Halaman Balai Kota Semarang, masih belum ramai
dipadati penonton sastra pelataran, panitia masih menyusun tempat yang pas agar
tempat yang disediakan memenuhi kuota yang memadai, meski halaman Balai Kota cukup
luas, perhelatan acara hanya memakan setengah halaman, kursipun yang disediakan
hanya beberapa ratus saja menyesuaikan pengunjung yang datang seperti tahun
tahun sebelumnya. Selebihnya karpet berwarna merah tidak begitu panjang dan
juga lebar dihampar pas didepan panggung tempat dimana penampilan sastra.
Panggung sastra dibuka oleh Mas agus sebagai
pemandu sastra malam itu, jumat, Semarang (1/12/2017), acara yang dibuka kurang
lebih setengah jam dari waktu yang ditentukan 19.30, penonton dari latar
belakang yang berbeda – beda, mulai dari yang menyukai dunia sastra ataupun
tidak sama sekali, dari seniman, mahasiswa, dan masyarakat umumpun mulai berdatangan
memadati halaman Balai Kota. Tempat yang disediakan meluap dibanjiri lautan
manusia yang hadir.
Musikalisasi puisi yang berjudul “sungai
peradaban” karya Zubaidah Djohar perempuan asal Aceh menjadi nada pembuka yang
dibawakan oleh 3 anak muda dari dunia sastra yang lupa saya mencatatnya, wanita
yang menyanyikan, keduanya lelaki, satunya memegang gitar, dan satunya lagi
menabuh gendang. Suara yang merdu yang dilantunkan, dengan iringan irama lirik
lagu yang indah, ditambah panduan gitar dan gendang, suasana menjadi lebih
tenang dan lebih hidup. Grimis hujan perlahan-lahan menghampiri, namun tanpa
menunggu lama, dengan cepat juga pergi, suasan kembali bergelora sesuai harapan
panitia dan masyarakat.
“acara pelataran sastra malam ini, penonton
yang hadir lebih banyak dan bahkan melebihidari apa diharapkan ketimbang pada
tahun - tahun sebelumnya,” Sapanya Mas
Agus kepada penonton dengan dibalas tepuk tangan meriah.
Setelah musikalisasi puisi, secara bergantian
dilanjut pembacaan puisi dari seniman yang dijadwalkan dari panitia untuk membacakan
dihadapan penonton, mulai dari puisi yang berbau politik, sosial, dan agama,
dan terakhir penampilan, dibaca oleh perempuan berusia bekisar setengah abad
dari puisi yang diambil melalui karya sosok lelaki budayawan sekaligus ulama
besar Indonesia yang memang ditunggu – tunggu kehadirannya, sambil menunggu, gambarnya
dahulu datang menjadi bagroud dibalik panggung.
Ketika acara berjalan dipertengahan, mobil
Alphard hitam dengan nomor polisi “K 141 KU” memasuki halaman Balai Kota, penonton
terlihat sumringah seakan – akan tidak mengerti apa yang terjadi, ketika orang
pada menoleh kepada jalannya mobil yang kemudian diparkir disebelah kanan
panggung. Pakaian yang serba putih, mulai dari ujung kepala yakni kopyah sampai
ujung kaki dengan celana putih polos, keluar dari mobil disambut para seniman
seperti Prie Gs dan seniman lainnya dan penontonpun mendekat agar dapat mencium
tangannya.
Sosok inilah yang menjadi ikon pelataran
sastra yang digelar di Balai Kota yang mengundang antusias masyarakat untuk
meramaikan acara yang setiap tahun diadakan melebihi tahun sebelumnya, Yakni
KH. Mustofa Bisri yang masyarakat mengenalnya dengan sebutan Gus Mus, seorang
ulama besar sekaligus budayawan ternama di Indonesia yang salah satu karya
puisinya terkenal di luar negeri dengan judul “kau ini bagaimana atau aku harus
bagaimana”.
“orang membuat puisi kuncinya dari banyak
membaca, tidak ada seorang penyair tanpa banyak membaca, dengan membaca maka
akan berjalan, dengan berjalan, maka akan banyak melihat, dengan banyak
melihat, maka akan banyak merasa yang kemudian mengalir terbentuklah karya
sastra,” katanya, ini pengalaman Gus Mus sehingga beliau melahirkan banyak
sastra dari imajinasi dan goresan tangannya.
Waktu semakin malam, namun tak mengantukkan
para hadirin untuk tidur pulas berbalik arah untuk pulang, dikala Gus Mus
menaiki panggung untuk membaca sederetan karya puisinya. Membaca puisi sambil
berdiri bagi Gus Mus, lebih leluasa untuk mengekspresikan sajaknya. Usia yang
sudah semakin bertambah menua, rambut dan kumis yang perlahan mulai memutih
seputih pakaian yang dikenakan malam itu, namun kesehatan raga dan kelancaran
lisannya dalam membaca puisi masih jelas tuturannya tidak sedikit kata yang
keseleo.
“berdiri terus kok capek, tapi membaca puisi
sambil duduk, kok kayaknya kurang sreg,” katanya saat usai baca puisi yang
entah keberapa.
Puisi yang dibaca lebih dari 10 karya , baik
yang berbau politik, sosial, dan budaya, tak lepas aroma maulid nabi masih
dirasa, sehingga puisi yang berjudul ya Rosulullah tidak dilupa dibaca menyesuaikan
kondisi yang ada. Puisi romantisme cintapun tidak luput disampaikan dari pria
yang memiliki nama hampir mirip dari ayahnya yakni KH. Bisri Mustofa.
Judul puisinya
yakni “wanita cantik sekali di Multazam” dan “sajak cinta” yang ditanya oleh wanita yang hadir saat
acara malam itu, “bagaimana Gus Mus memaknai cinta, cinta terhadap istri, cinta
terhadap ibu,” tanyanya. Kemudian Gus Mus membacakan puisi dengan judul “sajak
cinta” berikut petikan puisinya.
“SAJAK CINTA”
cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta
Romeo kepada Juliet si Majnun Qais kepada Laila
belum
apa-apa
temu
pisah kita lebih bermakna
dibandingkan
temu-pisah Yusuf dan Zulaikha
rindu-dendam
kita melebihi rindu-dendam Adam
dan
Hawa
aku
adalah ombak samuderamu
yang
lari datang bagimu
hujan
yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku
adalah wangi bungamu
luka
berdarah-darah durimu
semilir
bagai badai anginmu
aku
adalah kicau burungmu
kabut
puncak gunungmu
tuah
tenungmu
aku
adalah titik-titik hurufmu
kata-kata
maknamu
aku
adalah sinar silau panasmu
dan
bayang-bayang hangat mentarimu
bumi
pasrah langitmu
aku
adalah jasad ruhmu
fayakun
kunmu
aku
adalah a-k-u
k-a-u.
Itulah cinta Gus Mus kepada istrinya yang
diekpresikan melalui sajak cintanya, bagaimana dengan cinta kita kekasih,
apakah melebihi cinta Gus Mus terhadap istrinya ?
Semoga beliau masih diberikan kesehatan
dan umur yang panjang serta barokah, sehingga karya sastra tetap mengalir deras
dari penanya demi mengisi sastra di Republik ini. Sayyidina Umar bin Khottob yang begitu
arogan, kasar tutur katanya, berani bagian dari sosoknya, namun menjadi luluh
hatinya saat sastra Al qur’an dilantunkan oleh putrinya.
Di Tanah
Rantau, Senin 04 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar