Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hierata
Tahun Terbit : 2005
Penerbit : Bentang
Tebal : 386 halaman
ISBN : 979-3062-79-7
Peresensi : Hasan Ainul Yaqin
Minggu pagi kemarin (28/07) saya jalan-jalan pagi ke tempat bersejarah di
Semarang. Sesampai di taman Kota Lama bertemu orang Suku Dayak Manyan,
namanya Cecelia Bluwek yang sedang duduk santai. Ia ditemani suaminya,
Abdul Aziz. Pria asal Jember. Tetangganan dengan alamat rumah dimana saya
dilahirkan, Bondowoso.
Sebelumnya saya berniat wawancara ke kedua pasangan suami istri tersebut
tentang tanggapanya mengenai suasana Kota Lama sekarang. Biasanya orang
pergi ke Semarang rasanya kurang sempurna bila belum mampir di salah satu
bangunan tua di pusat kota Jawa Tengah ini. Perlahan topik yang kita
obrolkan meleset dari apa yang saya fikirkan. Berbicara soal suasana Kota
Lama mungkin hanya satu menitan, selebihnya Cecelia bercerita panjang kali
lebar soal kondisi kampungnya di Kalimantan.
Kalimantan meskipun bagian wilayah Indonesia, menurutnya, masih kurang
mendapat sentuhan dari pemerintah untuk mencukupi segala kebutuhan
masyarakat di sana. Kita memang harus mengakui keadaanya, karena paradigma
kita khususya bagi yang tinggal di Jawa telah terbutakan dengan keadaan
yang serba lengkap. Segala apa yang dibutuhkan di daerah kita (Jawa) sangat
mudah dijangkau sehingga kita lupa melirik saudara kita yang masih
tertinggal.
Coba sekali-kali kita menengok masyarakat yang tinggal di luar lingkungan
kita, seperti masyarakat pinggiran ataupun pedalaman. Jangan kira mereka
sudah merasakan kemajuan, kesempurnaan, kelengkapan, dan kemodernan seperti
kita selaku orang Jawa segalanya tersedia di hadapan kita.
Pertanyaanya mungkin mengapa kondisi terbelakang tersebut tidak sampai pada
telinga kita ? Jawabanya Karena di sana via informasi sulit dijumpai.
Sehingga apa yang dialami dan dirasakan, tidak memungkinkan terangkat ke
ruang publik. Akhirnya hanya tinggal cerita dan cerita yang harus diratapi.
Cerita dari Cecelia Bluwe’ kepada saya merupakan kisah nyata adanya, bahwa
Suku Dayak Manyan di Kalimantan adalah satu dari sekian masyarakat
pedalaman yang masih belum merasakan kehadiran negara mengurusnya.
“Semoga dilaksanakan pilpres kemarin, kebutuhan di derah kami bisa segera
diurus,” Harapan Cecelia dan Abdul Aziz.
Kedatangan Cecelia ke Semarang kepentinganya buat berobat di rumah sakit
Kariadi. Karena di belakang kepalanya tumbuh benjolan besar. Ia sempat
menunjukkan kepada saya benjolan yang bersembunyi di balik kerudungnya itu.
Berhubung di Kalimantan belum ada alat yang mampu menyembuhkan penyakitnya,
akhirnya ia rela ke Semarang demi kesembuhan sakitnya meskipun harus bolak
balik dan menggelontorkan banyak biaya.
Tidak hanya itu, Cecelia juga curhat soal Pembangunan di rumahnya yang
belum kunjung taratasi, seperti listrik belum teraliri secara merata,
jalanan sulit dijangkau, angkutan umum dari dulu hingga sekarang harapan
itu belum tercapai, dan terakhir kualitas pendidikan masih terbelakang.
Mendengar curhatan soal pendidikan, saya teringat Film Laskar Pelangi. Dulu
waktu di Pondok, Ibu Sholihah guru Bahasa Indonesia di Madrah Aliyah,
seringkali menggiring kami sebagai muridnya ke Laboratorium Bahasa buat
menonton Film. Salah satu film yang pernah beliau suguhkan “Laskar
Pelangi”.
Bagi kami selaku santri, bisa menonton film secara leluasa merupakan
hiburan yang paling membahagiakan. Film Laskar pelangi diangkat dari novel
karya Andrea Hirata dengan judul yang sama. Saya Yakin meskipun novel itu
karya fiksi, tapi latar belakang dan segala ceritanya dihimpun dari kisah
nyata yang ada di negeri ini. Negeri yang sangat saya cintai.
Novel Laskar Pelangi megulas masalah pendidikan Muhammadiyah di Kota
Belitong. Kualitas pembangunanya sangat terbelakang mungkin sudah tidak
layak dibuat belajar. Karena alasan itulah, lembaga pendidikan tersebut
digunakan belajar bagi golongan sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah ke atas secara bergantian. Pagi SMP dan siangnya SMA.
Guru di lembaga itu, hanya dua. Diceritakan dalam Novel itu, Kepala
sekolahnya Pak Harfan. Sementara gurunya Bu Mus. Bu Mus menjadi guru
satu-satunya di lembaga tersebut yang mengajar segala mata pelajaran.
Alasanya tentu bukan karena bu Mus pintar dan menguasai segala ilmu itu,
hanya saja berhubung di sana kekurangan tenaga pengajar. Mau tidak mau demi
menghindari kevakuman Bu Mus memaksakan diri mengampunya.
Satu kelas terdiri dari 10 siswa. Sekolah Muhammadiyah hanya satu-satunya
sekolah di Kota Belitong. Selainya ada, tapi di luar sana. Tentu
pembangunanya menjulang, fasilitasnya lengkap, gurunya harus diseleksi agar
bisa mendaftar mengajar di sana.
Bagi penduduk Belitong hanya orang kaya saja yang bisa menjaugkau di
sekolah negeri. Sebab biaya yang harus dibayarkan sangatlah mahal.
Sementara rata-rata penghasilan orang tua murid Muhammadiyah di Belitong
tidaklah seberapa. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai nelayan, kuli,
ataupun pekerjaan lain dengan gaji yang hanya cukup menyambung hidup
sehari-hari.
Agar anak tidak senasib dengan orang tua, mereka, orang Tua harus
menyekolahkan anaknya walaupun sekedar di Pendidikan Muhammadiyah Belitong
yang gedungnya hampir peot. Karena mereka percaya, kuci mengubah masa depan
anak-anak terletak di pendidikan.
Beberapa waktu lalu, Kementrian pendidikan dan Kebudayaan menerapkan sistem
Zonasi. Alasan diterapkanya sistem itu yaitu menghilangkan stigma
masyarakat soal pendikotomian antara sekolah favorit dan tidak favorit.
Memang di satu sisi sistem Zonasi benar, untuk menyamaratakan pandangan
antara lembaga satu dengan lembaga lain. Namun di sisi lain, tidak bisa
dielakkan, meski demi menghilangkan sentimen demikian pasti ada tolak ukur
yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dalam memandang pendidikan. Tidak
salah jika mereka menggolongankan di sini sekolah favorit dan di sana
bukan.
Biasanya tolak ukur yang dipakai berkaitan dengan fasilitasnya yang lengkap
dan megah, gurunya yang professional, bukunya yang memadai, alumninya yang
sukses, dan segala macam yang menunjukkan kualitas sekolah tersebut.
Sehingga jika ada sekolah dan belum sesuai dengan tolak ukur yang
dipersepsikan masyarakat, mereka menilai bukan favorit.
Kalau kita tarik soal favorit dan tidak kepada kondisi pendidikan
Muhammadiyah di Belitong dan pendidikan lain di derah pedalaman seperti
diceritkan Cecelia Bluwe’. Lembaga pendidikan di daearah pedalaman bukan
saja tidak favorit tapi juga terbelakang. Itulah potret pendidikan kita di
derah terbelakang.
Tinggal di Jawa kita menyakisikan pendidikan di Indonesia sudah lebih dari
cukup. Yang dipersoalkan mungkin berkenaan dengan biaya sekolah ataupun
kebijakan negara yang menuai kritik seperti sistem Full day School ataupun
yang baru terjadi kemarin, aturan sistem Zonasi. Latar belakang itu, tak
heran banyak kecaman dan kritik dilayangkan oleh masyarakat, pemerhati
politik, dan akademisi pendidikan. Baik pendapat pro maupun kontra. Media
pun berlomba – lomba menyoroti permasalahan tersebut.
Tapi coba dengarkan bagaimana pendidikan di daearah Pedalaman. Jangankan
menantang kebijakan pemerintah, mengharap hal sepele saja masih jauh di
ambang batas. Seperti minimnya fasilitas, sulitnya akses menuju ke sekolah
karena jalanan rusak, kurangnya tenaga pendidik, dan persoalan lain yang
mungkin sudah tidak ditemui lagi pada lembaga pendidikan di kota-kota
besar.
Kegelisahan terhadap kondisi itulah, Andrea Hierata sampaikan melalui Novel
Laskar Pelangi ini. Dan saya pribadi sangat sepakat sekali apabila Ibu Kota
Indonesia dipindah ke Palangkaraya. Tentu dengan dipindahkanya Ibu Kota ke
Luar Jawa, kemajuan Indonesia dapat dinikmati oleh seluruh penduduk negeri.
Dan itu yang kita nanti. Membaca novel ini mengajarkan kita bersyukur dan
membuat hati kita terenyuh, karena banyak saudara kita setanah air
khususnya yang tinggal di pedalaman belum merasakan seperti yang kita alami
saat ini.
Marilah nyanyi bersama :
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
Semarang, 29 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar