang berpihak kepada kaum sosial kelas bawah atau masyarakat luas, berpihak pada lingkungan, wahana dimana udara segar yang dibutuhkan semua makhluk terkandung di dalamnya. Apabila Negara menyimpang dari tugas sebaliknya apalagi sampai tidak mau tau maka fenomina bunuh diri ekologis dan bunuh diri perkotaan yang dikumandangkan beberapa tahun silam memberi gambaran nyata pada keadaan saat ini bahwa kesalahan terbesar berada pada mereka yang diberi kepercayaan mengelola tata ruang kota dalam hal ini yaitu pemerintah.
Prof Jhon Rennea Short dalam buku Urban Theory A Critical Assessment menyebutkan, keadaan sedemikian merupakan akibat kekurang pekaan para pengelola kota negara atas masalah lingkungan. agar kemerdekaan dapat diraih seharapan mungkin, maka sudah seharusnya negara harus peka pada kondisi sosial yang ada, membuka mata pada konstitusi serta mengamalkan yang secara orientasi menjunjung tinggi nilai keadilan bagi semua, bukan pada perorangan maupun golongan, dan mengaji ulang sejarah seperti yang founding father terdahulu perjuangkan. Agar kita segera melaju kencang membaawa Indonesia tiba pada titik finish kemerdekaan hakikatnya.
Memerdekakan Diri
Saya mencoba memberi definisi kemerdekaan pada diri manusia sebagai bangsa, apa gunanya merdekanya sebuah negara jika tidak diimbangi kemerdekaan mental bangsanya, maka Negara akan mudah hilang tergadaikan disebabkan kebobrokan mental bangsanya. Merdeka menurut saya ada beberapa hal, mungkin menurut lainya atau pembaca dan pengkritik yang budiman berbeda.
 Tetapi sekali lagi merdeka sepengamatan subjektifitas penulis adalah,  merdeka itu, apabila kita punya prinsip yang tidak gampang goyah. Banyak orang punya prinsip, tetapi seringkali prinsipnya terkalahkan, baik karena kita tidak kuat menahan kuat tali prinsip yang kita pegang atau dirampas orang lain yang seringkali mengatasnamakan solidaritas tetapi salah menempatkan ikatan solidaritas itu dimana. sehingga prinsip yang kita pegang erat menjadi terjual.
Kedua, bebas itu apabila punya pendirian yang kokoh, mengapa harus kokoh karena kalau kita tidak kokoh maka pendirian yang sudah kita rangkai sedemikian rupa menjadi roboh ibarat rumah harus punya pondasi yang kuat, sehingga kita tidak menjadi kaum obyoaan atau kaum yang maunya mengekor melulu. kemudian merdeka itu tidak gampang jatuh apabila dibenci dan dicaci maki orang lain, saya kira selama tindakan itu benar, maka lakukan, orang membenci dan tidak suka wajar, lagian kita bukan manusia pilihan. Manusia pilihan saja sekelas Nabi Muhammad, sehebat Isa dan se legendari filosof Yunani dan tokoh ulama klasik lainya tidak pernah lepas dari orang lain membencinya.
Lagian tidak semuanya orang membenci kita, dibalik banyak yang membenci masih banyak yang menyayangi dan jangan khawatir/ don’t worry, Yang penting kita harus berbaik kepada mereka, masalah mereka membenci atau tidak, we don’t care. Selanjutnya merdeka itu apabila kita berfikir bebas – bebasnya. Kekejaman terpedih diderita manusia apabila ia punya fikiran tetapi dilarang berfikir dengan cara dibungkam. (Erick From)
Terakhir, merdeka itu kita punya ketentuan pilihan sesuai apa yang kita tau, apa yang kita mau, dan apa yang kita mau tau. Karena hidup adalah pilihan, memang semua membutuhkan pilihan, termasuk memilih teman hidup. Hehehe, jika pilihan teman hidup kita dipaksa orang lain sekalipun itu keluarga kita memaksa dengan apa yang tidak kita mau, kita tidak tau. Maka posisi kita sebenarnya belum merdeka. Maka sudah saatnya diri ini dan Negara yang kita citai merdeka 100%.
Bringin Panorama Banjaran, Semarang 24 Mei 2018





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se