Langsung ke konten utama

Perselingkuhan Antara Penguasa Dan Pengusaha




Kekayaan alam merupakan nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan untuk bumi petiwi Indonesia, utamanya kepada masyarakat Kendeng Rembang Jawa Tengah yang telah menikmati kekayaan alam sebagai ladang pertanian yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara rencana pendirian pabrik Semen Indonesia  mempleaningkan untuk membangun di area pegunungan kendeng, tentu mengusik petani desa dan masyarakat Kendeng yang hidup dari hasil pertanian di tempat sekitar yang telah menjadi mata pencaharian penduduk masyakat setempat.
 demi menghindari pendirian pabrik tersebut, aksi penolakanpun di  dilakukan oleh masyarakat kendeng yang kontra terhadap pendirian pabrik Semen, mulai waktu pertama sampai sekarang, mulai bertempat di kantor Bupati hingga kantor Gubernur yang menjadi lidah rakyat  masyarkat Jawa Tengah, tidak puas, aksipun dilakukan di Istana mulia tempat dimana Presiden bersimpuh dikursi kehormatannya.
Aksi cor kaki yang dilakukan beberapa petani kendeng didepan Istana Merdeka , bukanlah suatu bentuk egoisme dan melukai diri, kalau aksi cor kaki dianggap melukai diri hingga tewasnya Yu Patmi perempuan usia 43, itu lebih baik dari pada membunuh nyawa masyarakat yang telah nyaman dengan pertanian.
Berkaca pada sejarah
Membicarakan kebijakan penguasa terhadap petani kendeng perlu berkaca kepada sejarah jajahan Kolonial, semenjak tahun 1870 Pemerintah Hindia Belanda membuat beberapa peraturan baru yang mengubah dari sistem jajahan ala VOC menjadi sebuah jajahan yang bersistem liberal.
Sistem liberal merupakan ideologi kelas tertentu yang mencirikan kepentingan tertentu.[1]jelas bukan kepentingan rakyat. mulai sejak itulah mengalir perkebunan, pertambangan, dan pabrik – pabrik,[2] peristiwa itu dilakukan oleh bangsa Kolonial terhadap pribumi. Namun perbedaan pada pasca kemerdekaan, Penguasa Kolonial dan Birokrat seluruhnya digantikan oleh golongan Pribumi sendiri.[3]
Perkembangan ini tidak jauh berbeda jika diposisikan pada pabrik semen yang berupaya mendirikan pabrik dipegunungan Kendeng Rembang, akan mendatangkan malapetaka kerugian terhadap rakyat, karena masyarakat kendeng pekerjaan petani adalah pekerjaan generasi ke generasi yang mayoritas penduduknya bertani. Otomatis pendirian pabrik Semen yang mengesampingkan aspek kemanusiaan dan kerakyatan, akan mengancam kehidupan dan hak lingkungan.
Hak lingkungan
Semua manusia mempunyai hak yang tidak bisa dirugikan oleh orang lain, hanya untuk kepentingan segelintir orang, begitupun masyarakat Kendeng, jika pendirian pabrik semen itu berdiri tanpa melihat dampak lingkungan, maka hak masyarakat terhadap lingkungannya tercemar.
Lingkungan hidup mempunyai fungsi pokok yang sangat sentral pada masyarakat dan lingkungannya. Pertama, penyedia bahan mentah (SDA) sebagai kebutuhan primer dan sekunder, kedua, sebagai sumber kesenangan yang sifatnya alami seperti menghirup udara segar. Ketiga, menyediakan diri sebagai tempat untuk menampung dan mengelola limbah secara alami.[4]
Pendirian pabrik semen kalau ini terus berlanjut untuk di dirikan, maka selain lingkungan tercemar, juga perlahan – lahan kaum tani bertaranformasi menjadi buruh yang hanya bekerja memenuhi kepentingan kaum kapitalis.
Menurut Karl Marx, buruh ialah mereka yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama sekali, kecuali tersisa tenaga, badan, dan nyawa.[5] Sedangkan Keuntungan – keuntungan yang diperoleh petani dari hasil bumi pedesaan, mengalir deras atas kepentingan pemodal.[6]kalau sudah dikuasai pemodal, maka tak bisa disangkal, nasib Petani tidak ada seperti apa nantinya.
Ternyata nasib petani yang relatif belum berubah semenjak kolonialisme, yaitu hanya sebagai objek ekploitasi, objek represi, dan objek hegemoni.[7] Jika hal itu terjadi, pengekploitasian terhadap masyarakat kendeng yakni berkurangnya air akibat resepannya dibangun sebuah pabrik, pencemaran limbah debu merusak ekosistem dan lingkungannya, dan berkurangnya SDA diladang tempat dimana petani kendeng menggantungkan hidup ditanah tersebut.
Korelasi Negara dan warga
Negara indonesia yang sistem pemerintahannya demokrasi, tidak bisa dipisahkan antara peran negara dan peran masyarakat dalam mengatasi hal tersebut. Keduanya seperti mata uang yang saling berperan. Menurut teori Demokrasi, keduanya harus mensinergikan kekuatannya sesuai fungsinya.
Fungsi negara yang kuat yaitu memberikan perlindungan, keamanan, menjamin kesejahteraan, menjaga keutuhan integrasi wilayah mutlak diperlukan,[8] tentu dalam perspektif Kendeng, negara patut memberikan kesejahteraan ekonomi dan penghidupan pada masyarakat sekitar, dengan cara memihak kepada masyarakat bawah (bukan pengusaha elite)
Sebaliknya, masyarakat yang kuat dimaknai memiliki kemampuan untuk melakukan Kontrol terhadap potensi negara yang mengarah kepada totaliter, otoritarianisme, diktator. pengkontrolan terhadap Gubernur sudah disuarakan, dijalankan, tapi sayang, penguasa memilih menutup mata, demi mendukung berdirinya pabrik semen di Rembang.
Menurut data yang diperoleh dari harian Jakarta, Kompas. koalisi masyarakat peduli kendeng mengecam Gubernur jawa tengah yang mengeluarkan izin baru pada PT Semen Indonesia, yang melanggar putusan PK MA yang telah membatalkan izin lingkungan pada pendirian pabrik Semen.
Dikeluarkannya izin baru oleh Gubernur terhadap pabrik semen, menunjukkan kebijakan politiknya mengarah pada kepentingan kapitalis, benar apa yang diramal Robinson , bahwa kapitalisme di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat kuat pada negara, atau bisa dibilang kapitalisme yang memang disengajakan.[9]
Seandainya kapitalisme tak bisa dibendung atau bahkan di dukung oleh negara, maka kemerdekaan secara ekonomi yang dialami  masyarakat pegunungan kendeng jauh diambang batas. Melainkan kemerdekaan hanya dirasakan oleh segelintir orang. kekayaan dan pendapatan yang sangat besar pada sekelompok orang, tentu saja memberi peluang untuk membina basis kekuatan sosial politik untuk melindungi dan memperkukuh kepentingan mereka.[10]
Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah, suatu kenikmatan yang didapat oleh masyarakat yang ada di Indonesia, khususnya petani Kendeng. tapi menjadi penderitaan jika kekuasaan terhadap hal itu, diambil alih oleh pengusaha melalui pendirian pabrik semen atas persetujuan penguasa.(pemerintah).
Ekonomi kerakyatan
 pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menunjukkan bahwa kekayaan alam diperuntukkan semata – mata untuk rakyat. dimana berbunyi Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat” maka sangat mengherankan jika pabrik semen berdiri bukan berakibat untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat, tetapi sebesar – besarnya untuk kemiskinan rakyat.
pada pasal tersebut, itu artinya ekonomi kerakyatan, kepemilikan, kegotong royongan yang menyebabkan kesejahteraan adalah ekonomi konstitusional, yaitu seluruh warga negara yang harus dikerjakan dan dibagi serta dilindungi oleh semua komponen bangsa.[11] Melalui usaha bersama semacam inilah kemakmuran masyarakat diutamakan ketimbang kemakmuran orang  seorang.
Berkenaan dengan ekonomi kerakyatan yang dibangun berdasarkan asas kekelurgaan, menarik untuk mengkaji perdebatan antara Moh Hatta yang ahli ekonom dan Soepomi yang ahli hukum. bagi hatta asas kekeluargaan menyangkut pengertian pemilikan kolektif faktor produksi yang diusahan bersama untuk kepentingan bersama. Seperti masyarakat kendeng yang mengurus persawahan dan pegunungan secara bersama.
Sedangkan bagi Soepomo, dilihat dalam kaitannya dengan siapa yang berhak dan wajib menjamin terlaksananya asas kekeluargaan itu dalam penyelenggaraan  Negara. Yaitu kepala Negara atau pemimpin. Bahwasannya pemimpin dan rakyat adalah satu.[12]
Apabila pemimpin menyelingkuhi rakyat dengan memenuhi kepentingan pemodal, maka ekonomi kerakyatan yang berorientasi keadilan sosial bagi masyarakat menjadi persoalan yang belum diselesaikan.
Persoalan ekonomi yang masih melanda di negari ini, karena ketimpangan sosial antara miskin dan kaya, antara tuan dan buruh , antara penguasa yang tidak memihak untuk kemakmuran rakyatnya sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Jika pabrik semen berdiri dengan menutup mata pada masyarakat yang telah nyaman dengan pertanian dan lingkungannya, tak bisa dihindari, kemiskinan semakin meningkat. Jika kemiskinan dan kesenjangan mulai melonjak, inilah penyakit yang sulit dihadapi oleh bangsa.
kesimpulan
Meskipun dengan adanya pabrik Semen ada pemasukan untuk APBD Jawa Tengah, hasil tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan hasil pemberian tuhan yaitu lingkungan yang asri dan alam yang permai untuk masyarakat kendeng bertani. Karena sama saja, jika pabrik itu berdiri, keuntungan hanya berada pada tangan pemodal.
Tentu inilah akibat dari sistem ekonomi kapitalis liberal, yang didalamnya sekaligus berkembang persaingan gontakan bebas, praktek monopoli/oligopoli dan persekongkolan antara penguasa dan pengusaha yang merugikan masyarakat.[13]
Oleh karena itu, jika pabrik semen Indonesia itu berdiri di pegunungan Kendeng, maka keadilan sosial dan kemakmuran rakyat yang menjadi cita-cita Pancasila dan Konstitusi hanya sebatas lembaran yang terpampang, tapi tidak bisa dirasakan oleh masyarakat Kendeng.
Untuk  merasakan keadilan itulah, maka berada pada negara jawabannya, sebagai penanggung jawab atas kemakmuran warganya yang telah menikmati dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
·          Arief, Sritua Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. Bandung: Zaman Wacana Mulia. 1998
·         Baswir, Revsond Agenda ekonomi kerakyatan. Yogyakarta : IDEA. 1997
·         Fauzi, Noer Petani dan Peguasa(dinamika perjalanan politik Agraria Indonesia). Yogyakarta : Pustaka pelajar. 1999
·         Haryono, M. Yudhie Harta Karun Republik Indonesia. Jakarta : Kalam Nusantara. 2013
·         Malaka, Tan. Aksi Massa. Yogyakarta : peneribit Narasi . 2016.
·         Manan, Munafrizal. Gerakan rakya melawan elite. Yogyakarta : Resist Book. 2005
·         Masriah dan Mujahid. Pembangunan Ekonomi Berwawasan Lingkungan. Malang : UM PRESS. 2011
·         Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta : BPFE . 2000
·         Rodee.,Carton Clymer. Pengantar ilmu politik. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2013
·         Soe Hok Gie. Dibawah lentera merah. Yogyakarta : yayasan bentang budaya. 1999

(tulisan ini, ditulis dibuletin PERISAI PMII Rayon Syariah Dan Hukum Komisariat Uin Walisongo Semarang di tahun 2016)



















[1] .Carton Clymer Rodee. Pengantar ilmu politik. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2013 hal 132
[2] Soe Hok Gie. Dibawah lentera merah. Yogyakarta : yayasan bentang budaya. 1999 hal 7
[3] . Noer Fauzi Petani dan Peguasa(dinamika perjalanan politik Agraria Indonesia). Yogyakarta : Pustaka pelajar. 1999 hal 192
[4] .Masriah dan Mujahid. Pembangunan Ekonomi Berwawasan Lingkungan. Malang : UM PRESS. 2011 hal 96
[5] Tan Malaka. Aksi Massa. Yogyakarta : peneribit Narasi . 2016. Hal 71
[6] . Noer Fauzi. Petani dan Peguasa(dinamika perjalanan politik Agraria Indonesia). hal 192
[7] . Noer Fauzi. Petani dan Peguasa(dinamika perjalanan politik Agraria Indonesia). hal 244
[8]. Munafrizal Manan. Gerakan rakya melawan elite. Yogyakarta : Resist Book. 2005 hal 216
[9] . Revsond Baswir. Agenda ekonomi kerakyatan. Yogyakarta : IDEA. 1997 hal 50
[10]. Sritua Arief. Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia. Bandung: Zaman Wacana Mulia. 1998 hal 221
[11] M. Yudhie Haryono. Harta Karun Republik Indonesia. Jakarta : Kalam Nusantara. 2013 hal 17
[12] . Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta : BPFE . 2000 hal 224
[13] . Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi.  hal 243 -244

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se