Membaca buku bila tidak diresum dan didiskusikan biasanya gampang
terlupakan, ngobrol buku yang kita lakukan kemarin salah satu media
alternatif bagi setiap kru yang hadir dan mau mendiskusikan buku yang telah
dibacanya. Setiap orang bebas mau mendiskusikan hasil bacaanya. Entah
bertemakan Islam, gerakan, sastra, ekologi dan lain – lain.
Harapanya buat pengkayaan perspektif dan menambah pengetahuan. Ngorbrol
buku kemarin, siapun yang berada di forum mau tidak mau harus menyampaikan
buku yang sudah dibacanya. Seolah memang terkesan memaksa. Ngobrol buku
sudah menjadi bagian tradisi dari dahulu kala.
Pertama dimulai dari Jejek. Ia menyampaikan buku karya Tan Malaka yang
berjudul Aksi Massa. Pemahaman Jejek tentang buku tersebut soal
kolonialisme saat menancapkan kakinya di tanah jajahan Indonesia. Pada saat
kolonialisme datang ia berusaha menguasai segala aspek. Khususnya dalam
sektor ekonomi-politik.
Masyarakat Indonesia yang notabenenya sebagai petani dan buruh pabrik
kerapkali menjadi korban dari kebengisan kolonialisme. Sehingga nasib kaum
tani dan buruh tidak jarang mengalami ekploitasi dan penindasan secara
berskala. Dari buku Aksi Massa itu Tan Malaka kata Jejek mengajak
masyarakat melawan segala bentuk kekejaman dan keserahakan yang dilakukan
terhadap masyarakat Indonesia.
Selanjutnya Emil. Ia mendiskusikan buku pengantar filsafat hukum tentang
pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Aristoteles hukum lebih kepada
hak, sementara Plato menekankan hukum lebih kepada kewajiban. Keduanya
berfikiran sama bahwa setiap orang baik masyarakat ataupun penguasa di mata
hukum adalah sama. Tidak ada sesuatu yang diistimewakan berdasakan kelas
sosial.
Selain itu, kata Emil, dalam hukum Aristoteles ia berpendapat bahwa hukum
itu ada yang tertulis dan tidak tertulis. Entah apa yang dimaksud hukum
tidak tertulis oleh Aristoteles. Kalau di Indonesia sendiri hukum tidak
tertulis dikenal dengan hukum adat yang sejauh ini masih menjadi keyakinan
kuat masyarakat Indonesia walaupun tidak dibukukan.
Kemudian Musyaffa’, ia menceritakan novel berjudul Nelongso karya Genta
Giswara. Dalam cerita Musyaffa’ pada intinya novel ini mengupas masalah
romantisme percintaan anak muda. Mulanya hubungan sepasang kekasih itu
berjalan mulus dan penuh kesetiaan. Seiring berjalanya waktu dalam cerita
Musyaffa’, si perempuan selingkuh dengan lelaki lain. Setelah perempuan
menjalani hubungan dengan kekasih keduanya, beberapa waktu kemudian
hubunganya kandas. Si perempuan pun diputus. Lalu ia berinisiatif untuk
kembali pada kekasih pertamanya. Tapi dengan tegas lelaki pertama menolak
apa yang dinamai dengan cinta balikan.
Magus merupakan novel yang dibaca Anisa. Dalam cerita Anisa, novel Magus
ini menceritakan lima pendaki yang terdiri dari mahasiswa. Saat mendaki,
mahasiswa ini diteror oleh seseorang yang melakukan ritual di gunung.
Hinggakelimanya mati secara bergilir.
Sementara Sonia mendiskusikakan masa transisi akuntansi Indonesia. Dalam
masalah akuntansi, mulanya sejarah Indonesia berkiblat pada Amerika, lalu
pada 2014 Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) melakukan perubahan mengikuti
Inggris.
Alasanya karena di Inggris lebih global. Awal mula berkiblat pada Amerika
tidak lepas dari seorang Soekarno yang pada 1950 an mengirim ahli akuntansi
Indonesia sekolah ke Amerika demi memperdalam masalah perakuntansian.
Orientasinya agar sekembalinya ke Indonesia apa yang sudah didapat di
Amerika dapat dipraktikkan atau diaplikasikan di Indonesia.
Kemudian Sasa, ia mendiskusikan buku milik Renald Kasali yang berjudul
Disrupsi. Menurut pembacaan Sasa tentang buku itu, Renald berbicara
mengenai dunia usaha dalam mengahadapi revolusi 4,0. Era digital dengan
segala kemodern dan kecanggihan menuntut seseorang agar segera melakukan
perubahan. Kalau sampai bertahan dengan gaya, strategi dan metode lama
dalam memainkan hidup dan perusahaanya, besar kemungkinan tertinggal jauh
terkalahkan dengan mata-mata tak terlihat.
Menurut Sasa, persoalan ini tidak bisa kita menyalahkan perkembangan zaman
yang selalu berubah, yang perlu dilakukan manusia yang hidup di era serba
digital dan cepat ini adalah bagaimana sekiranya kita membuat
inovasi-inovasi baru yang lebih kontekstual bersamaan dengan waktu yang
semakin berubah.
Lalu Maulana, ia menceritakan Novel karya Tere Liye berjudul Komit.
Berhubung novel itu soal fantasi jadi kurang afdhol bila hanya
mendengarkan. Jadi saya tidak faham. Caranya biar faham memang harus
membaca sendiri.
Kemudian Arul, buku yang dibaca Arul tentang kritik pembelajaran di Pondok
pesantren. Di kebanyakan pesantren ada istilah adab yang sangat dijunjung
tinggi. Mulai adab dalam bersikap ataupun adab dalam melakukan pembelajaran
di hadapan gurunya.
Di kebanyakan pesantren sesuai pembacaan Arul, seolah pendapat atau ilmu
yang disampaikan kyai benar dan harus diterima. Dalam arti, menutup ruang
sanggah dan kritik dari pendengar atau si murid kepada gurunya. Bila
mengritisi dianggapnya tidak sopan.
Menurut penulis dalam kritiknya itu seperti yang disampaikan Arul
seharusnya di pesantren perlu melakukan pembenahan dengan cara
demokratisasi pembelajaran dalam pesantren. Metode seperti itu melibatkan
peran murid, sehingga murid tidak saja menjadi pendengar setia atas ilmu
yang disampaikan gurunya. Melainkan murid turut active dan berdialektika.
Lalu Rusda. Menurut pembacaan Rusda terkait ilmu Fiqih ia menyoroti
bagaimana agar Fiqih dapat menembus dan menyelesaikan persoalan urgen yang
dihadapi masyarakat. Fiqih kata Rusda pernah mengalami masa stagnan atau
mandek. Kemandekan ini disebabkan tertutupnya pintu ijtihad pada abad
pertengahan.
Dengan ditutupnya pintu ijtihad sehingga masalah fikih kering dan hampa
dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat manusia. Padahal kata
Rusda, dunia semakin berkembang, manusia semakin dinamis, dan dalam
perkembangan itu sangat mungkin bila terdapat persoalan-persoalan baru yang
belum tentu terjadi di masa lampau.
Maka dari itu ijtihad harus dilakukan terus menerus sehingga bisa membentuk
formolasi baru dalam fikih yang sesui dengan waktu, zaman dan konteks
tertentu. Fiqih sosial karya Kyai Sahal Mahfudz menawarkan konsep baru
dalam fikih yaitu maqosidus syariah. Maqosidus syariah
diperkenalkan pertama kali oleh imam As Syatibi.
