Langsung ke konten utama

Nidah Kirani, Muslimah Memberontak Tuhan

Sumber : Tokopedia.com

Judul : Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur
Penulis buku : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : ScriPtaManent
Tahun terbit : 2016
Cetakan : XVI
Tebal : 269 halaman
ISBN : 979-99461-1-5
Peresensi : Hasan Ainul Yaqin

Kenapa kita harus diputarkan begitu ? di balik itu maksudnya apa ? apa kita hanya pion semesta yang dibuat permainan, lalu apa artinya hidup kalau hanya dipermainkan Tuhan? apakah Tuhan sudah kehilangan alat – alat permainan ? (148)

Pertanyaan itu Nidah Kirani ajukan sebagai bentuk protes terhadap Tuhan yang sebelumnya prostes itu tidak berani ia lontarkan. Semua perintah Tuhan ia lakukan dan larangan Tuhan ia jauhi. Tapi setelah ia bergabung pada jamaah agama tertentu dan berjuang mati-matian demi agama yang ia anut, akhirnya membuatnya mempertanyakan mengenai agama yang ia perjuangkan itu.

Pada saat bergabung pada komplotan jamaah Islam yang dikenalkan oleh temanya, Dahiri. Agama yang ia anut tidak sekedar peribadatan yang terpisah dari negara, justru syariat agama harus ditegakkan dalam bernegara.

Di sini Kiran getol – getolnya memperjuangkan agama dan hukumnya harus ditegakkan. Hukum yang tidak sesuai dengan agama yang diyakini dan diperjuangkan, Kiran giat betul untuk segera diganti dengan ideologi yang menurutnya pas diterapkan di Indonesia.

Kiran begitu militan memperjuangkan agamanya itu agar hukum di agama yang diyakini dilegalkan menjadi hukum negara. Perjuangan Kiran sangat gagah, ia berhasil mempengaruhi teman dan orang terdekatnya. Paham yang ia terima dari Jemaah yang mengusung idiologi tertentu ia bawa ke rumahnya hingga pada akhirnya orang tuanya diberi pemahaman bahwa syariat agama harus ditegakkan.

Militansi Perjuangan Nidah Kirani

Perjuangan Kiran tidak main-main demi menghidupi Jemaah yang ia ikuti, karena militansinya itu, uang saku, dan uang kuliah yang dikirim oleh orang tuanya diinfakkan untuk kepentingan agama. Tetapi pada giliranya perjuangan terhadapa agama rapuh dan kadas, hingga rasa kekecewaan begitu mendalam menghinggapi dirinya tatkala ia bertanya kepada teman dan tokoh di komplotanya mengenai perjuangan pada agama hanya dijawab dengan dogma yang tertutup.

Kehampaan hatinya pun kosong, batinya pun seolah terluka karena jawaban tidak berhasil menuntaskan pertanyaanya kritisnya. Kekecewaan pada teman dan jamaahnya berimbas pada kekecewaan terhadap Tuhan. Lalu ia memberontaknya. Jadilah Kiran perempuan yang dulunya taat dalam beragama tapi pada akhirnya menjadi perempuan pelacur. Lalu di sini penulis memberi judul “Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur”

Kiran sapaan akrabnya merupakan wanita muslimah yang taat beragama. Selama tinggal di pesantren waktunya ia habiskan untuk sholat wajib maupun sholat sunnah. Di bibirnya basah akan busa nama Tuhan yang selalu didzikirkan. Waktunya tidak pernah luang dari segala aktivitas keagamaan. Seperti membaca Al Quran dan berdzikir.

Tapi aktivitas religi yang biasa ia lakukan perlahan ditinggalkan karena ada perasaan kecewa yang membuatnya berhenti berjuang. Bukan hanya berhenti, bahkan Kiran melawan perintah Tuhan yang sebelumnya ia bela dan ia jaga.
.
Buku karya Muhidin M. Dahlan ini, dinilai kontroversial di sebagian kalangan. Banyak pihak mencercanya, bahkan di perguruan tinggi yang namanya sama dengan tokoh utama novel ini; Nidah Kirani ijazahnya ditahan. Namun dari sekian banyak pihak mencelanya tidak sedikit pula membela dan menyambut hangat atas terbitnya novel tersebut. Buku ini mengajak berfikir kritis atas persoalan yang terjadi di sekeliling kita.

