Langsung ke konten utama

Mantan Aktivis Mahasiswa, Antara Mempertahankan/Menggadaikan Idealisme


indoprogres.com
Kehidupan sebenarnya bagi aktivis mahasiswa tidak hanya semenjak ia menyandang status mahasiswa. Tetapi dunia keaktivisan mulai dipertarungkan ketika ia mulai bergelut di dunia luar. Hanya saja Apakah idealisme yang mereka tanam saat menjadi mahasiswa di kampus tetap dipertahankan atau jutru tergadaikan. Masalah ini yang patut kita renungi bersama. Jawabanya tentu berada pada diri kita sendiri.

Dunia luar yang menggiurkan menyisakan pergulatan batin bagi mantan aktivis mahasiswa. Akal sehat, jiwa yang jernih, fikiran yang waras demi membela kebenaran dan keadilan yang diyakininya semuanya dipertaruhkan di panggung realita sebenarnya.

Secara historis, gaung aktivis mahasiswa dalam melawan kediktatoran pemerintah sangat getol. Sebut saja pada masa kedikatoran orde baru. Fikirannya kritis, kritiknya tajam, dan gerakanya militan. Mereka tidak akan ambil diam kala melihat kebijakan pemerintah dianggapnya menyeleweng.
Tapi pergerakan ini mungkin saja tidak berlaku ketika sudah tidak lagi menyandang status mahasiswa. sekian banyak contohnya para mantan aktivis mahasiswa menjadi budak kekuasaan yang membela status quo.

Jangankan membela status quo, menghianati rakyat melalui janji palsunya teramat banyak mereka nodai. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan menghamba pada kekuasaan yang dilakukan oleh mantan aktivis mahasiswa mengundang penulis untuk bertanya-tanya soal mantan aktivis mahasiswa.


Mengapa aktivis mahasiswa yang dulu begitu getol menyuarakan keadilan tapi pada saat menyandang mantan aktivis haluanya menjadi berbeda? Apa latar belakang yang membuatnya sedemikian, sehingga idealisme yang melekat padanya harus tergadaikan ?

Kemana pengetahuan yang membahas tentang gerakan rakyat, yang dulu dibaca dan didiskusikan oleh sesama aktivis mahasiswa seperti pemikiran Karl Marx, Hegel, Antonio Gramsci, dan lain-lain? Kenapa tiba-tiba saat mereka (aktivis mahasiswa) menjadi pimpinan di lembaga negara, suaranya bungkam, daya kritisnya tumpul, dan berubah menjadi penakut. Tidak seperti waktu menjadi mantan aktivis mahasiswa. Andi Arif misalnya.

Mungkin pembaca sudah tahu profil Andi Arif kala menjadi mahasiswa, kalau anda tahu keadaan Andi Arif saat ini mungkin mengagumi dan merindukan sosok andi arif yang dulu saat menyandang aktivis mahasiswa.

begitulah prinsip hidup bagi aktivis mahasiswa jika tidak dipegang erat- erat sampai kapanpun dan dimanapun berada, idealisme mudah saja terjual, membela kebenaran dan keadilan yang menjadi pijakanya segera terabaikan. Tentu hal ini yang tidak diharapkan terjadi terhadap mantan aktivis mahasiswa lainya yang dipundaknya masih memikul penderitaan masyarakat yang harus diperjuangkan sampai darah pengabisan.
Kamis 07 Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se