Rusda mencontohkan masalah ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Soalnya masyarakat sudah terlanjur meyakini secara tunggal bahwa penyebab
kemiskinan adalah karena tidak bekerja dan paling mencolok karena takdir
Tuhan. Padahal kata Rusda ada sebab yang sangat subtansi sebagai biang
keladi mengapa masyarakat kita masih terbelenggu dalam kemiskinan,
sayangnya sebab substansi itu jarang disentuh seperti masalah struktur dan
sistem. Kata Rusda Fikih seharusnya dapat hadir untuk memberikan
pencerahan.
Kemudian Arifan, lelaki kelahiran Wonosobo ini menceritakan kisah menarik
dari novel yang berjudul Nawila. Dalam kisahnya, novel tersebut
menceritakan anak bau ingusan / anak kecil yang masih duduk di bangku TK.
Anak kecil itu bernama Nawila yang kemudian menjadi judul novel itu. Dalam
alur ceritanya, penulis mengisahkan sosok Nawila si anak kecil ini dengan
gaya cerita yang sangat mencerminkan anak kecil banget. Seperti rasa
keponya yang tinggi, selalu ingin mencoba, tidak mengenal resiko dan
lain-lain. Seperti yang diceritakan Arifan, dalam novel ini si Nawila
bertanya pada ibunya soal radio.
Kenapa radio ada suaranya tapi tidak ada orang yang berbicara. Sang ibu
berusaha menjawab pertanyaan buah hatinya, tapi jawabab yang diberikan
ibunya belum meyakinkan sang anak. Hingga pada akhirnya pada waktu ibunya
ke pasar, demi memastikan ada apa di dalam radio, kenapa ada suara tapi
tidak diketahui orangnya si Nawila anak kecil tersebut membongkar radio
itu.
Dari cerita ini Arifan mengambil kesimpulan bahwa kita memang perlu belajar
menjadi anak kecil dan mengulangi prilaku yang pernah dilakukan di masa
anak-anak. Seperti tidak gampang percaya, kepo, berani dan mempertanyakan
sesuatu yang belum jelas atau samar keberadaanya.
Terakhir saya, saya baca buku tentang Falsafah Kepemimpinan Jawa. Menurut
buku itu Jawa sarat akan nilai yang sudah dibangun di masa lampau. Sampai
saat ini nilai dan ajaran Jawa ini masih dipegang kokoh oleh masyarakat
Jawa dalam menjalani laku kehidupan yang berkaitan dengan segala hal.
Kebetulan buku ini berkaitan dengan soal politik. Bagaiamana cara meraih
kekuasaan dan bagaiamana kekuasaan yang sudah diraih dapat diintegrasikan
demi kemaslahatan banyak orang. Di dalam buku ini pula dijelaskan bagaimana
sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin. Salah satu ajaran
Jawa tentang politik sumur dan politik sungai.
Sumur di masyarakat Jawa yang kebetulan tinggal di desa hanya dibangun di
daerah lingkungan rumahnya sendiri. Dalam arti yang berhak untuk menimba
air sumur itu terbatas pada keluarga di dalamnya. Pada politik sumur ini
seolah air sumur hanya diperuntukkan oleh golonganya sendiri. Bila anda
melihat pemimpin yang memprioritaskan orang-orang berdasar kesamaan
organisasi, partai, dan golonganya, dalam politik Jawa pemimpin ini
berwatak politik sumur.
Berbeda halnya dengan politik sungai, air sungai yang mengalir dinikmati
oleh siapa saja tanpa terkecuali. Bahkan air sungai tidak saja untuk
memenuhi kebutuhan manusia, ia bisa dinikmati oleh makhluk hidup lain
seperti hewan dan tumbuhan. Artinya dalam ajaran Jawa, pemimpin harus
mempraktikkan nilai daripada politik sungai yang memberi kenyamanan,
kesegaran, dan kemanfaatan kepada setiap orang.
Rabu, 27 November 2019
Di depan PKM
Komentar
Posting Komentar