Langsung ke konten utama

Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendirian


Sumber gambar : Idntimes.com 
Beberapa hari lalu tepatnya di hari minggu kebetulan bersamaan dengan CFD, di depan kantor Gubernuran Jawa Tengah menjadi titik kumpul untuk aksi solidaritas terkait pelecehan seksual yang kian hari mengguncang kehidupan bangsa kita. Aksi tersebut digawangi oleh mayoritas kaum perempuan. mereka menyuarakan kegelisahannya atas masalah yang kian hari objek sasaran adalah golongan perempuan. aksi serupa juga dilakukan di tempat lain bersamaan dalam peringatan16 hari anti kekerasan
Kekerasan yang dialami perempuan beragam bentuknya, namun kekerasan berbentuk pelecehan seksual mendominasi dari banyaknya kekerasan yang menimpa mereka. ini sesuai data yang dipublish Badan Pusat Statistik dimana 28 juta perempuan Indonesia mengalami kekerasan. Pelecehan seksual disini berbentuk pemerkosaan, perdagangan orang, pemaksaan berhubungan seksual. Dan bentuk- - bentuk pelecehan seksual lainya.
            Memang kekerasan seksual tidak bisa difahami selalu objeknya adalah perempuan, bisa saja laki-laki. Namun dari sekian banyak fakta yang ditemui di lapangan kebanyakan perempuan yang menjadi pihak ditumbalkan menjadi korban kekerasan pelecehan seksual. saya tidak akan mengulas mengapa selalu perempuan seringkali perempuan korban? Ada apa gerangan dengan pihak perempuan sehingga ia berada di posisi sangat rentan untuk dilahap anggota tubuhnya oleh lelaki ? apakah memang demikian adanya, perempuan ditaqdirkan sebagai pihak yang selalu di bawah dan begitu mudah dijadikan korban ? dan mengapa perempuan tidak berani melawan atas kekerasan yang menimpa dirinya?
Saya ulangi lagi saya tidak akan mengulas atas pertanyaan yang saya ajukan di atas. Hanya saja apapun yang menimpa bangsa ini baik datangnya dari luar maupun dalam apabila berkaitan pada persoalan yang menjangkiti nilai – nilai keadilan dan merusak tatanan kehidupan kita, maka hendaknya ini ditempatkan pada persoalan bersama dan disikapi secara bersama – sama bagi setiap elemen.
            Salah satunya berkaitan dengan kekerasan pelecehan seksual, dimana perempuan sering menjadi sasaranya ini adalah masalah bersama dan yang memperjuang pun tidak hanya dari golongan perempuan saja, kesadaran laki – laki dibutuhkan untuk berdiri tegak dan menyuarakan penolakannya atas kekerasan yang dihadapi oleh kebanyakan perempuan. Luka mereka adalah luka kita semua. Bukan karena perempuan acapkali menjadi korban hingga hanya perempuan saja yang memperjuangkanya. Kalau memang ini yang terjadi maka sebenarnya ada gap/kesenjangan tersendiri dalam arti perjuangan terhadap pelecehan seksual yang saat ini lumayan maraknya.
Dalam rentang waktu 16 hari anti kekerasan sejak 25 November 2018 saya menemukan berbagai acara dalam memperingati hari anti kekerasan. Baik melalui media ataupun melihatnya secara langsung. Ada beragam cara mereka gelar dalam merefleksikan hari anti kekerasan sebagai ungkapan rasa peduli sosial atas masalah yang berkelindan dan masih belum menemukan cara jitu pemecahanya.
Entah dengan aksi solidaritas di tempat manapun, jalanan, depan kantor pemerintah atau di tempat lain yang sekiranya suara mereka didengar atau diskusi terkait tema kekerasan seksual melalui cara diskusi santai sambil nonton bareng yang berkaitan bagaimana kekerasan terjadi. lebi-lebih kekerasan yang diselayangkan terhadap perempuan yang tidak jarang menjadi korbanya.
            Kegiatan semacam ini tentu perlu diapresiasi setinggi – tingginya. Penggelaran acara tersebut memberitahu kita bahwa kekerasan bagaimanapun bentuknya terlebih mengenai pelecehan seksual sangatlah mengoyak batin korban. Tidak hanya fisik yang terancam, masa depan pun mereka takutkan dan penuh kegelapan dalam pandangan.
Tapi ada keanehan tersendiri yang menghinggap dalam benak dan fikiran pribadi saya saat mengikuti acara hari anti kekerasan yang digelar. Entah aksi solidaritas di Tugu Muda beberapa hari lalu, atau diskusi kecil – kecilan yang membicarakan tentang kekerasan. Keanehan itu terletak di gerumunan peserta yang didominasi oleh kalangan perempuan dalam acara tersebut. laki laki sebagian kecil saja hadir. Dan ini tidak seperti aksi – aksi besar lainya seperti pengalaman yang saya ikuti dulunya. Biasanya laki – laki bercokol dan berdiri tegak bersuara lantang bila keadilan dilanggar.
Giliran mengenai hari anti kekerasan yang di dalamnya perempuan acapkali jadi korbanya. Angka laki laki berkurang tidak seperti biasanya mereka gemakan. saya beranggapan rupanya persoalan kekerasan di mana sebagain besar perempuan seringkali korbanya, dalam masyarakat kita masih belum diposisikan pada ranah yang telah melucuti nilai – nilai kemanusiaan. Masalah ini hanya dipandang pada persoalan jenis kelamin yang hanya cukup dikatakan bagi mereka yang memikili jenis kelamin sama untuk memperjuangkanya.
            Bila demikian adanya, sebenarnya bukan pada kekerasan itu sendiri masalahnya, tapi proses dan strategi kita dalam perjuangan sudah mengandung masalah. Sebab masalah kemanusiaan dan keadilan, termasuk berkaitan kekerasan pada perempuan  merupakan masalah serius yang perlu disikapi bersama dan butuh perjuangan bersama pula tanpa pandang jenis kelamin. Maka jangan biarkan perempuan berjuang sendirian atas kasus yang acapkali menimpa dirinya. Bukankah kekerasan merupakan ranah kemanusiaan ?  (Inunk)
Tanah Rantau 30 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se