Beberapa hari lalu, saya dan
keempat rekan saya menelusuri daerah pinggiran, tepatnya di derah dekat
pesisir. jarak dengan pesisir laut tidak begitu jauh. Dijangkau melalu Motor
kurang lebih 15 menitan bisa sampai menuju ke sana. selama 4 hari saya mendiami
daerah tersebut, agar bisa bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan waktu 4
hari, begitu sebentar bagi saya sebagai orang kampung yang secara geogarafis
kehidupanya terbilang berbeda dengan kondisi masyararakat dekat pesisir.
Apalagi untuk menyesuaikan
Bahasa dengan penduduk disana butuh kejelian mendengarnya, terkadang ketika ada
Bahasa yang disampaikan tidak begitu jelas dan artinya sulit saya pahami saya
meminta teman saya menerjemahkanya. Meskipun saya sering mendengar Bahasa jawa
baik saat di pondok dulu dan di tempat yang sementara saya pijak. Tapi Bahasa yang kudengar kali ini
jauh berbeda. karena Bahasa jawa memang bervariasi. Dan Bahasa jawa yang
digunakan masyarakat yang saya datangi entah variasi bahasa apa namanya.
Terlihat halus didengar telinga.
Ada dua rumah kita tempati
guna menggali informasi yang dialami masyarakat setempat. Rumah satu milik bu
tri. Fina dan Nia bermalam disana. Sementara satu teman kami (bu Wahidah)tidak
bisa bermalam. Sementara saya dan arif di rumah bu Tini. Jarak antara rumah bu
Tini dan Bu Tri masih satu kelurahan tapi beda RT. Namun berjalan kaki dari
rumah bu Tini dan Bu Lastri sangat mudah dijangkau.
Namun untuk membincangkan masalah dan rencana
kedepan selama empat hari disana, rumah Bu Tri kami jadikan tempat
mengobrol dan bersantai ria. Sekaligus
tempat makan pun di rumah bu Tri. pagi, siang, dan sore hari. Sekalian biar
tidak merepotkan bu Tini juga, lagian bu Tini juga tidak punya anak perempuan
dan aktivitasnya juga lumayan sibuk selain berdagang juga sering keluar rumah.
Maka disepakatilah rumah bu Tri. di rumah Bu Tri ada Fina salah satu teman kami
yang tidak diragukan lagi soal racikan masakanya dan Nia yang ikut bantu
walaupun sekedar cuci piring. tenaga dan peran kedua wanita hebat ini bisa
membantu bu Tri untuk menyiapkan makan keluarga dan kita selama berada disana.
Sementara saya dan tema lelaki saya. merima jadinya.
Sabtu 10/11 kita tiba di
rumah bu Tri. Kedatangan kami disambut antusias oleh bu Tri dan keluarganya.
Senyum ramah dari tuan ramah sangat membekas saat kami datang ke tempat itu. di
lingkungan sekitar udara amat panas berselimutkan abu. Bu Tri menyuguhi es teh
minuman kesukaan anak muda seperti kami ketika panas hari menggeranyangi.
Kegerahan di tubuh sudah mulai terasa dan kekusaman di wajah tempak terlihat.
minyak dan debu berlepotan di wajah kita semua.
Maklum daerah setempat
selain memang panas matahari, pusat industri dan dekat lautan menambah
kepanasan tersendiri. Apalagi di daerah yang kami sasar itu, rumah satu dan
lain saling berdempetan. Halaman di depan rumah tidak ada. Hanya jalanan tempat
berlalu lalang masyarakat. panas itu bercampur aduk serasa terpanggang. Kalau
dekat lautan, jangan ditanya air yang mengalir di kamar mandinya pun tidak
begitu segar alias hangat dan terasa licin.
Bu tri dan bu Tini ibarat
orang tua kami sendiri. melayani dan menghormati melebihi penghormatan yang
dihaturkan kepada tamu kebanyakan. Mereka begitu perhatian dalam mendampingi
kami belajar tentang kondisi sosial masyarakat setempat. Mereka memperkenalkan kita pada orang lain supaya
keharmonisan dengan warga setempat dapat terjalin. Baik mendatangi rumah warga
ataupun mengajaknya ke mushollah.
Kebetulan bulan maulid nabi mushollah
selama 12 hari tampak ramai, ada suara hadrah ditabuh, pembacaan maulid dibaca.
Kami sebenarnya tidak ada tujuan apa – apa kesana. Hanya saja kami manusia yang
dihinggapi rasa kepo begitu mendalam dalam diri untuk menyisir keadaan
masyarakat yang mungkin menurut saya pribadi masih belum banyak pihak
menjamahnya.
