Langsung ke konten utama

Keracunan Hingga Kritis; Cerita Di Balik Rumah Sakit


Jumat siang setelah tiba di rumah ummi (Sebutan untuk nama ibu di keluargaku) menyajikan jamur yang siap dihidangkan. Memasak jamur itu ummi diberi oleh saudara yang juga menjadi temanku dari kecil hingga saat ini. Ummi dan saudaraku sama-sama tidak mengerti kalau jamur yang aku dan ummi konsumsi itu adalah jenis jamur beracun, sehingga membuatku mual dan muntah tiada henti hingga dinyatakan kritis oleh dokter di rumah sakit, tempat aku menjalani opname selama dua hari.

Tetangga sekitar paham kebiasaan ummi, jika mereka menemukan jamur tidak beracun atau sejenis sayuran di pinggiran sawah, atas sungai, ladang atau manapun tak jarang di antara mereka menawari ke ummi untuk ditukar dengan uang. 

Siang harinya sebelum salat Jumat aku sama sekali tak tertarik makan siang walau polesan bumbu kecap di jamur itu tampak terasa lezat. Kemudian setelah salat Jumat itulah aku intip wajan dan entah kenapa ingin sekali menyicipi makanan jamur. Sebelum aku konsumsi ummi terlebih dahulu makan, tetapi jamur yang dikonsumsinya tidak sebanyak apa yang aku makan. 

20 menit setelah makan jamur plus nasi, aku mendapati ummi tubuhnya menggigil tak seperti biasa; tubuh menggigil tapi badannya bermandikan peluh keringat dan muntah-muntah air. Ummi merasa gejala demikian merupakan pengalaman pertama dalam hidupnya. Ummi tak menyadari kalau penyebabnya gara-gara mengonsumsi jamur, karena kalau memang terbukti efek jamur tidak hanya ummi, justru aku juga mengalami gejala serupa yang mengonsumsi jamur lebih banyak dari beliau; hampir sepiring. 

Saat ummi menggigil, aku buatin segelas teh gula untuknya dan memintanya tidur tengkurap untuk ku pijat punggungnya, lalu aku memangil mbah Sutiyem (nama samaran), saudara sebelah rumah yang cukup paham pengobatan tradisional. Responnya justru tak sesuai yang aku harapkan, malah membawa nama si kopid tengil segala meskipun ia tak menuturkannya secara langsung (“Yaampun, ini salah tanya alamat kalau jawabannya begini" kesalku dalam hati.

Mbah Sutiyem berkata demikian karena beberapa hari lalu tetangga sekitar yang sedang hamil divonis terjangkit virus corona setelah memeriksakan kandungannya di puskesmas terdekat. Tak lama kemudian golongan tim kesehatan puskesmas menggruduk rumah ibu hamil tersebut dan melakukan swab sekeluarga. Finally beberapa seisi keluarga dinyatakan positiv. 

Bermula dari itulah kemudian masyarakat di kampung sesaat panik. Bagaimana tidak panik, selain perawat, golongan pria berseragam berjumlah banyak semacam isolop, TNI, perangkat desa berdatangan berjamaah, memantau kondisi keluarga. 

Selang beberapa waktu kemudian isu dari mulut ke mulut pun tersebar semakin tak jelas, tak karuan, sulit diterima nalar apalagi dipaksa mempercayai. Omicron dianggapnya bisa terbang kek, apalagi kalau terkena terpaan angin dan hujan lebih mudah merasuki setiap ventilasi ruang rumah.  Aku hanya geleng kepala mendengar isu demikian dan sedikit timbul kemarahan yang berhasil kukendalikan. 

Setelah kupanggil, mbah Sutiyem datang, memijati dan mengeroki ummi. 

Aku yang mengonsumsi jamur semula tak tak merasakan dampak apapun, tubuhku masih terasa segar. Tiba-tiba 30 menit kemudian reaksi jamur terasa, tubuhuku mengalami gejala yang kurang lebih sama dengan ummi; Badan menggigil, sekujur tubuh berkeringat, muntah air berkali-kali ditambah pandanganku menjadi buram. Gejala yang terakhir ini ummi tak mengalami apa yang aku rasakan, mungkin karena mengonsumsi jamur lebih sedikit dariku. 

Sadar akan gejala yang sama itu aku dan ummi realize kalau kami keracunan jamur yang tidak mengerti apa nama jenis jamur yang mematikan itu. Mengatahui kami keracunan keluarga dan tetangga sekitar rumah berbondong-bondong menjenguk, dan memberi segala macam saran untuk menangkal jamur yang menggerogoti tubuku dan ummi, mulai minum air kelapa, menuangkan sesendok minyak goreng ke mulut dan minum susu dancow tanpa gula. 

Penangkal itu sedikit manjur untuk ummi, tapi tidak denganku. Muntah yang keluar dari mulutku tambah mengelucur. “Itu racunnya sudah keluar” kata salah seorang tetanggaku yang memberi saran, sementara pengelihatanku tetap seperti sedia kala; buram  dan kabur. Aku tidak bisa melihat maupun menerka benda yang berada di depanku, wajah masing-masing orang yang menjenguk ke rumah tak kelihatan jelas, justru yang ada sekedar bayangan saja. 

Merasa tak teratasi sempurna, aku diperiksa ke bidan di desa setempat dan memberinya obat. Sayangnya obat itu tak cukup ampuh, saat obat itu teralir ke tenggorokan perutku tak merespon positif, justru isi dalam perut termuntahkan begitu banyak sehingga membuat tubuhku lemas dan sempoyongan. 

Berhubung belum menghasilkan dampak apapun akhirnya aku dibawa ke Puskesmas Tenggarang, sesampai di puskesma ternyata lokasi pindah ke tempat yang tidak tahu persis di mana. Akhirnya pindah ke klinik terdekat, klinik ini terbilang baru, mungkin baru beroperasi satu bulan yang lalu. 

Aku cukup lama mendekam di atas kamar tidur, mulai pukul 2 siang hingga 7 malam. Tapi perawatan yang diberikan klinik itu tak membuahkan hasil sama sekali. Kondisiku sudah ngedrop efek terlalu banyak cairan yang keluar dari mulut, selain itu karena tidak ada secuil umpan makanan dan setegak minuman masuk ke perut. Ingatanku sudah fifty persen di dunia. Ini bukan lebay yah gaes, wkwk

Keluargaku sudah khawatir, beberapa dari mereka sudah menangisiku, satunya lagi pingsan, aku pun dituntun membaca kalimat thoyyibah. Selang beberapa menit mbak sepupuku yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan tiba di klinik. Mengetahui kondisiku sudah parah, kuku berwarna ungu, kulit putih plus pucat dan pupil di mata menyelam ke atas, ia tak menunggu waktu lama bermusyawarah dengan keluarga, kemudian ia bernegosiasi dengan petugas klinik setempat untuk segera dirujuk ke rumah sakit.

Petugas klinik setempat pun belum menyetujui langsung, ia memintaku untuk ditunggu reaksinya sampai jam 10 malam. Keluargapun pada manantang dan meminta untuk segera dipulangkan secara paksa. Finally, keluargaku membawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Bondowoso. Aku tidak sadar apapun di sekelilingku, cuma bisingan suara yang ku dengar. 

Sesampai di Rumah Sakit itu aku dibaringkan di atas tandu kemudian dilarikan cepat ke ruang UGD. Di sanalah dokter yang memeriksaku mengambil keputusan cepat. Ia langsung menyuntikkan 2 infus sekaligus di tangan kiri kanankan, memasukkan obat lewat kedua alat selang yang langsung menuju lenganku dan memasangkan oksigen. 

Dokter memanggil perwakilan keluargaku buat menandatangi persetujuan. Apapun hasilnya mengingat kondisiku telah dinyatakan kritis. Ummi memohon pertolongan Allah lewat perantara guruku, Kyai Moh Hasan. Ia tak berhenti menawassuliku kepada Nabi Muhammad dan Al ‘arif billah Kyai Moh Hasan Genggong yang kemudian ditiupkan ke wajahku.

Keluargaku ikhtiar dan memasrahkan segalanya. Akhirnya dokter itu memompa obat ke lengan begitu sigap dan tak tanggung-tanggung memeras kedua infus agar segera bercucuran sangat deras. Tidak sampai 5 menit 2 infus dan 2 obat di lengan habis sekaligus. 20 menit kemudian akhirnya aku dinyatakan melewati masa-masa kritis. Darah yang semula anjlok menjadi 80 persen kemudian terangkat ke jumlah yang mendekati normal, oksigen yang semula tersisa 82 persen kemudian perlahan membaik menjadi 98.

Dokter di RS Bhayangkara sempat memarahi pak lek dan mbak sepupuku selaku penandatangan kesepatakan, karena membawaku dalam keadaan parah/kritis. Di Bhayangkara inilah kemudian tubuhku bisa terdeteksi kalau sudah kritis. 

Selepas digenjot obat itu, tubuhku mulai sedikit ada suntikan yang menjalar ke tubuhku, ingatanku kembali membaik walaupun pengelihatanku sedikit memudar. Pada jam 1 malam aku dipindah ke ruang kamar pasien setelah dilakukan rontgen di radiologi. 

Pada jam 4 subuh itulah awal aku merasakan kesadaran hidup 100% di muka bumi berkat maha belas kasih Tuhan, barokah guruku, Kyai Moh Hasan, usaha keras para tim medis di RS Bhayangkara, upaya dan doa keluarga espesically Ummi & Abahku, saudara-saudara sepepupuanku, pak lek, om dan bu dheku serta keluarga besar lainnya dan tak lupa berkat support dan pertolongan dari tetangga sekitar dan teman-teman yang lain. Jazakallah khoir. Wish you get reward of kindness from God, Allah SWT.

“At least banyak pelajaran yang dapat diambil hikmahnya”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se