Langsung ke konten utama

BATAVIA


 

Ke Jakarta meski bukan pertama kali singgah, saya tidak ingin meninggalkan cerita yang  telah saya lalui, paling tidak pada saat selama 3 hari di sana untuk ditulis.

Jumat, 17 November 2023 saya ikut rombongan yang dikordinir pengurus DPP Tanaszaha pusat untuk meramaikan acara houl KH. Moh Hasan sekaligus pelantikan pengurus Tanaszaha Jabodetabek di Jakarta Pusat. Kegiatan dihadiri keluarga besar KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah dan KH. Hassan Ahsan Malik.

Sekitar 40 anggota yang tersebar dari pengurus DPC  Nusantara hadir menyertai acara tersebut. Mengisi buku tamu yang disediakan panitia, tak asing dengan wajah penerima tamu di depan, ia pun menimpali sapaan serupa. Saya hampir lupa tidak mengenal namanya, kemudian saya meyakinkannya. Nadin bukan? Mas Inunk ya ? Ia adalah adik tingkat saya di keanggotaan pengurus Kemazaha Semarang yang sekarang resmi menjadi Tanaszaha Semarang. Pasca lulus dari Universitas Diponegoro Semarang, ia meniti karir di Jakarta seperti sekarang.

Selain Nadin, saya bertemu teman-teman yang masih satu generasi di pesantren. Salah satunya Alwi, kandidiat promovendus di Universitas Syarif Hidayatullah. Kemudaian Kak A’dhom atau yang familiar disebut kak Alex.  Saat ini ia mengabdikan diri di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI. Terakhir kali saya ketemua ia, pada saat seminar nasional tentang Agraria saat di Semarang. Kemudian kak Samsul, kakak dari teman akrab saya di pondok. Selain ketiganya, tak seorang pun saya mengenal anggota dan pengurus Tanaszaha khususnya yang hadir di lokasi  karena secara generasi sudah terlampau jauh masanya.

Acara demi acara selesai dituntaskan dengan khidmat. KH. Moh Hasan Mutawakkil selaku pengasuh memberikan arahan dan nasehat kepada pengurus dan anggota yang hadir. Beliau amat bangga menghadiri undangan pengurus Tanaszaha cabang Jakarta pusat. “Biasanya saya yang didatangi, tapi kali ini saya yang datang, ini adalah tanggung jawab” Kata beliau. Taggung jawab pendiri pesantren dan pendiri Tanaszaha untuk memperkokoh jalinan tali silaturrahim antara alumni dan pesantren.

Jakarta dari Jauh

Sekilas memandang Jakarta melalui bilik jendela transportasi tersorot bangunan pencakar langit yang tinggi nan megah. Ketinggian bangunan itu merata di antara gedung satu dengan gedung lainnya. Tapi sejauh mata memandang di balik kemegahan bangunan, terpotret hunaian kumuh yang mengambang berdempetan antara rumah ke rumah yang terletak di depan dan sebelahnya.

Meminjam bahasa Zamawi Imron dalam puisinya bahkan tak sedikit bangunan itu lebih reok daripada kendang babi. Frase dalam puisi itu sebetulnya Zamawi ingin menyingkap bahwa kesenjangan itu menganga begitu nyata antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, masyarakat kelas menengah ke atas dan kelas ke bawah. Itu yang sebetulnya ingin ia suarakan terhadap Indonesia yang saya refrensikan di Jakarta.

Jakarta menjanjikan kemakmuran juga menciptakan kesenjangan. Kepadatan penduduk dari beragam baground, latar belakang dan profesi bertumpah di Jakarta. Memilih Jakarta sebagai tempat bergantung hidup adalah alasan tersendiri bagi sebagian besar orang meskipun bertaruh dengan waktu dan kondisi yang penuh hingar bingar.

Sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, keyakinan meraup keuntungan yang besar di ibu kota begitu amat menjanjikan meskipun keuntungan yang didapat belum tentu sebanding dengan apa yang dirasakan saban harinya khususnya bagi mereka yang hidup hari ini mencari keuntungannya pun di hari ini pula.

