Langsung ke konten utama

Obrolan Di Jalanan Mengasyikkan dan Mengharmoniskan


(foto ini diambil ketika jalan-jalan pagi habis ngopi saat bertugas di Desa Pedalaman sambil memerhati bunga desa di lingkungan sekitar)
Oleh : Ink
Wajah kampungku masih belum tampak berubah, seperti sedia kala saat saya masih kecil sampai saat ini, tidak tahu kalau sudah dewasa nanti ketika sudah pulang selamanya ke kampung apakah masih seperti dulu, atau ada perubahan desain pada keadaan lingkungan sekitarku, dimana saya dilahirkan?
 Kerindangan pepohonan di belakang dan samping rumah memberi sedikit ruang pada matahari yang sinarnya begitu menyengat di siang hari, lambaian daunnya mendinginkan hati dan tidak meresahkan burung – burung berkicau merebahkan badannya diatas lahan, anak kecil berlari – lari bermain sesukanya dengan teman sebaya, menghabiskan waktunya hanya untuk bermain sesaat mereka pulang dari sekolah.
Masalah terbesar dalam hidup mereka apabila orang tua menyuruh tidur dan melarangnya untuk bermain. Banyak permainan tradisional yang menjadi hobi anak kecil di kampung, Bermain kelereng, bermain tembak tembak an yang terbuat dari daun pisang, dan bermain petak umpet. Ketika bermain petak umpet, pepohonan yang menjulang tinggi kerap kali dijadikan tempat persembunyian agar tidak ketahuan teman lain yang bertugas mencari kawannya.
 Mereka meluapkan kesenangannya dengan riang gembira, bertawa kocak, obrolan komonikasi tidak pernah hinggap dalam kesepian mereka. Seolah dunia milik mereka yang tidak boleh diganggu gugat kesenangannya.
 Seiring perkembangan zaman, meski pepohonan masih tetap ada, persawahan tidak diganggu persemaiannya oleh bangunan – bangunan yang merusak ekosistem lingkungan seperti di daerah lain, namun pemainan tradisional perlahan – lahan hilang dari hobi anak kecil di kampungku. Mereka lambat laun meninggalkan permainan yang tidak menghabiskan biaya besar, serta permainan yang tidak memberikan dampak sama sekali.
 Mereka dihipnotis kesadarannya oleh arus globalisasi, kecanggihan tehknologi menenggelamkan hubungan intraski antar sesama teman mereka. Play station, handphone yang dilengkapi berbagai permainan seakan lebih mengasyikkan diri mereka ketimbang bermain bersama kawan – kawannya. Orang tuapun menjadi tersangka, jika mereka membebaskan sebebas – bebasya anak – anak mereka bermain di depan layar kaca dan menutup tabir intraksi bersama teman sebayanya.
Meski globalisasi berhasil memburamkan keadaan anak – anak di kampungku, asal lingkungan permai nan juga asri tidak ikut tergilas dari sikap ambisi pemikul kebijakan membangun sesuatu yang tidak memberikan nilai manfaat, tetapi justru menyesakkan dada mereka. Mengapa ? kampung yang indah, lingkungan bersih, alam yang permai tempat mereka berpijak itu lebih bermakna dari pada bangunan – bangunan pabrik seperti dialami masyarakat kendeng, reklamasi bagi masyarakat pesisir pantai. Selain berjangka pendek, tentu masyarakat kelas kebawah akan teraniaya hidupnya.
Lingkungan sehat berdampak pada raga kemudian jiwa terasa kuat. Saya teringat masih kecil, ketika menangis, ibuku, kadang ninik, juga saudara perempuan ibuku membawaku ke belakang rumah, melihat lambaian pohon ditiup angin, dan menyaksikkan butiran padi yang mulai menguning, terkadang mereka sambil menunjukkan jarinya ke atas dahan ketika ada burung berterbang dari dahan satu ke dahan lain. Seketika itu nangis berubah tawa, tapi sering juga nangisnya tidak henti – henti. Ini petanda kondisi hidupku mungkin dharurat air mata.
Dulupun saya tidak bertanya, mengapa setiap bangun tidur pagi, mbahku sering menyuruh ibu membawa ke belakang rumah hanya sekedar melihat tumbuhan hijau, ternyata hikmahnya setelah beberapa tahun ketika di pondok pesantren ditunjukkan keterangan  kitab, kalau tidak salah nama kitabnya “kitabun nabat” oleh temanku sekaligus guru ngajiku bernama Ahmad Kholilullah khutaimi yang biasa ku panggil habeb atau gobeb. Salah satu hikmahnya mensehatkan pengelihatan pada mata agar tidak mudah minus(-).
Sungguh memilukan jika alam memberi kedamaian dalam hidup, mendatangkan kesehatan jiwa dan raga kemudian tergantikan oleh bangunan yang berorientasi keuntungan belaka pada kelas kakap tetapi menumpaskan kenyamanan kaum miskin, dalam hal ini mereka yang sudah nyaman bersetubuh dengan alam. Tempat dimana mereka tinggal menggantungkan hidupnya pada alam pemberian tuhan.
Sekelumit cerita di kampung, ada perbedaan dibanding di kota, meski sama-sama yang menjadi sasaran adalah kaum miskin. Di kota, mungkin tidak ditemukan pepohonan rindang dan tumbuhan segar di lingkungan sekitar seperti halnya pedesaan. Sementara di kota, taman di pusat kota dan alun - alun menghibur masyarakat setempat sekedar membius dahaga kejenuhan, dan menyembunyikan secercah masalah yang dialaminya.
Mereka menjadikan taman sebagai panorama keindahan surganya dunia. Mereka menikmati keindahan kota dengan menyaksikan orang lain berlalu lalang sambil membawa keluarganya bertamasya sekedar mengelilingi taman yang menghampar di kota, bertegur sapa sambil mengobrol satu sama lain sulit dicegah bagi pejalan kaki. Berjalan sejauh kilo meter tidak terasa lelahnya jika diimbangi saling ngobrol canda dan tawa satu sama lain mulai bicara penting atau tidak penting sekalipun.
Hikmah berjalan kaki selain  menambah harmonis dalam kehidupan, kemacetan lalu lintas ditambah kesamrawutan polusi sudah pasti dirasa. Sungguh sebuah derita ketika kota dengan keanggunan tamannya tiba – tiba tergadaikan oleh bangunan menjulang tinggi seperti apartemen, mall yang pasti manambah kemacetan lalu lintas dan kesamrawutan tata ruang kota, yang pada akhirnya berakibat malapetaka bagi kaum miskin kota yang sudah merebut demokrasi akan tetapi tersingkirkan kembali.
Ketika menulis sebuah hikmah berjalan kaki, saya teringat ketika menjelajah di Kyoto Negara Jepang bukan pada tanggal dan tahun berapa saya kesana, tetapi pada buku yang saya baca,. Diceritakan bahwa bagi anak usia dini persyaratan yang mesti dipenuhi adalah sekolah harus berada dilokasi yang paling dekat denga rumah tingalnya. Anak – anak diwajibkan berjalan kaki dari rumah menuju sekolah mereka. Boleh diantar jemput hanya pada hari pertama sekolah. Seterusnya mereka harus berjalan kaki.
Dampaknya sungguh dirasa luar biasanya, jalanan tidak dipadati kendaraan yang menyebabkan tidak lancarnya arus perjalanan, kekerabatan antar anak sekolah lantas terjalin erat karena setiap hari mereka berjalan bersama dari rumah menuju sekolah ataupun sebaliknya. Dalam kisah itupun, mereka saling mengunjungi satu sama lain, bermain ataupun mengerjakan pekerjaan rumah.
Lancarnya arus jalanan, riangnya berjalan kaki dalam kisah tersebut, mengingatkan saya dan teman teman saya semasa di Pesantren Zainul Hasan Genggong 3 tahun silam. Para santri dilarang membawa kendaraan oleh pengasuh sesuai peraturan yang ada. Baik santri putra atau putri, anak orang kaya ataupun miskin tidak ada yang diistimekan satu diantara yang lain. Semuanya berjalan kaki dari gubug pesantren tempat tidur dan belajar santri menuju sekolah. Mulai tingkat dasar hingga sekolah menengah atas. Semua berjalan kaki, satu rasa satu tujuan. Bagi santri putri lewat jalur kiri dan bagi santri putra lewat jalur kanan.
Berjalan dari pondok pesantren tepatnya pondok “E IAI (ilmu agama islam)” kompleksku, lumayan jauh menuju madrasah Aliyah tempat dimana kita belajar kalau diakses dengan berjalan kaki. Kita harus melewati pinggir sungai dan melintas depan samping rumah warga agar tidak terlambat masuk sekolah, meski keseringan lambat sih, hehehe. Apalagi pelajarannya bukan pelajaran yang disukai teman – teman, masuknya jam 7 sampai sekolah 07.15 kadang – kadang telat setengah jam.
 Semua dilalui berjalan kaki secara bersama sama alias solidaritas senasib dan seperjuangan. Tidak saling tinggal ketika yang lain masih belum kelar, baik menuju sekolah ataupun pulang dari sekolah kita berjalan bersama – sama. Rasa capek dan lelahnya berjalan tidak dirasa kalau proses perjalanan sambil mengobrol satu sama lain, baik berbicara masalah semaleman, curhat asmara, hingga ngobrol serius berandai - andai masa depan. komonikasi antar teman tetap terjalin, tidak ada yang saling ego antar kita.
 Bahkan ketika ada yang berulang tahun, sering menjadi korban dilempar ke sungai tepat samping akses jalan kaki kita menuju sekolah. Rasa capek dirasa ketika detik detik menerima pelajaran di siang hari apalagi dibulan puasa, kita tidak bisa menghianati lelahnya belajar, meski ada petuah al ajru biqodri taab yakni pahala seseorang tergantung jerih payahnya, lelah tetaplah  lelah. Dan lelah dirasa juga ketika saling kejar – kejaran dengan guru ketika bolos sekolah. Entah semenjak di Mts ataupun di Aliyah.
Dengan berjalan kaki dari pondok ke sekolah atau sebalinya tidak mengalami kemacetan ataupun antrean panjang seperti saat ini saya rasakan di tempat yang berbeda, dimana jalanan begitu padat apalagi pagi hari atau sore hari waktu berangkat orang pergi dan pulang dari kerjaannya. kemacetan dan antrean sudah menjadi taqdir yang entah sampai kapan ini berakhir. Belum lagi asap polusi dan abu jalan tol jelas-jelas sudah mengotori cuaca. Tidak ada lagi kesejukan cuaca untuk dihirup.
Kemacetan lalu lintas di pesantren dan antrean masuk bukan tertuju pada saat melewati jalan raya, karena banyaknya kendaraan melintas,  tidak. Justru antrian santri di pesantren dikala mereka, antri masuk kamar mandi secara bergantian, rebutan mereka bukan seperti salip menyalip antar kendaraan agar segera tiba ke tempat tujuan, namun rebutan santri ketika berlomba – lomba mencium tangan Kyai dan duduk dibarisan paling depan saat kyai menjadi Imam Sholat.
 Terakhir berebut makan ketika hidangan makanan dihampar dijadikan satu tetapi disantap secara bersama – sama. Bukan berarti kita seperti tidak pernah makan, hanya saja sebuah bentuk aplikasi makan seadanya dan makan itu berbagi. Ceritaku, mana ceritamu ?
Di tanah Rantau, Minggu 27 Mei 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se