Bagaimana tidak menuai kontroversi, dilihat dari Judul buku saja, pandangan orang yang melihat dari segi bungkusnya saja tanpa pandang substansinya, pasti memandang geram dan sinis. Bagaimana memandang sinis, Tuhan yang melarang aktivitas tak senonoh semacam dunia pelacuran dimintai izin agar dapat restu menceburkan diri di lubang seksual.

Membongkar Relasi Gender


Novel ini sarat dengan makna yang bisa dinalar. Dalam buku ini penulis mencoba membongkar relasi laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan gender. Dalam hal pernikahan pun selalu menempatkan laki-laki makhluk paling mendominasi terhadap perempuan. Perempuan tidak boleh keluar rumah, hanya melayani seks suami di ranjang.


Karena itulah Kiran dalam novel ini tidak berkenan menikah. baginya nikah adalah persoalan seks yang dilegalkan. Selebihnya adalah ketergantungan dari perempuan kepada suami. Mengapa perempuan masih saja menerima walaupun dihianati oleh suami? Karena perempuan bergantung pada suami. Karena ketergantungan itulah membawa perempuan pada kedudukan paling bawah dan selalu berada di bawah ketiak laki-laki.

Ketergantungan tidak lepas dari tradisi budaya masyarakat dan dogma agama dimana posisi perempuan selalu dikerdilkan. Dari sini penulis mencoba mengajak pembaca utamanya perempuan untuk bangkit dan mengubah wajah kusam tradisi agama. (230)

Membuka Tabir Kepalsuan


Nidah Kirani banyak berjumpa dengan kaum laki-laki. Bukan laki-laki biasa ia jadikan teman sekaligus teman di tempat tidur untuk melampiaskan frustasi itu. Laki-laki yang ia jadikan teman adalah orang yang dipandangnya memiliki kekuatan dan nilai jual yang tinggi di tengah lingkungan masyarakat.


Seperti golongan aktivis, agamis, dan akademisi sekaligus pejabat publik sudah barang tentu memiliki power tinggi di hadapan banyak orang. Orang memandangnya hebat. Sikapnya diduga tidak akan pernah melanggar norma yang ada karena mereka terdidik. Namun dipelukan Kiran ketika perempuan ini berubah menjadi penggawa laki-laki. Laki – laki itu takluk di hadapanya.

Laki-laki itu lemah tidak kuat menahan hawa nafsunya. Tunduk terhadap perempuan hanya karena daging semata. Semua laki-laki yang terlelap dipelukan Kiran. Mereka adalah orang yang sekedar bersembunyi di balik kedok agama. Tapi sungguh naif, masyarakat yang sudah terlanjur memberi stampel orang sebatas pada bungkusnya saja. Sementara bungkus itu menipu dan tidak jujur. Buktinya lelaki yang menggauli Kiran adalah golongan terdidik semua.

Keterpesoaaan pada bungkusnya hingga melupakan esensi di dalamnya. Dan di novel ini Muhidin menggiring pemikiran pembaca untuk tidak terlena pada yang namanya bungkus yang dibuat-buat oleh budaya masyarakat. Bungkus itu penuh tipuan, keterpesonaan, dan buaian belaka. Buktinya orang yang dipandang alim, pandai, agamis, tapi pada saat tertentu ketika dipertemukan dengan godaan sedikitpun ia menggilainya.

Kelebihan dan Kekurangan.


Buku ini sangat manarik dibaca. Ulasanya padat dan berlogika. Daya kritis yang dimiliki penulis mampu membuat pembaca bernalar untuk mencermati masalah dalam banyak aspek. Sehingga hal yang kelihatan tabu bukan hanya dinilai karena masalahnya. Tapi perlu penelusuran lebih dalam mengapa masalah itu terjadi.


Tapi kekurangan buku ini, peresensi rasa penulis terlalu kaku melukiskan kata di sebagian lembar dalam buku ini. dan juga ada kata asing yang cukup sulit difahami seperti kata post modernisme pada halaman 149. Tentu orang yang masih asing dalam bidang filsafat akan bertanya – tanya istilah post modernisme yang penulis maksud.

“Telah kau jadikan kau cinta sejatiku, tapi mengapa semua perasaan ini kau peras dan kau patahkan sendiri ? oh tuhan, aku ingin mencintaimu dengan segala kesungguhanku. Dan aku telah cobai itu. tapi gagal. Lalu bagaimana lagi caraku untuk mencintaimu bila kau menutupi diri. Aku makin tak tau siapa diriku, apalagi dirimu” 159

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se