Langsung ke konten utama

Pendidikan Pertama Ada di Keluarga



Oleh : Hasan Ainul Yaqin
sumber foto : infomadura.com
Keluarga merupakan tempat utama mengajarkan pengetahuan kepada anggota keluarganya, dalam hal ini adalah anak mereka, terbentuknya kepribadian pada diri seorang anak dimulai semenjak dimana ia mengawali hidupnya dan mengenali lingkungan sekitar. Lingkungan pertama yang dikenali serta diamati oleh anak terdapat pada keluarga. Oleh sebab itulah peran keluarga untuk mengetahui perkembangan anak mulai dari sikap dan watak sangatlah penting dan sangat tergantung dipengaruhi faktor keluarga.
Kalau lingkungan keluarga mengajarkan pendidikan yang baik, pembentukan karakter pada diri anak tersebut, akan tercipta anak yang memiliki budi pekerti yang tinggi, dan sebaliknya jika peran keluarga passif acuh tak acuh dalam mendidik anak, tidak memberi pengertian perbuatan baik yang harus dilakukan dan buruk harus dihindari, maka anak yang berada pada kawasan keluarga sedemikian, mengalami kecacatan berprilaku akibat kehilangan kontrol dari keluarga, sehingga mereka akan melakukan tindakan semaunya tanpa berfikir terdapat dampak buruk ataukah tidak jika pekerjaan tersebut dilakukan. Maka disinilah pentingnya peran orang tua memperkenalkan dampak perbuatan itu dilakukan.
keaktifan keluarga memperkenalkan anak pada sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam mendidik anak. Jika orang tua membiarkan anak melakukan perbuatan bebas dari tekanan kontrol orang tua, bukan tidak mungkin jika menginjak usia saat mereka memberanikan diri keluar rumah bermain mengenali lingkungan sekitar yang lebih luas akan bertingkah yang semestinya tidak ia lakukan.
Tentu bukan barang mudah menyikapi membenahi perilaku diri anak yang menyimpang dari konstruksi sosialnya dibanding semasa masih berada pada lingkungan keluarga. Penulis beranggapan baik tidaknya perilaku seorang anak tergantung seberapa jauh dan aktifnya orang tua dalam mendidik anak mereka.
Mencermati Sikap Aktif & Pasif
Menurut bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, ada dua perbuatan yang harus dicermati, perbuatan aktif dan pasif. Hal ini penting bagi orang tua saat mengamati tindakan anak dalam berelasi sosial dengan orang lain ataupun lingkungannya. Perbuatan aktif seperti anak melakukan sesuatu, apakah tindakan anak membawa kebaikan pada dirinya dan merugikan orang ataukah tidak. sikap aktif artinya, perbuatan tersebut dilakukan.
 Sedangkan perbuatan pasif, tidak melakukan sesuatu, dalam arti membiarkan alias acuh tak acuh. Semitsal dijalan raya ada batu besar berserakan yang mengakibatkan pengendara bisa terjatuh ketika melintasnya, kalau kita membiarkan tidak menyingkirkan batu tersebut, padahal kita tahu jika ada pengendara yang melintasnya bisa saja terjatuh, secara sadar diri kita berdosa. Sebab kita mengerti tapi membiarkan orang lain terjerumus. Inilah yang harus didorong oleh orang tua terhadap anaknya, yakni melatih anak peka soal sosial secara emosional.
Kehadiran buah hati di lingkungan keluarga, merupakan kebahagiaan yang memang dinantikan bagi orang tua, dengan kehadiran orang baru dirumah yaitu anak, lingkungan keluarga yang pada mulanya sepi berubah menjadi lebih ramai, namun yang menjadi tantangan tersendiri bagi kedua orang tua yaitu dalam mendidik anak hingga menjadi anak yang baik dalam berprilaku dan peka pada lingkungan sekitarnya.
 Kalau orang tua gagal mendidik anak dengan tidak mengajarkan pada anaknya, maka status anak sholeh yang menjadi dambaan setiap orang tua yang mampu memberikan kebaikan pada keluarga dan menjadi tali penghubung tidak terputus amal di dunia Akhirat jutru berbuah pahit menjadi ujian berat bagi orang tua itu sendiri. Sebab salah satu amal yang terus mengalir kebaikannya dalam agama Islam meskipun sudah meninggal yaitu anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya. Seperti Hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, “ketika anak adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali 3 perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang berdoa kepadanya”
Peran Penting Orang Tua
Seorang anak merupakan amanah dari Allah yang dititipkan kepada orang tua mereka, orang tua akan dimintai pertanggung jawaban atas anak yang dididiknya kelak di akhirat. Orang tua tidak hanya bertugas membesarkan buah hatinya, tidak cukup memberikan asupan gizi berupa makanan minuman agar bertahan hidup.
Namun sebagai orang tua, perlu mengambil peran mendidik anaknya, memperkenalkan hal baik harus dilakukan dan hal buruk harus dihindari. Kalau orang tua lepas tangan, jangan salahkan anaknya jika suatu saat menyimpang dari norma – norma yang seharusnya dipatuhi.
Meskipun pendidikan sudah ada waktu tersendiri saat anak dikira cukup usianya memulai belajar di bangku sekolah, Justru pengajaran terpenting berada pada lingkungan keluarga sebagai pintu gerbang awal untuk menerawang pengetahuan serta nilai – nilai yang harusnya diperhatikan. Pesan ini pula yang disampaikan Nabi, bahwa orang tua merupakan sekolah pertama bagi anak – anak mereka.
 Artinya, kalau pendidikan pertama sudah tidak karuan, tidak memberikan contoh baik dan berguna bagi anak yang bernaung dibawahnya, apalagi sampai lalai  tidak mengambil peran apa-apa sebagai orang tua, besar kemungkinan perkembangan diri anak kedepanya semakin menjauhkan mereka dari moral yang akan membawa bahaya yang menimpa dirinya serta orang lain.
 Sudah jamak dicontohkan adanya pergaulan bebas yang memprihatinkan menyusup generasi di bawah umur bagitu akut, mengkonsumsi narkoba di golongan remaja yang jelas – jelas  merugikan dirinya semakin hari semakin bertambah di negeri ini, bahkan menjadi pelaku pembunuhan dan pencabulan sudah banyak ditemukan. Oleh sebab itulah, orang tua mau tidak mau dituntut untuk mengontrol dan mengetahui perkembangan anak-anak mereka.
menempati anak di lembaga pendidikan sekolah ataupun pesantren bukan berarti tugas mendidik orang tua sudah selesai, jika ingin anak yang dididiknya menjadi senjata ampuh memberikan pertolongan dan pahala yang terus mengalir kelak orang tua sudah meninggal dunia. Wallahua’lam bis showab
Jumat, 20 April 2018 (tulisan lama)
di Tanah Rantau

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se