(Kondisi pasca dilakukan penggusuran oleh satpol pp terhadap rumah warga Tambakrejo, disana terpampang kain panjang bertuliskan: Kalian Pembunuh)) |
Penggusuran paksa oleh Satuan Kepolisian Pamung Praja (POL PP) di wilayah
pesisir kelurahan Tambakrejo membuat masyarakat setempat harus angkat kaki
dari tanahnya sendiri, ia harus meninggalkan kampung halaman yang sudah
amblas diratakan dengan tanah. Meskipun beberapa warga masih ada yang
menetap namun kebanyakan yang lain sudah mengungsi di rumah saudaranya
masing-masing.
Kampung yang menjadi tempat persemaian kini digusur dengan cara yang sangat
sadis oleh pemerintah Kota Semarang. Orang tua tidak lagi dapat melihat
anaknya riang gembira bermain bersama teman – temanya, berlari – lari
saling bekejaran untuk menikmati kesenangan dan kebahagiaan, tidak lagi
memandang anaknya belajar di Mushollah tempat mengaji yang sangat sederhana
itu.
Begitupun anaknya, mereka tidak lagi melihat orangtuanya dalam keadaan
lelah bermandi keringat datang dari laut karena tuntutan profesi sebagai
nelayan, dan mereka pula tidak lagi memandangi kemasaraaan ayah dan ibunya
seperti sedia kala.
Tumpahan air mata mungkin begitu kondisi yang dirasakan masyarakat
Tambakrejo kali ini saat digusur pada Kamis kemarin (09/05). Rumah mereka
digusur paksa, bahkan sebagian masyarakat lain yang berusaha menghadang
ditindak secara reprsif, kesepakatan antara warga dan pemerintah dihianati,
barang –barang berharga mereka berceceran layaknya barang bekas yang entah
masih adakah yang tersisa atau sudah amblas bersamaan dengan kehilangan
rumahnya.
Dan mereka bingung, kemana tempat yang hendak dijadikan ruang berteduh
nanti untuk melindungi tubuh-tubuh mereka yang panas kala terik matahari,
yang dingin kala hujan mengguyurnya. Karena dua cuaca ini yang sampai saat
ini saling silih berganti mengganyang kota Semarang terlebih di Tambakrejo,
tempat mereka bertuduh.
Mereka pun linglung pekerjaan apa yang akan dikerjakan nanti, karena mereka
harus terusir dari tanah yang mereka tinggali, terusir dari tanahnya itu
berarti bukan hanya rumah yang hilang tapi pekerjaan sebagai nelayan pun
hampa. Rumah satu-satunya yang dihuni bertahun-tahun lamanya harus diratapi
dengan terpaksa dan jelas tanpa ketidakrelaan.
Musim hujan ditambah bulan suci ramadhan sepertinya sulit bagi mereka
dinamai bulan yang berkah, kalau pada kenyataanya kenestapaan yang amat
pilu mereka alami. Mereka harus tinggal ditempat tidak layak, yakni di
tempat bekas mereka tinggali, sehabis digusur tentunya rumah tidak layak
dihuni. Sebagian lain pun harus menelan pil pahit meratapi kesedihanya di
bawah kolong jembatan.
Sementara penguasa duduk manis menikmati hari harinya indah bersanda gurau
dengan kawan kerjanya, menjalin kemesraan dengan keluarganya. Sungguh
Ironis, begitu kejamnya negara ini. pemerintahan yang katanya berslogan
hebat, ternyata bukan hebat memakmurkan rakyat, melainkan hebat menindas
rakyat. Penggusuran yang dilakukan adalah bagian penindasan terhadap rakyat
kecil dan kepada masyarakat miskin kota.
Tidak ada keinginan yang mereka harapkan selain rumah mereka tegak kembali
seperti sedia kala, tapi sayang rumah mereka sekarang rata dengan tanah.
Anak-anak mereka harus merasakan trauma begitu dahsyat karana tidak
sepantasnya anak sekecil itu memandang kekerasan yang dilihat lewat matanya
sendiri.
Bukan uang, bukan jabatan, bukan pula kehormatan yang mereka inginkan, tapi
keadilan pemerintah untuk memikirkan hidupnya rakyatnya. Hidup mereka
dihancurkan oleh pemerintahnya sendiri. Secara tidak langsung penggusuran
yang dilakukan sama halnya membunuh nyawa masyarakat yang tinggal di
wilayah yang rumahnya digusur. Melihat kondisi demikian sungguh benar kejam negara ini, sungguh kejam dan sangat
kejam. Dengan dalih kepentingan umum rumah mereka hilang hingga pada
akhirnya terusir dari tanahnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar