Langsung ke konten utama

Tetanggaku Baru Saja Melahirkan

Sudah satu tahun lebih saya tinggal di Taman Puri Banjaran Bringin Ngaliyan. Rumah yang saya dan teman sewa ini cukup sederhana. Kecil, ada dua kamar, dan kamar mandi berdempetan dengan ruang tamu, sekali masuk lewat pintu depan langsung tembus berhadapan dengan pintu belakang.

Tapi meskipun sederhana, rumah sederhana ini tidak dibuat risau asal saja bisa buat tidur, belajar, menerima tamu, dan tidak menggangu kehidupan rumah tangga orang lain semitsal kita berbuat rame dan gaduh. Dan tidak menggangu tetangga yang baru saja melahirkan yang rumahnya pas di depan rumah.

Ukuran rumah mereka pun tidak jauh berbeda dengan lain termasuk dengan rumah yang saya dan teman-teman tempati kali ini, kecil dan sederhana. maklum perumahan di komplek ini Puri Banjaran, rata – rata penduduknya pendatang semua sama seperti saya yang berasal dari kota Republik Kopi Bondowoso Jawa Timur.

Jadi ketika mereka boyongan dari tempat asal atau tempat sebelumnya mereka terima jadi rumah yang sudah dibangun oleh pemilik rumah. Bukan hanya ukurannya, model rumahnya pun kebanyakan mirip dengan bangunan di sekitar perumahan ini. salah satunya rumah kita ini dengan rumah tetangga di depan rumah yang baru saja istrinya melahirkan anak kedua.

Selama tinggal di kontrakan, saya mencoba mengamati kehidupan warga sekitar. Mulai dari anak kecil bermain, ibu rumah tangga berkumpul, dan bapak-bapak bercengkrama. Pergaulan masyarakatnya cukup antusias, dan saling bekerja sama antar warga satu dengan lain. kalau ada undangan mereka hadir. Akan tetapi sifat kerja sama yang dibangun di sini berbeda dengan tempat saya di desa, tempat dimana saya dilahirkan. Bukan maksud membadingkan ya gaes antara lebih baik dan tidak.

Di sini di tempatku yang sekarang dan sementara ini, kerja sama akan hadir bila ada hajatan yang memang sifatnya dilakukan secara bersama –sama. Biasanya dipanggil melalui surat undangan. Kalau ada hajatan seperti pengajian, rapat warga, dan kegiatan warga lainya. Dan biasanya kalau ada momen seperti hari kemerdekaan, pemilihan ketua RT atau RW. Mereka bisa meramaikan bekerja sama dengan warga yang bertempat di satu komplek tersebut. entah dengan mendesain acara bersama, atau paling tidak meminta urunan di per rumah denga tarif yang sudah disepakati.

Namun kalau acara yang sifatnya pribadi lalu masyarakat sekita secara spontanitas datang membantu saya masih belum menemukan. Seperti contoh menurun genting untuk merenovasi rumah.

Dan saya merasakan beda dengan di kampung. Ketika tetangga satu ada yang menurunkan genting, tanpa disuruh pun tetangga dekatnya pun bertanya lalu kemudian memabantu menurunkan genting itu. tampa mengharap imbalan maupun ongkos. Mungkin hanya disediakan makan atau kopi saja plus rokok. dan contoh lagi kalau ada tetangga lahiran.

Tetanggaku belum genab satu minggu melahirkan, anaknya mungil saat saya pandang di balik jendela rumah. Tapi saya belum sempat tanya apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. setelah saya amati pasca kelahiran, sehari, dua hari. Warga sekitar yang jaraknya tidak begitu jauh belum juga menyambagi tetangga yang melahirkan itu. “padahal jaraknya dekat, kok tidak dijenguk ya” gumamku dalam hati.

Dan masayarakat di desaku terasa beda dengan masyarakat di tempat yang saya tinggali sementara ini. di kawasan perumahan.

Di desa, ketika mendengar informasi ada tetangga melahirkan, secara spontanitas ada perasaan untuk datang menjenguk keadaan ibu dan bayinya. Mereka yang mendengar selama tidak ada kesibukan langsung berduyun-duyun untuk menghampiri tetangga yang melahirkan pada saat itu juga. Untuk melihat bayi mungil dan keadaan ibu si bayi.

Secara pengamatan saya di tempat perumahan ini beda, mereka tunggu beberapa hari dan tunggu terkumpulnya banyak orang baru mereka menyambanginya. Dari cerita di atas saya diingatkan dengan teori email Durkheim yang membagi masyarakat menjadi dua bentuk, yaitu solidaritas mekanik dan organik.

Masyarakat mekanik digambarkan pada masyarakat pedesaan dengan ditandai terdapatnya ikatan kolektivitas antar sesame masyarakat satu dengan lain, apalagi jaraknya berdekatan. Sementara solidaritas organik sebaliknya seperti yang terjadi pada tetangga ibu yang baru melahirkan ini.

*ditulis sehabis mengamati tetangga yang baru saja melahirkan Jumat, 04 Januari 2019 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se