Tanpa terasa hidupku di tanah rantau sudah hampir mencapai 4 tahun, ibarat
waktu sudah berada di ujung penghabisan. Walaupun 4 tahun tinggal dan besar
di sana, liburan tiba saya menyempatkan waktu meski sebentar buat pulang
kampung untuk melepaskan dahaga rindu pada kampung halaman dan orang-orang
di dalamnya.
Liburan yang bertepatan dengan Ramadhan, adalah waktu yang memang
ditunggu-tunggu oleh kebanyakan teman teman perantau seperti saya. Saat
liburan Ramadhan tiba, biasanya saya menahan diri untuk tidak segera mudik
sebelum semuanya beres. Mulai dari urusan akademik, organisasi, hingga
urusan pribadi. Paling cepat H-5/H-3 hari raya saya mudik ke kampung. Tapi
kali ini tampak begitu gegabah saya ingin pulang.
Ya selain orang rumah menyuruh lekas pulang, di waktu itu juga bertepatan
dengan reoni kelas IAI angkatan 19. Awalnya saya tidak mau hadir ke acara
reoni tahun ini, karena dalam pertimbanganku saya harus menghabiskan waktu
Ramadhan 2019 sepenuhnya di tanah rantau, sebab tahun berikutnya belum bisa
memprediksi apakah masih di sanakah? Atau akan hijrah ke lain tempat. Yang
jelas kalau sudah di tempat lain, berarti ini adalah Ramadhan terakhirku di
tanah orang di Semarang.
Berdasar pertimbangan itu, kemudian fikiranku dilanda dilematis apakah saya
harus segera pulang memenuhi panggilan orang kampung sekaligus pergi ke
acara reoni ataukah harus menghabiskan waktu Ramadhan penuh di sana bersama
teman, kawan, dan orang-orang yang mungkin kelak suatu saat nanti saya
sulit menjumpai mereka kembali. Meskipun hanya sekedar bertatap muka dan
bertebar senyum.
Perasaan dilematis memang menghantui, serasa dibingungkan dengan beberapa
pilihan. Apalagi dilema dalam soal cinta pertimbanganya harus disikapi
dengan kebijaksanaan, tentu istikhoroh tidak mesti dilupakan. Mari kembali
pada topik tentang mudik.
Dilema
Sehari dua hari saya masih bingung belum juga menetapkan keputusan hendak
kemana. Lalu saya pesan tiket buat pulang Hari Raya H-10. Terasa berat
memang pulang lebih awal, mau tidak mau saya harus mengurungkan niat
pertamaku menjalani Ramdhan penuh di tanah orang. Kemudian saya pesan tiket
pada Minggu 26 Mei 2019 hari sebelum reoni. Mengeprsi waktu itu, maksudku
sekalian biar tidak bolak –balik dari rumah ke acara reoni. Kebetulan reoni
tahun ini di rumah Rojebi, Wonoasih Probolinggo. Jadi saya dari Surabaya
bisa langsung menuju ke rumah dia. Begitu pertimbangan kuambil.
Langit cerah dengan pancaran sinar mataharinya membangunkanku dari tidur,
saya lihat ternyata waktu menunjukkan pukul setengah 8, sementara jadwal
pemberangkatan keretaku yang akan membawa badanku pulang jam 11.40. Selepas
bangun, bergegasalah saya menyiapkan barang yang hendak dibawa, menyetrika,
mengemas baju, dan memasukkanya ke dalam tas. Teman-temanku di kontrakan
masih nyenyak dan pulas dalam tidurnya, tubuhnya mungkin letih dari habis
begadang, tidak tega rasanya membangunkan untuk meminta antar ke halte bis
BRT. Akhirnya saya pesan Gojek biar tidak merepotkan mereka yang sedang
asyik tidur. Begitu fikirku.
Setiba di halte, bis yang kutunggu belum juga kunjung datang, sementara
waktu terus berputar hingga menunjukkan hampir pukul 11.00. Setelah
menunggu agak lama, Kemudian bis dari arah selatan datang, tapi sayang
kendaraan itu tetap melaju dengan kencang, tidak peduli orang yang sedang
duduk menunggu di halte. Kulambai tanganku agar supaya berhenti, tapi bis
itu tetap saja melaju dengan kencang sangat kencang.
Daripada saya ketinggalan kereta, ya sudah saya pesan Gojek untuk
mengantarkanku ke stasiun Semarang Poncol. Tarif naik gojek tak semurah bis
BRT 3500, pakai kartu tanda mahasiswa lebih murah lagi hanya 1000. Selisih
20000 dengan gojek.
5 menit sebelum jadwal pemberangkatan, saya tiba di Poncol, lalu berlari ke
tempat chek in tiket, kemudian mencari gerbong kereta sesuai tempat duduk
yang tertera dalam tiket. Beruntung tempat duduk yang kudapat bukan kursi
yang berisi 3 orang, jadi tidak berdempet-dempetan dengan orang lain.
