Langsung ke konten utama

Sex Education For Children

Hasan Ainul Yaqin

Perkembangan tekhnologi menyeret masyarakat mengkonsumsi kebutuhan dan keinginan apa saja yang tersaji di sosial media. Sosial media menawarkan beragam konten yang memancing masyarakat untuk mengakses, sehingga kemudahan akses terhadapnya melahirkan pergeseran budaya dan perubahan gaya hidup dalam beragam aspek.

Salah satu aspek yang seharusnya menjadi kekhawatiran bersama adalah berkenaan dengan hubungan seksual ataupun pelecehan seksual di kalangan remaja, bahkan dalam kasus tertentu keadaan tersebut pun menyasar anak di bawah umur baik sebagai pelaku maupun berposisi menjadi korban.

Berangkat dari latar belakang itulah, pendidikan seksual sangat dibutuhkan untuk diajarkan, disosialisasikan, diperhatikan secara serius kepada anak baik di lingkungan pendidikan di sekolah, lebih-lebih di lingkup pendidikan keluarga itu sendiri.

Selama ini persepsi masyarakat kita masih menganggap tabu membicarakan seksualitas di level anak-anak. Mengapa demikian? Karena hal yang mengarah pada seksualitas bersifat privat yang menurut mereka cukup diketahu oleh orang dewasa yang sudah menikah, sehingga mengkomunikasikannya kepada anak masih dianggap tidak sopan, tidak senonoh dan terbilang tabu.

Apakah seksualitas itu hanya berkutat pada itu saja ? Setidaknya buku ringan seputar parenting karya Atreya Senja ini cukup menjawab atas pentingnya pendidikan seksual sebagai bekal ilmu pengetahuan bagi remaja dan anak usia dini, seperti yang ia kutip pendapat pakar seksologi kenamaan, dr. Boyke bahwa pendidikan seks yang benar bisa selamatkan anak dari pelecehan dan penyimpangan seksual.

Mengapa demikian? Karena anak usia dini yang tidak pernah mendapat edukasi seksual dari keluarga maupun sekolah, mereka tidak sepenuhnya mengerti fungsi tubuh secara keseluruhan, lebih-lebih anggota tubuh vital tertentu yang memang harus dijaga betul baik atas kontrol dirinya sendiri maupun pengawasan diri dari eksternal yang mencoba melakukan sentuhan terhadap organ tubuh yang dimiliki tersebut.

Siapa yang beperan utama dalam pemberian pendidikan seksual itu dan di mana pendidikan itu dimulai? Penulis Sex Education For Children ini masih memiliki keyakinan pada pemberian pendidikan pada umumnya, yaitu pertama di lingkungan keluarga itu sendiri. Peran pendidikan keluarga sangat dibutuhkan untuk mengedukasi anak dalam urusan seksual demi membantengi mereka pada hubungan seksual yang tidak sah maupun menghindari pelecehan seksual yang bisa saja terjadi dari oknum siapa saja sekalipun orang terdekat seperti banyak kasus terjadi dewasa ini.

Sebagaimana diulas di awal, konsep pendidikan seksual tidak melulu berbicara urusan hubungan seksual pada umumnya, melainkan berorientasi pada identifikasi gender, anatomi, fungsi alat kelamin hingga kesehatan alat reproduksi, hal 17

Pendidikan seksual penting diajarkan terhadap anak usia dini. Pengetahuan mereka seputar seksualitas dapat menghindari mereka baik menjadi pelaku maupun menjadi korban seksual. Hanya saja tantangannya adalah bagaimana cara menyampaikannya terhadap mereka. Kekeliruan penyampaian bisa saja berpengeruh pada daya tangkap anak. Oleh karena itu cara mengedukasi soal seksual kepada anak di lingkungan keluarga menyesuaikan dengan usia mereka.

Buku ini membagi 3 tingkatan yaitu pada masa kandungan, lalu pra sekolah, pada masa ini biasanya anak-anak sudah mulai mengenal bahwa kelamin laki-laki dan perempuan berbeda. Pengenalan kelamin sebaiknya tidak menggunakan perumpamaan atau kata yang menutupi kata aslinya, seperti penis untuk menggambarkan kelamin pria dan vagina memperkenalkan kelamin Perempuan. Penyamaran kata yang selama ini digunakan karena masyarakat kita masih beranggapan tabu hal demikian untuk dibicarakan kepada anak.

Masa selanjutnya adalah masa pra remaja atau pada saat memasuki remaja. Pada masa ini orang tua harus mulai menaruh perhatian cukup ketat mengingat di masa ini perubahan pada anggota tubuh anak baik laki-laki maupun perempuan berubah drastis, termasuk fungsi anggota tubuh yang sangat vital. Bisa dibilang usia ini anak-anak memiliki penasaran yang cukup tinggi dan hasrat seksual yang cukup besar pula.

Dengan penasaran yang didorong keinginan hasrat itu, besar kemungkinan mereka melakukan apa saja tanpa berfikir dampak akibatnya, seperti hubungan seksual di luar nikah, bahkan tidak sedikit bagi anak perempuan hamil di masa itu sebelum melangsungkan pernikahan yang sah. Untuk mencegah itu, edukasi seputar seksual patut diajarkan secara terbuka melalui ilmu pengetahuan yang memadai.

Peran pendidikan di lingkup keluarga sangat penting diajarkan dan diingatkan secara terus menerus. Selain itu, perlu kolaborasi bersama instansi kesehatan yang memang memiliki konsen dan fokus untuk mensosialisasikan masalah seksualitas kepada masyarakat. Termasuk yang memiliki tanggung jawab serumpun adalah instansi pendidikan.

Saya sependapat dengan penulis buku ini, marak terjadi pelecehan maupun yang berkenaan dengan masalah seksual pada anak sekolah/remaja. Untuk mencegah itu, pendidikan seksual harus menjadi kurikulum wajib tersendiri yang harus diajarkan di bangku sekolah. Anggapan tabu yang selama ini dipersoalkan harus mulai dikikis seiring dengan kondisi sosial yang dibutuhkan.

Buku ini cukup runtut perbabnya membahas mengenai pendidikan seksual bagi anak-anak yang dititikberatkan pada pendidikan di keluarga itu sendiri di mana yang memiliki perang signifikan terhadap perkembangan anak. Tanpa menafikan kelebihan kesempurnaan buku ini, setidaknya ada kritik yang perlu disampaikan untuk melengkapi buku ini menjadi lebih sempurna, seperti halnya desain cover bergambar anak kecil berjenis pempuan yang terkesan pendidikan seksual hanya diperuntukkan untuk perempuan, padahal pelecehan seksual terjadi tanpa memandang kelamin.

Selanjutnya, pencantuman data semisal dari tahun sekian sampai sekian berapa jumlah anak yang mengalami pelecehan seksual, kemudian berapa jumlah pernikahan dini yang terjadi karena hamil di luar nikah dan berapa persen anak Indonesia berstatus remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah. Dengan data yang padat dan akurat agar ditampilkan dapat menjadikan buku ini lebih lengkap.

Terakhir, ketidaksepakatan saya selaku pembaca pada konten tertentu dalam buku ini soal mengenakan pakaian sopan dan tertutup dapat menghindari pelecehan seksual. Padahal sebagaimana kasus yang terjadi, pada kenyataannya pakaian yang dikenakan baik dipersepsikan sopan maupun tidak sopan tidak menjamin seseorang bebas dari kejahatan pelecehan seksual yang berkelindan di manapun.

Buku parenting ini sangat layak menjadi bekal pengetahuan untuk mendidik anak khususnya urusan pendidikan seputar seksualitas.

*Tulisan resensi ini sebelumnya terbit di media resensi.id.  Dimuat ulang di laman ini bertujuan edukasi



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se