Oleh : Hasan Ainul Yaqin
Indonesia sebagai negara berlandaskan UUD 1945
sebagai hukum tertinggi, mendasarkan segala aspek kehidupan bangsa dan
bernegara terhadap hukum, hal ini tertera pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, namun ideologi Pacasila yang
lahir dari konsensus nasional menjadi sumber segala sumber dari hukum yang ada. Inilah yang membedakan
antara negara hukum di negara Indonesia dengan negara lain.
Pancasila telah menjadi keputusan final, tidak
dapat ditambah, dikurangi, bahkan diganti dengan ideologi yang lain, karena
pancasila sendiri sudah mencakup berbagai hal, termasuk hukum. hukum menjadi
panglima tertinggi yang keberadaannya patut dipatuhi sekaligus dijunjung tinggi
oleh setiap warga negara tanpa mengenal kelas tertentu.
Salah satu asas pada suatu negara yang
berdasarkan hukum terdapat asas, bahwa kedudukan semua orang dihadapan hukum
adalah sama (equality before the law). asas ini menunjukan bahwa tidak
ada masyarakat yang diistimewakan satu diantara yang lain berdasar kedudukan,
kekayaan, dan latar belakang pendidikan ataupun agamannya, dan sebaliknya,
tidak ada yang didiskriminasikan satu diantara yang lain. Kesemuanya bagaimana posisi
masyarakat berdiri sama tegak dan duduk sama rendah dibawah payung hukum dalam perlindungan
negara.
Indonesia pada tatanan pemerintahan demokrasi,
kedaulatan rakyat memegang otoritas tertinggi yang tidak bisa dihiraukan hak
dan tanggung jawabnya. Baik yang sudah melekat semenjak ia lahir, ataupun diperoleh
semenjak ia menjadi bangsa yang dilindungi serta dijamin oleh negara melalui
undang – undang yang berlaku. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat pada pasal 28 E ayat 3, merupakan salah satu bentuk kebebasan orang
yang mendapatkan perlindungan dari negara.
Meskipun secara konstitusi dinyatakan, negara
menjamin kebebasan masyarakatnya memeluk keyaqinan, hak untuk hidup, hak
mengeluarkan pendapat, dan hak berserikat ataupun berkumpul, terkadang
berbanding terbalik dari apa yang disabdakan oleh konstitusi itu sendiri,
justru banyak pelanggaran yang dilakukan oleh negara, aktif maupun pasif.
Kasus
HAM belum semaksimal mungkin diusut tuntas, pengancaman kebebasan mengeluarkan
pendapat masih seringkali dijumpai, dan upaya pembubaran terhadap kelompok yang
diduga tidak sesuai dengan kemauan negara sering kali mendapat kecaman atas
dalih bertentangan dengan kepentingan umum ataupun pancasila.
HTI Dibawah Payung Negara Hukum
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI ) merupakan
kelompok yang mempunyai legitimasi hak kebebasan beserikat yang dijamin oleh
undang undang, meskipun ada anggapan bahwa doktrin yang dideklarasikan
bertentangan dengan pancasila, tetapi kita sebagai masyarakat dan negara tidak
diperkenankan berbuat kesewenang – wenangan mengingat negera ini adalah negara hukum.
Dalam
konsep negara hukum, maka kekuasaan tertinggi berada pada hukum itu sendiri (the
rule olf law, not of man). Rakyat dan negara harus tunduk terhadapnya. Sisi
lain dari negara hukum, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis(democratic
of law)[1]
dikatakan negara hukum yang demokratis, apabila hukum itu ditegakkan
setegak – tegaknya, maka keadilan sosial bagi semua masyarakat akan dirasakan
akibatnya.
Penulis
kira inilah negara hukum yang demokratis dimana negara memperhatikan kedaulatan
rakyat untuk dijamin keselamatan dan keamanannya. Untuk mengetahui sejauh mana
hukum itu demokratis tidaknya, tergantung bagaimana hukum itu di buat dan dikeluarkan oleh pihak yang berwenang
dalam hal ini adalah pemerintah(baca: politik hukum)
Hukum dan politik ibarat dua sisi mata uang
yang tidak bisa dipisahkan, menurut slogan populer yang diutarakan Mochtar
Kusumadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan – angan, sedangkan kekuaasaan
tanpa hukum adalah kelaliman.[2]
Maka keduanya tidak bisa berjalan secara sendiri – sendiri.
Secara analisis, dapat dibenarkan apabila
hukum merupakan produk dari pada politik,[3]
karena hukum produk dari politik, maka kerentanan politik sangat menentukan
berlakunya suatu hukum. Menurut Mahfud MD, politik yang demokratis akan
melahirkan hukum yang demokratis, sebaliknya, politik yang otoriter melahirkan
hukum yang otoriter.
Jadi, negara yang berdasarkan hukum, belum
tentu hukum yang diberlakukan baik untuk menjamin kepentingan umum, hanya saja
tergantung bagaimana pemikul kebijakan memainkan politisnya untuk mencapai
tujuan yang dicita - citakan.
Negara Hukum Melindungi HAM
Jerman dibawah Komando Hitler, Indonesia
dibawah Nahkoda Rezim orde baru, keduanya memaklumkan negaranya adalah negara
yang berdasarkan hukum, tetapi hukum yang dibuatnya bukan menyangkut
kepentingan orang banyak, melainkan kepentingan penguasa yang pada akhirnya
melahirkan hukum yang represif. Bagaimana dibawah Rezim Revolusi mental Joko
Widodo saat mengeluarkan Perppu Ormas No 2 tahun 2017 yang saat ini menjadi UU,
sebagai pengganti UU No 17 tahun 2013 dilingkup negara hukum ?
Kehadiran Perppu ormas ini selain disetujui
oleh berbagai pihak dengan alasan karena ditemui ormas yang bertentangan dengan
ideologi negara semacam HTI, namun tidak sedikit pula yang menolaknya, karena Perppu
ini telah meracuni hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
penjaminan
terhadap hak manusia terdapat pengklasifikasian, pertama, hak dalam
jenis non-derogable, yaitu hak bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya oleh negara walaupun dalam keadaan dharurat sekalipun.
Adapun yang meliputi jenis ini salah satu diantaranya,
hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak
kebebasan berfikir, keyaqinan, dan agama. Maka negara tidak boleh melakukan
intervensi terhadap hak ini. Sedangkan klasifikasi kedua adalah hak dalam jenis
derogble.[4]
Pada jenis kedua, bahwa hak boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh
negara.
Adapun yang termasuk pada kelompok tersebut
yaitu, hak kebebasan berkumpul secara damai, hak kebebasan berserikat, hak
kebebasan berekpresi, pada jenis ini, maka negara boleh melakukan pengurangan
ataupun pembatasan bahkan penyimpangan terhadap kelompok yang menyatakan untuk
mendirikan sebuah perserikatan.
Meskipun negara diperbolehkan untuk melakukan
pembatasan seperti pembatasan terhadap suatu Ormas yang dianggap melenceng dari
ideologi negara, namun penyimpangan dan pembatasan hanya dapat dilakukan
apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat
diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional atau ketertiban, kesehatan,
dan moralitas umum dan juga menghormati kebebasan orang lain.[5]
Hadirnya Perppu Ormas Terlalu Tergesa - gesa
Terkait pembubaran Organiasasi masyarakat
(ormas) yang merupakan bagian dari kebebasan berserikat yang dapat dibatasi
oleh negara, namun menurut beberapa ahli tindakan pembubaran merupakan bentuk
tindakan yang paling kejam, seakan akan tidak ada jalan lain, sehingga pembubaran
dijadikan solusi jalan akhir.[6]
Indonesia dalam konteks negara hukum, sebelum
melakukan pembubaran terhadap Ormas yang bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku bahkan mengancam keselamatan nasional sekalipun, terlebih dahulu harus
melakukan upaya-upaya yang sebenarnya sudah diatur dalam undang – undang
sebelumnya, UU No 17/2013 yang meliputi pemberian peringatan, penghentian
kegiatan, sangsi administrati, hingga pembekuan sementara yang semua langkahnya
sudah diatur pada pasal 60-78.[7]
Perppu Ormas tersebut lahir dikarenakan ada
alasan mendesak ataupun kegentingan yang memaksa, meskipun ada alasan tersebut,
dalam menafsirkan “kegentingan yang memaksa” kurang memberikan keseimbangan
jika ditafsir secera subjektifitas dari pemerintah, meskipun langkah ini boleh
untuk dilakuan segera secara cepat.
Namun alangkah baiknya kaca mata secara
objektif masih dapat diajadikan acuan, sehingga pihak yang membubarkan dan
ormas yang dibubarkan dapat mengetahui dan mengoreksi ulang dimana letak
fahamnya yang mengancam keselamatan nasional atau melanggar aturan yang
berlaku. Sehingga pemerintah lebih bijaksana mengedepankan rasa keadilan bagi
semua.
Putusan MK No 145/PUU-VII/2009 memberikan tiga
syarat objektif dalam melihat kegentingan yang memaksa yaitu, adanya keadaan
kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasar
undang – undang, undang – undang yang dibutuhkan belum ada, sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada tetapi undang – undang tersebut tidak memadai.
padahal Undang undang tentang organisasi
kemasyarakatan No 17/2013. Sesungguhnya sudah sangat detail mengatur proses
pembubaran suatu organisasi yang telah disebutkan pada paragraf diatas, mulai
dari pemberian peringatan, pembekuan sementara, sampai pembubaran melalui jalur
pengadilan.
Secara jelas, artinya pemerintah tinggal
menjalankan amanah Undang Undang No 17/2013 tersebut, yang telah mengatur
bagaimana pemberian sangsi hingga mekanisme upaya pembubaran terhadap
organisasi kemasyarakatan yang dirasa ada kegentingan yang memaksa.[8]
Kebebasan Berserikat Dijamin Konstitusi
Konstitusi Indonesia telah menjamin kebebasan
manusia, termasuk kebebasan berserikat seperti yang didirikan oleh ormas –
ormas lain seperti HTI salah satu contohnya, Meskipun diberikan kebebasan,
namun terdapat batasan pada hak tersebut agar kebebasan yang diperoleh tidak
menggangu kepentingan umum dan mengancam keselamatan negara.
Apabila
diketahui bahwa HTI atau ormas – ormas lain melanggar rambu rambu yang
mengancam keselamatan nasional, maka pemerintah seharusnya tidak tergesa–gesa secara
sepihak melakukan pembubaran melalui dikeluarkannya Perppu No 2/2017 tentang
Ormas, meskipun langkah ini boleh untuk dilakukan dengan alasan kegentingan
yang memaksa.
Namun Indonesia
sebagai negara hukum, pemerintah mesti mengacu pada aturan sebelumnya yang
masih bisa dijadikan sebagai tedensi untuk menghadang gerakan fundamentalis
yang dianggap bertentangan dengan pancasila tersebut melalui sangsi yang
terdapat pada pasal 60 – 78 UU No 17 tahun 2013, yakni meliputi peringatan,
penghentian kegiatan, sangsi administratif, hingga pembekuan sementara. Tanpa
melakukan pembubaran secara langsung. Sebab langkah yang ditawarakan
undang-undang tersebut, barang tentu menghindari kekejaman kesewenang-wenangan
penguasa dalam memberikan batasan kebebasan berserikat melalui pembubaran.
(tulisan ini ditulis dibuletin PERISAI PMII Rayon Syariah Dan Hukum Komisariat Uin Walisongo Semarang di tahun 2017)
Komentar
Posting Komentar