Sebelah kiri-belakangku banyak orang asing. Entah dari mana mereka,
khawatirnya mengganggu jika kusapa mereka, soalnya sedang asyik bercengrama
dengan kawanya.
Mereka tampak ramai di dalam kereta, satu gerbong suara mereka paling ramai
di antara yang lain dari depan sampai belakang, sementara penumpang lain
tidur, diam, dan sibuk dengan hpnya masing-masing, obrolan mereka (orang
asing) tampak cair dan begitu lepas. Saya penasaran apa yang sedang mereka
guyonkan, mencoba menangkap kata demi kata dari mereka belum berhasil
kumemadukan agar bisa kuterjemahkan. Ritme bicaranya sangat cepat, sehingga
aku hanya tersenyum ketika saya dan mereka saling pandang. Sementara
sebagian lainya pegang buku. Setelah guyonan mereka lepas, buku yang berada
di pangkuanya mereka baca.
Tiba Di Pasar Turi
Pukul setengah 5 kereta api Maharani yang kutumpangi tiba di stasiun akhir
Pasar Turi Surabaya. Orang – orang saling rebut agar bisa lekas keluar dari
gerbong kereta. Sebelum tiba, mereka sibuk membereskan barang dan bawaanya.
Situasi stasiun menjelang Hari Raya memang tampak ramai, tidak seperti
bulan-bulan biasanya, Ramadhan, tradisi kebanyakan orang Indonesia mudik ke
kampung halamanya. Bertemu orang-orang yang disayanginya. Perantau seperti
saya rasa rindu pada kampung melebihi rindu pada segalanya. Bagaimana
tidak, kampungku telah membesarkanku. Di sana aku diterima menjadi manusia
meskipun belum seutuhnya.
Panasnya Kota Surabaya membuat dahaga ini kering. Saya berusaha menjalani
puasa agar tetap jalan meskipun rasa haus mulai terasa di tenggorokan.
Minuman segar di pinggir jalan trotoar waktu jalan menuju ke halte tempat
pemberhentian bis kota sangat menggoda. Tapi beruntung perlawananku mampu
mengalahkan godaan minuman segar itu.
Selang beberapa menit, bis kota tiba langsung menuju jurusan terminal
Bungorasih. Setiba di terminal, waktu buka kurang 5 menit lagi. Tanpa habis
fikir, Saya langsung ke warung di dekat terminal menikmati hidangan buka
puasa. Ku pesan nasi pecel, makanan kesukaanku waktu masih kecil, lauknya
telur mata sapi.
Pukul 20.00 bis jurusan Probolinggo segera berangkat, saya bilang ke Jebi,
kalau tiba di terminal untuk dijemput. Kebetulan jarak dari rumah Jebi ke
terminal Bayuangga tidak begitu jauh, kira-kira 3 KM. saya bilang padanya
tiba sekitar jam 23.00 dan Jebi mengiyakan. Ternyata bis berjalan dengan
kencang, sehingga tiba di Probolinggo satu jam lebih maju dari biasanya
tepatnya jam 22.00. Sementara Hp ku mati, sulit menghubungi Jebi. Akhirnya
sembari menunggu kedatanganya, kurebahkan badan di kursi ruang tunggu.
Mataku tak terasa menahan kantuk, tapi nyamuk nakal itu menggeranyangi
kulitku sehingga tidurku merasa terganggu. Lalu pukul 23.15 Rojebi datang
dari arah selatan untuk menjemputku.
Tiba di rumah Jebi, rumah tetangga di sekitar tampak sepi, hanya suara
gemuruh angin yang tampak terdengar. Karena Belum mandi, tidur merasa
kurang nyaman. Mau mandi bingung, suasana di kawasan probolinggo khususnya
di rumahnya Jebi kalau malam hari, sangat dingin. Akhirnya saya putuskan
mandi besok sebelum acara reoni.
Reoni IAI
Acara reoni berlangsung setelah Asyar, teman –teman silih berganti saling
berdatangan dari tempat mereka masing-masing. Ada yang pakai motor dan
sebagian teman perempuan menumpangi mobil yang mereka sewa. Reoni yang
keempat kali ini, adalah 2 kali saya hadir, sebelumnya belum bisa karena
emang belum ditakdirkan.
Moment perjumpaan dengan teman di MAK adalah momen yang dinantikan buat
saya agar segera ketemu dengan mereka, kita berteman bukan hanya sebagai
teman di sekolah, di pesantren, tidur, makan, dan belajar bersama adalah
kebiasaan kami berintraksi satu sama lain. Perbedaan suku, daerah asal,
bukanlah menjadi hambatan bagi kami dalam bergaul. Justru dengan perbedaan
itu semua kita bisa saling mengenal dan mempelajari budaya, karakter kita
masing-masing.
