"Kalian boleh maju
dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi
tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai" Pramoedya AT.
Metafor Bahasa dalam sastra memang kalau kita menyelami mampu menggapai
makna tersirat yang diciptakan para sastrawan melalui bahasa dan imajinasi
yang dilukiskan. Kekuatan imajinasi dalam karya itu kemudian membawa
pembaca keliling menjelajahi dunia di dalam dunia dan seolah merasakan
kehidupan nyata di dalamnya seperti dilukiskan oleh satrawan.
Meski sastra adalah karya fiksi tapi ia tidak lepas dari pengalaman hidup
yang pernah dirasakan oleh seseorang pada suatu wilayah dan kejadian
tertentu. Lewat karyanya itu, sastrawan mencoba mengungkapkan lewat ruang
imajinasi yang sekiranya mewakili perasaan orang lain yang ingin bercerita
tapi tidak mengerti harus kepada siapa dan ke mana ia mencurahkan segala
kegelisahanya.
Tapi sayang bacaan sastra kata mas Heri oleh sebagian orang Indonesia masih
kurang diminati. Miskinnya minat pada karya sastra seiring dengan rendahnya
tingkat literasi bangsa kita. Faktor rendahnya literasi bangsa ini kukira
dipengaruhi berbagai faktor entah internal maupun ekternal dalam diri
seseorang.
Mengingat pentingnya sebuah karya sastra saya ingin melanjutkan apa yang
telah disampaikan mas Heri. Saya masih bukan penyaji sastra, melainkan
hanya sebatas orang yang belajar menikmati karya sastra beberapa sastrawan
yang menurut pendapat saya bahasa dan substansi yang ingin mereka sampaikan
terkandung nilai kamanusiaan. Mereka berusaha menyuarakan derita masyarakat
lewat kajian sastra. Ambil contoh saja karya Pramoedya Ananta Toer, Ahmad
Tohari dan sastrawan lain.
Menarik apa yang disampaikan Richard Rorty tentang peran penyair atau
novelis khususnya dalam konteks ruang publik. Menurutnya, untuk
mendiskusikan pelbagai persoalan masyarakat dalam ruang publik tidak mesti
berangkat dari teorikus sosial maupun filosof seperti yang biasa dilakukan
oleh pemikir-pemikir sebelumnya.
Peran sastrawan maupun penyair kata Rorty sudah mampu menggantikan peran
filosof. Kemudahan Bahasa yang mereka penyair atau novelis tuangkan
memudahkan pembaca menangkap persoalan apa sebenarnya yang diderita
masyarakat saat ini atau persoalan apa yang terjadi di masa depan. Marilah
kita salami karya sastra, di kedalamanya kita akan meraih berlian yang
sangat gemilang.
Semester lalu, kita 2018 kru magang Justisia sepakat mengadakan ngaji
sastra kumpulan cerpen Ahmad Tohari berjudul “Mata Yang Enak dipandang”
milik mas Fadli. Pengajian itu kita gelar di area danau BSB. Secara
bergantian kita membaca. Setiap anak membaca satu karya cerpen dan kemudian
menjelaskan apa sebenarnya yang hendak disampaikan penulis.
Memilih karya Tohari karena kita tahu, beliau merupakan salah satu sosok
yang hendak menyuarakan penderitaan rakyat kecil lewat buku fiksinya. Nilai
humanisme yang terkandung di dalam karyanya harapanya dapat memahat hati
kita pembaca agar lebih memiliki perasaan kepada mereka yang nasibnya
terpinggirkan, terkucilkan dan termarjinalkan. Selain itu, suasana pedesaan
yang diambil Tohari sebagai latar tempat sangat sejuk dinikmati. Tentu bagi
orang kampung seperti saya, dibuat rindu pada tanah kelahiran.
Meski saya bukan pembelajar atau penikmat sastra yang baik, tekun dan kuat,
namun saya merasa karya sastra tidak sekedar menggali pengetahuan,
memperkaya diksi dan kosa kata, dan mengisi waktu luang semata. Tetapi
lebih dari itu, lewat karya sastra, imajinasi kita diasah, perasaan kita
dipahat supaya halus dan jiwa kita tersirami nilai dan keindahan. Seperti
agak berlebihan memang.
Komentar
Posting Komentar