Langsung ke konten utama

Islam Dan Kedaulatan Lingkungan



hujan yang hampir terus menerus mengguyur Indonesia semenjak tahun 2017 hingga saat ini memasuki babak awal 2018 masih belum beranjak pergi berganti musim, padahal bencana yang diakibatkan sudah banyak terjadi dipermukaan mulai dari rumah roboh karena tidak kuat menahan arus air yang begitu deras alirnya, ataupun rusak tertimbun tanah longsor merupakan salah satu sebabnya. Dari korban bencana yang bertubi – tubi itu, bukan hanya harta benda yang hilang, nyawapun ikut melayang.
sebagai negara yang bangsanya mengakui keesaan tuhan sebagaimana dalam sila pertama  pancasila “ketuhanan yang maha esa” khususnya umat Islam, Tentu suatu bentuk protes terhadap tuhan  jika kita mengajukan pertanyaan mengapa hujan yang melanda Indonesia tidak kunjung reda sehingga mengakibatkan petaka bencana yang harus diterima bangsa ini.
Seharusnya menurut penulis yang menjadi pokok persoalan yang harus kita nyatakan dan tanyakan adalah, mengapa banjir, tanah longsor dan bencana serupa lainnya semakin menjadi-jadi menghantam negara ini ? apakah memang sepenuhnya kekuasaan Allah sebagai dzat pengatur segalanya berdasar kehendaknya ? bukankah Allah sudah menyatakan dengan jelas dalam kitab sucinya bahwa kerusakan dilaut dan dibumi akibat ulah tangan manusia ? kalau memang pertanyaan  terakhir masalahya, tidak ada salahnya, jika kita meyaqini bahwa tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang pada akhirnya ia menurunkan bencana  serta azab kepada manusia itu sendiri. Seperti banjir bandang, tsunami, kebakaran hutan, longsor dan bencana lainnya.
Menurut kepala pusat data informasi dan humas BNPP, Sutopo Purwonogroho yang dirilis dalam harian kompas.com, selasa (05/12/2017) mengungkapkan bahwa bencana yang menimpa Indonesia dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Sejak awal tahun hingga 4 desember 2017, tercatat 2.175 kejadian bencana melanda Indonesia.
meliputi banjir 737 kejadian, puting beliung 651 kejadian, tanah longsor 577 kejadian, kebakaran hutan dan lahan 96 kejadian, banjir dan tanah longsor 67 kejadian, kekeringan 19 kejadian, gempa bumi 18 kejadian, gelombang pasang/abrasi 8 kejadian, serta letusan gunung berapi 2 kejadian. Dari kondisi amat memilukan ini, harus kita cari akar masalahnya, tanpa menemukan akar masalah selamanya tidak akan mampu memberi solusi agar bencana yang sedemikian bertubi tubi hantamannya tidak terulang dalam peningkatan, paling tidak mampu diminimalisirkan.
Krisis kesadaran ekologi
Bencana alam yang terjadi di Indonesia bukanlah tanpa sebab, tentu sebab pertama sumber malapetaka berasal pada diri manusia dari berbagai kalangan. Bagi kalangan pemerintah sebagai agen pengatur kebijakan tentu harus memperhatikan lingkungan hidup sekitar  bila melakukan pembangunan meski itu demi kepentingan negara.
menganalisis dampak lingkungan yang diakibatkan harus tidak lepas dari perhatian negara dengan melibatkan para ahli yang familiar dalam bidangnya, sehingga bangunan yang apabila sudah jadi tidak memberikan dampak negatif terhadap kedamaian alam sekitar, karena penyebab banjir salah satunya tumpasnya pepohonan yang mentiadakan daya serap air mengurang. Sehingga apabila hujan deras, karena tanah sudah tak mampu menyerap air hujan, akibatnya airpun tidak bisa ditampung yang pada akhirnya mengakibatkan banjir.
Negara memiliki otoritas penting untuk merawat serta melestarikan alam demi kedaulatan lingkungan, yang diperuntukkan sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat. Negara tidak perlu memaksakan kehendak jika setelah dianalisis lahan yang hendak dibangunganya berbuah buruk pada lingkungan sekitar hanya sekedar demi mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai masukan negara tapi mengorbankan banyak hal.
 Pengeploitasian besar-besaran terhadap alam demi meraup keuntungan propertinya tentu berdampak petaka jika dampak lingkugan diabaikan. Oleh sebab itulah demi kedaulatan lingkungan yang didalamnya terdapat demi kemaslahatan bersama, harus lebih diprioritaskan ketimbang kepentingan sesaat seperti pembangunan pabrik, pembangunan jalan tol, penggalian tambang dan tindakan lain yang ujung-ujungnya bukan memberi harapan, tapi justru mengubur impian telah merusak keasrian lingkungan hidup.
Mengingat merawat negara dengan melestarikan keindahan lingkungan bukan hanya dibawah tugas pemerintah dan segenab aparaturnya, maka semua masyarakat yang berlindung dibawah atapnya harus mendukung bertingkah yang tidak merugikan negara dengan tidak mencemari keindahan lingkungan, dengan tidak membuang sampah ke sungai agar tidak menyumbat arus air mengalir, tidak menggundul hutan sembarangan yang mengakibatkan menghilangkan daya serap air. tentu sulit mewujudkan jika tidak ditopang oleh kesadaran.
Ulama dan Dakwah Sosial Lingkungan
menumbuhkan kesadaran bisa datang dari diri sendiri, terkadang datang dari orang lain yang memberi motivasi kepada kita bahwa menjaga lingkungan harus dilakukan. Dalam agama Islam, peran ulama, tokoh pemuka agama, dan pemimpin ormas Islam sangat menjadi teladan bagi umatnya, maka nasehat mereka sangat mudah didengar kemudian diikuti apa yang menjadi petunjuknya. Karena sedemikian kuatnya pengaruh pemuka agama terhadap prilaku umatnya, sudah seharusnya mereka para ulama membuka cakrawala pengetahuan dengan mengungkap fakta masalah apa yang sedang dihadapi masyarakat dewasa ini, sehingga Islam bukan hanya dipandang sebagai doktrin agama, tetapi mampu memberi solusi atas persoalan yang menimpa.
Pandangan manusia yang mengatas namakan taqdir sebagai akar penyebab masalah banjir, longsor, dan bencana lain yang menimpa bangsa ini, harus mulai diluruskan oleh pemuka agama Islam, bahwa sejatinya yang merusak alam adalah tangan manusia sendiri sebelum meyaqini taqdir, allah telah berfirman dalam QS Ar Rum ayat 41 bahwa kerusakan lautan dan daratan akibat ulah tangan manusia. Fatwa ulama tidak hanya berkutat diseputar teologi, yang ,membicarakan hubungan manusia dengan tuhan, tapi hubungan manusia dengan alam yang dibingkai dalam nilai nilai ketuhanan yang disebut eco theology sudah saatnya disampaikan.
Langkah yang harus dilakukan menurut Sekretaris Jendral Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika dan Kanada, Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya berjudul “jihad melawan ekstremis agama” bahwa untuk merumuskan wawasan ekologi berbasis teologi adalah pertama, menjelaskan hikmah parennial Islam tentang tatanan dan struktur alam, didalamnya yang perlu disampaikan hakikat penciptaan alam bagi manusia.
Bahwa tuhan menciptakan alam tentu untuk kemakmuran manusia, suatu bentuk kecerobohon dan tidak tahu terima kasih jika pemberian tuhan yang begitu agungnya bukan dimanfaatkan sebaik – baiknya malah dirusak hanya sekedar kepentingan tertentu, kedua, menumbuhkan dan mengembangkan ekologis yang berspektif theologis. Dengan pelurusan pemahaman Islam tentang pentingnya menjaga kedaulatan lingkungan, maka disanah sebenarnya terpatri Islam rahmatan lil alamin, Islam yang bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan, bukan pula kepada sesama manusia, tetapi Islam juga mengatur hubungan manusia dengan tanah yang dipijaknya yaitu alam semesta. Wallahu a’lam bis showab









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se