Langsung ke konten utama

JANGAN JADIKAN ULAMA TUMBAL POLITIK




Belum lama lagi, negera kita akan menyelenggarakan pesta politik mencari sosok manusia bertahta dikursi kekuasaan sebagai kepala daerah. Kampanye sebagai bentuk memperkenalkan namanya mulai teredar di sepanjang jalan mulai dari poster, baliho, dan tidak ketinggalan media sosialpun kerap kali menjadi senjata handalan yang mudah tersaji mencamkan dirinya sebagai calon kepala daerah.
 Selain menggunakan poster, baliho, dan umpan lainya, nama ulamapun menjadi mantra penarik massa sebagai pengayuh menyebrangi hutam rimba meraih kekuasaan. Karena tokoh ulama bagi golongan masyarakat puritan apalagi masyarakat pesantren merupakan tokoh sanjungan yang setiap ucapan dan tindakan menjadi teladan bagi setiap kalangan dan harus diikuti. Saking kemulyaan dimata manusia inilah kemudian terbit buku berjudul “mentuhankan ulama” Ini dimata umat manusia, kalau dimata tuhan biarkan saja sisinya sendiri yang tau perihal manusia.
Pasti tuhan maha adil tidak akan memihak diantara manusia melainkan berdasar ketaqwaannya. Ini janji tuhan dalam firmannya. Berbeda sama halnya manusia yang sering kali memihak kepada mereka yang berduit dan menindas bagi mereka yang miskin, memfasiltasi bagi mereka yang elite dan mengkerdilkan bagi mereka yang tak memiliki kekuasaan. belum lagi berbicara janji manusia, apalagi janji politik, para calon daerah begitu gegap gempitanya meyaqinkan masyarakat dengan obralan janji mulai janji pendidikan bagi mereka yang tidak mampu, kesehatan bagi mereka yang tidak memiliki akses yang cukup untuk berobat, lapangan pekerjaan bagi mereka yang menganggur.
semua dikemas dalam bentuk rayuan gombal demi memikat hati manusia ditambah dengan nama ulama yang diproklamasikan dapat menumbuhkan rasa perhatian tersendiri buat para calon sebagai bumbu perangsang janji kampanyenya, yang membuat masyarakat tak lagi berdaya mengelabuhi pilihanya sesuai arahan ulama sanjungannya. Karena keyaqinan mereka kalau tidak mengikuti ulama, penamaan “manusia tidak memiliki sopan santun” harus siap siap mereka terima. Bahkan tidak jarang yang memvonis merupakan perbuatan dosa apabila menyimpang dari pilihan ulama.
Kata ulama berdasar kamus KBBI adalah mereka yang ahli dalam bidang pengetahuan agama Islam. Katakanlah seperti ustadz, tokoh masyarakat, ataupun kyai. Lumrahnya yang menjadi sasaran keoptimisan adalah tokoh ulama di pesantren. Sebab pesantren dengan banyak santri yang bermukim dibawah naungannya akan membuahkan modal suara tersendiri jika para santri atau keluarga si santri memilih pemimpin sesuai petunjuk kyainya.
 Budaya kehidupan orang pesantren tidak bisa disamakan dengan tradisi luar pesantren. Dikalangan pesantren dikenal dengan istilah sam’an wa thoaatan/ mendengar lalu mentaatinya. Jika santri mendengar ucapan kyai memerintahkan untuk memilih calon nomor sekian, dalam aspek moral kebiasaan santripun tak perlu berfikir panjang harus melaksanakan perintah apa yang telah disampaikan sang kyai.
Sebagai sosok ulama tentu tidak begitu saja menyuruh memilih ummatnya sebelum mempertimbangkan mana yang terbaik diantara yang baik masing – masing para calon demi memimpin untuk kepentingan masyarakat. perbedaan pandangan masing – masing ulama dalam menentukan sikap politiknya terhadap pemilihan para pemimpin tidak jarang kita jumpai.
 Namun Perbedaan pandangan termasuk berkaitan dengan politik dalam pandangan Islam adalah hal yang wajar. Namun menjadi tidak wajar dan ironis sekali apabila perbedaan pandangan tidak disikapi secara dewasa dan luwes hati oleh pihak tertentu hingga berujung pada keterpecahbelahan antar masyarakat. apalagi membawa nama ulama dengan cara memobilisasi, dipastikan akan memperkeruh nama ulama dihadapan publik.
berbicara politik (politik kekuasaan) memang sangat rawan akan dampak negatif segala mara bahaya dalam segi kehidupan. Kehidupan tidak lagi megalir apa adanya bagaikan air mengalir yang bermuara dari pangkal ke hilir melewati bebatuan tajam dan paras yang keras, melainkan kehidupan sudah terinfeksi kepentingan tertentu dengan jangka waktu tertentu. Sangat disayangkan hanya dengan jangka waktu tertentu inilah kemudian mengorbankan keharmonisasan sosial antar manusia yang seharusnya kita pelihara dan kita jaga. khususnya menjaga nama baik ulama agar tidak buram dimata manusia. Sekian...!
Sabtu, 17 Februari 2018
Inunk Ainul Yaqin






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se