Bertepat dengan hari kemerdekaan 17 Agustus 2019, moment yang pas menonton
film Bumi Manusia. Film ini diambil dari novel karya Pramoedya Ananta Toer
dengan judul yang sama. Karena di dalamnya menceritakan arogansi Kolonial
terhadap pribumi, menyaksikan di hari kemerdekaan adalah waktu sangat tepat
menurut saya untuk merefleksikan kemerdekaan melalui Film yang disutradarai
Hanung Bramantyo ini.
Sebelum film diputar, penonton tanpa dipersilahkan segera berdiri ketika
lagu Indonesia raya dinyanyikan bersama-sama.
Film Bumi Manusia menceritakan golongan Eropa yang mendiskritkan penduduk
pribumi hanya karena kelas yang tidak setara. Dalam segala hal Kolonial
menganggap dirinya lebih maju dan modern ketimbang Pribumi. Pribumi
dituduhnya terbelakang yang pantas hanya menjadi budak atau pelayan tuan.
Begitulah praktik kolonialisme beraksi seperti dikisahkan Pram dalam
romanya.
Kolonial menjamah negeri jajahan dalam segala sektor. Pendidikan misalnya,
bagi penduduk Pribumi hanya orang-orang tertentu dan golongan ningrat yang
bisa belajar di kelas bidikan Belanda. Di sini Minke salah seorang Pribumi
yang berhasil mengenyam pendidikan bersama orang –orang Eropa. Nama asli
Minke sebenarnya Tirto Adhi Surtjo. Ia anak dari Bupati di daerahnya.
Dipanggil Minke lantaran gurunya memarahinya ketika Minke tidak membawa
buku. Gurunya spontan memanggilnya Monkey/ Monyet. Panggilan berupa ledekan
inilah kemudian diikuti oleh teman sekelasnya dengan panggilan serupa.
Mereka pun kompak meledeknya dengan nama Minke kepada Tirto nama
sebenarnya.
Minke digambarkan sosok Pribumi yang mampu membantah dan melawan segala
bentuk kolonialisme. Pram melukisnya Minke orang yang cerdas di kelasnya,
perbedaan kasta dan kedudukan bukan berarti tidak bisa menjangkau dalam hal
pemikiran dan kecerdasan. Terbukti, dalam ceritanya, Minke sosok yang
revolusioner, pemberani yang tidak gentar menantang segala macam
ketidakadilan. Melalui goresan penanya yang tersebar di surat kabar, suara
Minke bisa lebih lantang hingga didengar oleh banyak orang untuk
menyuarakan segala bentuk penindasan terhadap pribumi.
Mengenal Annelis yang kemudian menjadi kekasihnya, bermula ketika Minke
diajak oleh kawanya Robert Suurhof ke kediamanya di Wonokromo. Annelis
tinggal bersama abangnya Robert Millema dan ibundanya Nyai Ontosoroh.
Sementara ayahnya tuan Herman Millema jarang di rumah, suka
bermabuk-mabukan dan bercinta dengan perempuan malam.
Melalui Ibundanya nyai Ontosoroh, darah kelembutan hatinya menular ke putri
tercintanya Annelis Millema. Tidak seperti Robert Millema. Latar belakang
nyai Ontosoroh merupakan penduduk pribumi yang dijual oleh ayahnya sendiri
kepada orang Belanda ketika masih gadis lantaran tak ada biaya untuk
melangsungkan kebutuhan hidupnya. Karena dirinya dijual inilah, Nyai
Ontosoroh enggan bertemu bahkan mengakui kedua orang tuanya.
Menjadi istri Kolonial orang menyebutnya, Gundik, yaitu hanya sebatas
perempuan pemuas nafsu belaka. Tidak ada kasih sayang, tidak ada rasa cinta
yang dibangun dalam hubungan pernikahan. Semua didasarkan atas nama
keterpaksaan.
Perjalanan bahtera keluarga nyai Ontosoroh semula baik – baik saja bersama
suaminya Herman Mellema, semenjak tejadi konflik antar keduanya masalahnya
kemudian bertubi-tubi merembet ke belakang. Sampai akhirnya di ujung
cerita, Nyai Ontosoroh yang merupakan ibunda asli Annelis harus dipisahkan
dengan darah daginya sendiri, putri tercintanya karena sebab hukum Kolonial
tidak mengakuinya sebagai anak kandung yang sah.
Begitupun Minke dan Annelis. Keduanya telah menikah secara agama. Tapi
sayang, kisah keduanya harus terpaksa kandas di tengah jalan lantaran Hukum
Kolonial bersikukuh menyatakan tidak sah walaupun secara agama
diperbolehkan. Hingga akhirnya Annelis pun diboyong ke Eropa. Segala harta
yang telah dikelola Nyai Ontosoroh semenjak adanya putusan pengadilan,
segalanya harus tersingkir. Pada akhirnya Minke dan Nyai Ontosoroh
dinyatakan kalah. Tapi tidak ada kekalahan ketika orang telah berusaha
untuk melawan. Seperti yang disampaikan Nyai Ontosoroh terhadap Minke.
“Tidak Minke, kita tidak kalah, kita telah melawanya”
Menonton film Bumi Manusia tentu tidak seutuh seperti apa yang diceritakan
dalam novelnya. Untuk menyempurnakan kekurangan di dalam film tersebut,
membaca novelnya merupakan salah satu cara menutupi kekurangan apa yang
ditayangkan dalam film tersebut.
Saat ini mungkin Kolonial sudah tidak ditemukan, tapi mereka yang bermental
kolonia masih mewabah dan ada di setiap ruang sekalipun meraka
berkebangsaan Indonesia asli. Mental kolonial suka semaunya, seenaknya, dan
menindas sesamanya.
I love Iqbal as Minke
BalasHapus