Memori ingatanku kembali pada
mantan
masa Aliyah, ketika acara reoni menampilkan video teman angkatan IAI yang
didesain oleh Kholel. Metamorfosis dari kita begitu cepat. Dari kurus
menjadi gemuk, gemuk menjadi kurus, kusam menjadi gagah, dan
perubahahan-perubahan lainnya. Seandainya ditulis teramat panjang jika
dijelaskan di sini. Tapi satu yang tidak berubah dari kita kalau sudah
berkumpul. Yaitu bagaimana teman – teman bergurau. Serba blak-blakan.
Cinta
Gurau semacam ini yang justru paling dirindukan.
Setelah reoni, teman –teman rapat untuk memutuskan hendak kemana setelah
buka bersama. Banyak usulan dari teman-teman, ada yang usul ke BJBR,
pelabuhan baru, alun-alun, dan coffe. Sesuai kesepakatan bersama di rapat,
teman –teman setuju ke BJBR jika harganya terjangkau. Berangkatlah bersama
–sama menuju ke sana, sesampai di tempat tujuan, ternyata tarif BJBR cukup
mahal, tidak sebanding dari apa yang diperkirakan teman-teman yaitu 30.000.
Hanya warga Probolinggo yang dapat diskon.
Dengan tiket seharga segitu, pertimbangan kembali meracuni teman-teman,
apakah tetap masuk ataukah di luar saja atau pindah ke tempat lain. Bingung
pun serba ada. Berdasar kesolidaritasan, kalau memang mau masuk sekiranya
masuk semuanya, namun jika ada satu tidak setuju apapun alasanya, solusinya
harus pindah ke tempat lain. Ini soal solidaritas. Akhirnya pilihan
terakhir di Coffe dekat pom bensin, tempatnya cukup asyik. Cocok kumpul
sama teman
pacar.
Setelah berkumpul, teman –teman kembali kerumahnya masing-masing, sebagian
besar bermalam di pondok pesantren, termasuk saya. Pondok tampak sepi
karena santri sudah menikmati hari liburnya 10 hari yang lalu. Mungkin
hanya santri seneor idaman yang belum pulang, seperti Rovi, Zahid, Ikbal,
Kiki, Ilyas, dan kholel.
Orang seperti mereka pulang di akhir balik di awal. Hanya orang yang
memiliki perasaan cinta lebih pada pesantren yang bisa melakukan demikian.
Bayangkan saja yang lain segera pulang, mereka masih bertahan. Tidak ada
alasan bagi mereka kecuali alasan cinta. Keren khan Hehe. Perempuan mana
yang tidak tertarik padanya. Orang tua mana yang tidak terpikat ingin
mengambil menantu mereka.
Suara tadarus di masjid menyelimuti kesunyian pesantren, lagu tartil yang
dilantunkan menambah kesyahduan bulan Ramadhan. Meski pondok sudah sepi,
makbaroh kayi Hasan tidak pernah sepi dari peziarah. Sampai kapan pun akan
selalu ada yang mengunjungi. Allahummar zukna bi barokatihi
Pulang ke Bondowoso
Keesokan harinya saya pulang ke Bondowoso dengan teman –teman yang berasal
dari kabupaten yang sam, Indah, Rifa, Uus, dan Tufaila. Saya bilang pada
mereka mungkin begitu ya kalau punya istri empat kemana –mana selalu
bersama. Asal akur keempat istri, hidup lebih bergairah. wkwkw
1 jam kemudian bis yang kutumpangi turun di terminal Besuki, jurusan
Bondowo masih sekitar jam 11.00. Terpaksa saya dan ketiga teman saya naik
angkot. Sementara Tufaila melanjutkan perjalananya ke terminal Situbondo.
Naik angkot tidak senyaman naik bis, serba tunggu menunggu. Udara di dalam
angkot pun cukup panas. Dengan hati sabar, akhirnya angkot tiba juga di
Bondowoso.
Setelah 1-2 hari di rumah, buka bersama di kampung, silaturrahim ke sanak
saudara, saya berdiam diri di pojok rumah sehabis membaca, selang beberapa
menit, kemudian fikiran saya tersadar kenapa saya gegabah pulang. Padahal
Ramadhan tahun depan saya belum memprediksi apakah masih di sana ataukah
tidak?
Apakah mungkin Ramadhan kali ini merupakan Ramadhan terkahir kalinya saya
menjalani puasa di tanah orang di Semarang? kalau ini memang yang terakhir,
berarti kemarin buka dan sahur bersama mereka segenab teman-teman adalah
moment yang mungkin tidak dijumpai lagi di Ramadhan berikutnya. Mohon maaf
lahir dan batin. Bondowoso, 27 Ramadhan 1440
Komentar
Posting Komentar