Kami ibarat Tim pencari
informasi fakta dan isu pinggiran tentang pengalaman pahit masyarakat agar bisa
dimunculkan ke permukaan. Alasanya soalnya isu pinggiran seringkali dilupakan
dan ditenggelamkan oleh isu recehan yang menurut kami tidak subtansisial sekali
tapi dibahas panjang lebar. Setelah mengamati dan bertanya Tanya pada sebagian
masyarakat. kebanyak mereka tergolong masyarakat kelas menengah ke bawah atau
kalau dalam lagu buruh tani yang biasa dinyanyikan mahasiswa pergerakan mereka
disebut masyarakat miskin kota.
Bu tri menawarkan
jalan-jalan jika kita di rumah tidak ada pekerjaan, mengajak senam pagi yang
pada waktu itu hari minggu. Kegiatan di hari minggu biasanya senam bersama
ibu-ibu setempat. Fina dan Nia ikut bergabung senam bersama mereka. sementara
saya sendiri tidak, selain karena tidak ada kaum adam yang ikut senam,
berhubung hari minggu memang masih terlalu gegabah untuk bangun pagi. Kebetulan
malam minggu adalah malam panjang. Saya harus berkominikasi agak larut, sengaja
saya jadwalkan dengan orang yang saya istimewakan.
Sebelum kembali ke tempat
masing-masing, Bu Tri mengajak kami berwisata ke tempat yang menurut kita berempat
biasa tapi menurut Nia luar biasa. Maklum bila Nia menganggapnya luar biasa
sebab tempat ia lahir emang belum pernah lihat pemandangan laut yang begitu
menakjubkan mata dan mengherankan hati. Kapal – kapal yang diparkir di tepi
pantai menarik buat baground diambil gambarnya sekedar mengabadikan kenangan.
Selain karya membuat orang tidak dilupa juga gambar yang diabadikan.
Selama 4 hari disana,
hubungan kekeluargaan antara kami dan tuan rumah mulai terikat. Bu Tini dan Bu
Tri sudah menjadi bagian keluarga kami dan merekapun menggapnya serupa. Kami
menggapnya sudah serasa seperti orang tua kami sendiri. Pesan mereka waktu
disana kepada kami selalu diingat dan berusaha untuk menjalaninya dengan niat
dan usaha sekuat tenaga. Doa yang mereka panjatkan semoga dikabulkan oleh
pemilik alam jagat raya. Perjumpaan 4 hari tentu harapanya tidak berhenti disini.
Menjalin ikatan persaudaraan harus selalu dieratkan. Tidak ada kata selain
ucapan terima kasih sebesar – besarnya telah menerima kami dengan jamuan yang
begitu mengesankan.
Setelah semuanya beres,
persiapan untuk pulang. balik ke tempat masing-masing. Sebagaimana tradisi
masyarakat, berpamitan kepada tuan rumah harus dilakukan sebagai bentuk rasa
syukur dan terima kasih. Pertama kami ke rumah bu Tini. Kebetulan bu Tini
sedang duduk santai di rumah sembari menunggu anaknya yang sedang tidur nyenyak
di Kasur. Saya mempersilahkan arif untuk berpamitan. Kebetulan ia Bahasa jawa
cukup mahir, maka ia lebih tahu bagaimana memulainya dalam berpamitan bagi
tradisi jawa.
Air mata bu Tini perlahan menggenang
di kelopak matanya ketika mendengar kami pamit hendak pulang. Doa dan pesanya
kepada kami untuk melakukan yang terbaik diamini oleh kita semua semoga doanya
terkabulkan. Setelah ke bu Tini, kami Ke Bu Tri untuk berpamitan, sebelum
pamitan bu Tri menyediakan makan terakhir bagi kami sebelum balik ke tempat masing
– masing. Tidak lupa, ia mengupaskan manga dimakan bersama sama dengan garpu.
Biar ada sesuatu yang dapat dikenang selama disana, giliran Fina dan Nia
mengajaknya berfoto ria di halaman rumah bersama Bu Tri dan Ibunya yang usianya
mulai menua. Setelah itu kami bergegas kembali. kala jarak semakin menjauh, bu
Tri masih berdiri tegak di halaman rumahnya memandang kami dari arah kejauhan.
Lambaian tanganya mengisyaratkan seorang ibu yang tidak mau berpisah sama
anaknya. (Ink)15/11/18
Komentar
Posting Komentar