Ada beberapa tujuan yang menjadi pelengkap perjalanan selama di Jakarta, di antaranya, maqbaroh Habib Husein bin Abu Bakar Alydrus atau dikenal dengan sebutan habib keramat luar batang. Pendakwah asal Hadramaut Yaman ini memiliki keistimewaan dan kemuliaan yang diakui dan disaksikan oleh banyak orang pada masanya hingga saat ini. Terbukti, berkat kekeramatannya, makamnya tidak pernah sepi dari penziarah untuk berbondong-bondong mengalap berkah darinya. Selanjutnya ke Monumen Nasional/ Monas.

Ke simbol daripada Jakarta itu, saya bersama teman teman yang lain berkeliling mengunjungi  monas. Sesampai di dalamnya berjumpa salah satu warga asing. Salah seorang teman mengutarakan keinginannya berswap foto dengan turis berkewarganegaraan Francis Bernama Julie itu. Kendala bahasa yang ia tidak mengerti, meminta saya untuk menyampaikan keingananya. “They want to take picture”. Ia bersedia merespond permintaan teman yang saya wakili. 

Pasca foto dengannya, saya ngobrol basa basi dengan Julie. Saya bertukar komunikasi dan saling menimpal balik apa yang saya dan Julie obrolin. “Your friends are good and funy”. Katanya. Julie menyertai bergabung ke rombongan saya dan teman-teman untuk masuk di dalam monas. Ia bertanya burung garuda yang terpajang di dinding. Saya jelaskan sependek pengetahuan saya tentang lambang negara itu.

Saya bilang ke Julie setelah dari Monas, kita akan menuju ke Masjid Istiqlal. “Is that the biggest musque here?” tanyanya. Kebetulan Masjid Istiqal juga menjadi tujuan wisata Julie berikutnya. Akhirnya ia mengikuti berjalan bersama kita dari Monas menuju ke masjid Istiqlal meski oleh pertugas keamanan dilarang karena tidak mengenakan penutup kepala/kerudung.

“Do you bring cloth?” Saya bertanya pada Julie. “Yah, in my bag”. Katanya. Ia mengeluarkan kain berwarna kuning di tasnya tapi tidak mengerti untuk apa kain yang dipinta itu. Teman saya yang perempuan memandunya untuk diselendangkan ke kepala layaknya seperti halnya berkerudung.

Di Monas, saya sempat bertanya pada Julie di mana beli daster yang ia kenakan. “Ibu-ibu rumah tangga suka mengenakan apa yang kamu kenakan saat ini”. Kata saya dalam bahasa Inggris. “Owh yah, I really like wearing this”. Kata Julie sambil tertawa sembari mengayunkan dasternya.  Selepas dari Masjid, Julie keluar menuju tujuan yang lain.

Ba’da isya persiapan menuju tempat yang bakal dilalui seiring perjalanan menuju pulang, yaitu maqbaroh Habib Anis Solo, Masjid Raya Syekh Zayed Surakarta dan terakhir ke makam pejuang kemanusiaan KH. Abdurrahman Wahid/Gus Dur, sosok yang begitu saya kagumi.

Ziarah ke makam orang sholeh menambah keberkahan selama perjalanan ini. Apalagi yang diyakini sebagai seorang wali Allah. Seorang wali allah seperti ketiganya saya yakin ibadahnya tidak hanya kepada Allah, tapi penghambaan kepada Tuhan diintegrasikan melalui penghomatan dan pemuliaan kepada makhluknya tanpa memandang siapapun dan apapun sekalipun berbeda keyakinan. Itu yang saya yakini dari hamba Allah.  

Saya skeptis/ragu kepada orang-orang yang merasa dekat dengan Tuhan, berteriak Allah Akbar dengan lantang, berdakwah dengan membawa firman tuhan tapi pada saat bersamaan menganggap hina manusia dan makhluk lain. Pertanyaan saya yang kerapkali muncul dan sulit dibendung ketika mendapati orang macam begini. Sebetulnya tuhan yang mana yang ia sembah? Wallahu a’lam

 

 

 

 

 

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se