Tema global FGD yang digelar ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Jakarta) sebenarnya soal “Pemetaan Isu HAM dalam Pembangunan Bali Baru:
Menilik Politik Ekonomi Pembangunan Sektor Pariwisata Presiden Joko Widodo
Dari Perspektif Bisnis dan Hak Asasi Manusia,” Kemudian tema besar ini
difokuskan lagi dalam dua season.
Season pertama tentang “Melihat Perspektif Pemangku Kepentingan atas Upaya
Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia Dalam Industri Pariwisata di Indonesia:
Studi Kasus Kawasan Pariwisata Borobudur”.
Season keduanya bertajuk “Memetakan Peluang Pengarusutamaan Hak Asasi
Manusia Dalam Industri Pariwisata Khususnya Kawasan Pariwisata Borobudur”.
Kebetulan FGD tersebut locusnya terfokus di Kawasan Borobudur.
Pembicara season pertama disampaikan masing-masing sektor, sektor
pemerintahan dijelaskan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Jawa
Tengah, sektor investor dari PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan
Ratu Boko, dan masyarakat diwakilkan oleh LBH Semarang.
Mereka bertiga pun bicara menurut perspektif masing-masing, sependengaran
saya sektor pemerintah bicara kurang lebih sekedar normatifnya saja,
investor barang pasti berbicara bagaimana pembangunan pariwisata
menciptakan keindahan dan pada saat yang sama menjanjikan nilai ekonomis
yang tinggi
entah untuk siapa, siapa untung siapa buntung,
dan LBH menjelaskan dengan perspektif HAM. Dalam penjelasan LBH sesuai yang
dijabarkan dengan dilengkapi data berlawanan dengan hal yang disampaikan
oleh pihak investor.
Sebelum FGD ditutup, moderator memaksa masing-masing elemen untuk
mengutarakan pendapat menurut perspektifnya masing-masing terkait tema,
pembangunan pariwisata dan HAM. Saya tulis memaksa karena memang dari
moderator menyatakan begitu “Forum ini sedikit memaksa ya kepada kawan
kawan sekalian, nanti setiap elemen harap berargumen secara bergantian”
pandunya.
Secara bergiliran satu-persatu dari elemen pun menyatakan pendapat, saya
mencermati sesuatu yang disampaikan tidak jauh dari identitas masing-masing
lembaganya. LRC KJHAM dan Persatuan Waria Semarang (PEWARIS) misalnya. Mbak
Hanik (LRC KJHAM) menyampaikan bagaimana sekiranya dalam pembangunan
pariwisata toilet antara kaum pria dan wanita dipisahkan. Tentu yang
disampaikan ia tidak jauh dari kajian atau advokasi yang dibidangi LRC
KJHAM.
Alasannya memang betul karena sangat berbeda antara kebutuhan pria dan
wanita. Begitu pula Pewaris, ia menyepakati pendapat LRC KJHAM, hanya saja
ia mengharap perlindungan pada pihak berwenang. Perlindungan yang dimaksud
berkaitan dengan dirinya yang seorang waria sekiranya tidak mendapat
diskriminasi ketika berkunjung ke sebuah wisata.
Sebelum tiba giliran kita, saya suruh Sidik bicara, tetapi pemuda yang
mendaku dirinya Aliansi Rakyat Biasa (ARBI) ini menolak dan menimpali balik
kepada saya, lalu saya tawarkan ke Fia, “Kamu Fi bicara..! sekali-kali
lah,” pintaku
“Mas aku tuh masih baru ngeh soal tema-tema kayak gini, masih canggung
juga,” kata santri tulen asal Jombang ini dengan nada manja.
Mengamati berbagai elemen baik LSM atau sektor pemerintahan berpendapat
sesuai bagroundnya masing-masing, sepintas membuat saya menggaruk kepala,
bingung saat tiba giliran kita berpendapat, bagaimana cara mensinergikan
identitas lembaga dengan pembahasan FGD yaitu soal pariwisata dan HAM agar
sama seperti yang lain. Soalnya sekali lagi, kita berangkat cuma atas
intruksi saja.
Kebingunan kedua karena saya sama sekali belum sempat menyiapkan bekal
sebelumnya untuk berbicara soal tema pembahasan yang didiskusikan sejak
tadi pagi. Pagi dikabari waktu itu juga kita berangkat. Saya berusaha
mengingat memori materi yang pernah ku baca di literatur, jurnal atau buku.
Ingatanku tiba-tiba mengarah pada buku Green Constitution karya
Jimly Asshiddiqie dan Kedaulatan Lingkungan karya Soni Keraf.
Lewat ilham dari situlah, saya menyusun poin-poin yang perlu disampaikan
sebelum mix itu tiba di bagian kita. Setelah poin yang kupetakan selesai,
merasa ada modal
bacot
sedikit untuk bicara berapi-api di depan khalayak, berhubung tidak ada
persiapan tentu banyak kekurangannya
“awas ojo kakean kritik dan bacot lambemu wkwkw
”. “Ayo dari Elsa, saya persilahkan! elsa saya pribadi baru dengar” pinta
ibu moderator.
Berhubung disingung mengenai lembaga, mau tidak mau sebelum mengutarakan
argumentasi, saya perlu memperkenalkan diri bertiga terlebih dahulu sebagai
siapa dan lembaga Elsa tentunya dengan cara cari informasi di websitenya
biar tidak keliru. Soalnya kita berangkat cuma atas intruksi atau tawaran
dari mas Fadli Rais selaku anggota Elsa.
Saya jabarkan tentang Elsa terlebih dahulu tentu setelah saya baca di
website sebelum mix itu berada di genggaman tangan. Bla bla bla. Setelah
selesai “Oke tapi akan saya jelaskan sebatas pembacaan kami pada tema yang
sudah kita diskusikan sejak tadi” gayaku sok sok an. Pura-pura paham memang
penting gaes, utamanya dalam kondisi dharurat.
“Paling tidak dalam mengkaji soal pembagunan apapun bentulnya yang
memiliki potensi besar temasuk dalam hal ini adalah pembangunan
pariwisata dan kawasannya, ada beberapa unsur yang harus dijadikan
pertimbangan secara matang bagi negara. Pertama, negara sendiri, kedua,
investor, Ketiga, masyarakat khususnya mereka yang tinggal di dekat
pembangunan pariwisata tersebut dan terakhir adalah lingkungan sendiri.
Pertama,
negara. Memang pembangunan pariwisata berdampak positif dan mampu
menyumbang ekonomi besar pada negara, selain itu mendatangkan nilai
jual yang tinggi bagi pengunjung baik dalam maupun luar negeri. Tapi
seberapa jauh nilai ekonomi tersebut mendatangkan berkah pada
masyarakat khususnya yang hidup di kawasan tersebut? Buat apa
menggenjot ekonomi, tetapi pada saat yang sama harus mengorbankan
banyak hal seperti hak asasi manusia dan lingkungan.
Kedua
, investor. Pembangunan pariwisata menurut saya tidak hanya akan
berdiri sebuah tempat wisata, melainkan akan dijadikan ladang
kesempatan besar bagi pemodal untuk membangun tempat penginapan atau
perhotelan, orientasinya tentu adalah keuntungan. Bisa dibayangkan
berapa hektar tanah yang terbabat habis? dan ini akan melahirkan dampak
besar bila pembangunan mengabaikan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan kita, yaitu lingkungan dan manusianya.
Ketiga,
masyarakat khususnya yang hidup di daerah dekat tersebut harus menjadi
pertimbangan yang patut diperhitungkan oleh negara yang hobi mengejar
pemasukan ekonomi. Jangan sampai, pembagunan apapun itu termasuk
pariwasita menyepelekan kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Terakhir
adalah lingkungan. Lingkungan harus kita jadikan subjek hukum yang
perlu dan harus kita hormati bersama ketika melakukan pembangunan
termasuk pembangunan pariwisata. Jangan sampai aspek terakhir ini kita
lupakan, kalau hal ini kita lupakan, bukan hanya lingkungan kita yang
hancur, tetapi manusia pun akan lenyap, seperti krisis air, banjir dan
petaka lainnya. Lalu siapa yang sangat merasakan terdampak dari ini ?
tentu adalah masyarakat miskin bila hal tersebut terjadi.
Sudah berapa banyak tanah dan lingkungan kita dihancurkan demi mengejar
keuntungan belaka. Oleh karena itu, pembangunan apapun harus melihat
dari beragam sisi supaya terwujud kemaslahatan dan tidak ada yang
dirugikan”
"Selama berpendapat tidak diintimidasi, maka angkat bicaralah, apalagi difasilitasi, kesempatan emas untuk berbusa-busa wkw"
Sebagai ganti lelahnya duduk dari pagi hingga sore dan ditambah harus
membacot tentu adalah makan gratis tis tis dan bebas memilih lauk dan
minumannya.
Komentar
Posting Komentar