2020 adalah tahun
mungkin
terburuk yang dihadapi manusia seluruh dunia. Merebaknya covid 19 (Kata
mereka) membuat orang gelagapan, kecewa, putus asa, bingung, cemas dan
terancam, karena kita betul-betul menghadapi situasi yang tidak biasa dan
mungkin berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Aktivitas tak berjalan normal, rencana menjadi tertunda, pendidikan kacau, ekonomi bangkrut dan saya fikir segala sektor menjadi tidak seimbang. Kemudian apa yang harus kita ambil hikmahnya pada situasi seperti ini?
Saya sendiri belajar memaknai kalimat syukur dalam menghadapi hal ini, tapi
perenungan syukur saya tidak lebih banyak daripada rasa sikap uring-uringan yang bergejolak dalam nurani saya. Tenggang waktu 9
bulan sejak covid 19 muncul di Indonesia sampai sekarang bukanlah waktu
yang sebentar, tidak salah bila gejolak nurani saya berdetak begitu kencang
untuk mempertanyakan validitas covid 19 itu yang sampai sekarang belum juga
berakhir.
Katanya.
Apakah masih merebak ataukah sebetulnya sudah hilang ataukah bagaimana? Varian terbaru disampaikan mereka yang berkuasa dan oleh mereka yang mungkin dipandang ahli dalam bidang itu membuat saya selaku orang awam seolah hanya dipaksa mematuhi intruksinya.
Intruksi itu lagi-lagi mengundang beragam pertanyaan dalam diri saya soal kebenaran gejala corona. Saya bukan tidak percaya hanya saja fakta ril yang kebetulan saya jumpai penuh keganjalan, samar, ambigu dan tidak biasa. Ibarat bocah yang selalu ingin mencoba, penasaran, kepo pada pengalaman yang tampak baru di hadapannya.
Kenapa setiap gejala yang dipandang menyerupai tanda-tanda corona gampang divonis positif ? seperti gejala pilek, batuk, kelelahan ataupu gejala lain. Bukankah jauh sebelum merebaknya corona orang sudah pernah merasakan penyakit itu dan mereka menganggapnya hal biasa. Kenapa sekarang tiba-tiba segalanya dicoronakan? Lama-lama orang enggan mau periksa ke rumah sakit kalau ujung-ujungnya dokter atau perawat setempat memvonisnya corona.
Kalau sudah tervonis corona pasti harus melewati protokol kesehatan yang ketatnya minta ampun yang sudah disiapin oleh mereka yang berkuasa dan mereka yang dianggap ahli seperti tes swap, karantina, dan segala tetak bengeknya, dan lagi-lagi kita hanya dipaksa untuk mematuhi perintahnya.
Bukan tidak mungkin lama-kelamaan orang meninggal karena telat perawatan atau kelaparan, bukan karena terpapar covid 19. Bagaimana tidak, banyak di antara masyarakat kita yang hendak makan hari ini, cari nafkahnya saat itu juga. Tidak logis kalau memaksa mereka untuk bekerja dari rumah. Apa yang mau dikerjain ?
Entah kapan problem ini terselesaikan. Saya sebagai orang awam yang kebetulan masih mempercayai kemahakasih dan maha penyanyang Tuhan menduga bahwa kalau memang benar wabah ini diturunkan oleh Tuhan, tidak mungkin ia rela hambanya tercabik-cabik sedemikian rupa dalam tempo waktu yang cukup lama (Meski sebtulnya ia mampu). Beda lagi kalau wabah itu sengaja dikembangbiakkan. Ibarat luka ia akan tambah menganga dan mengelupas jika si penderita luka menggaruknya dan merongrongnya secara sengaja.
Info pertama kali adanya covid kita pernah dinasehati untuk selalu di rumah saja entah oleh seruan pendapat para ahli, peraturan negara dan juga dalil agama. Dalam konteks masyarakat kelas menengah ke bawah Hifdzun Nafsi (menjaga diri) dari memenuhi kebutuhan hidup seperti makan itu lebih penting daripada kekhawatiran pada covid 19, apalagi dalam konteks bagi mereka yang berkeluarga, mau tidak mau menghidupi kebutuhan keluarga adalah kewajiban yang mereka rasa untuk ditunaikan.
Saya sebagai orang awam dengan akal dan nurani yang masih bimbang lagi-lagi hanya diperintahkan untuk mematuhi seruannya. Atas situasi ini selain belajar merenungi syukur saya berusaha mengais hikmah walaupun pengembaraan pada itu sulitnya minta ampun dan tidak jarang jawaban kekecewaan dan keputusasaan sering saya terima.
Beruntung kemudian saya dipertemukan dengan buku spektakuler filosofi teras karya Henry Manampiring dan buku The Magic karya Rhonda Byrine. Lewat penjelajahan dalam setiap lembar buku itu setiap pikiran negatif dan emosi bergejolak saya balikkan bagaimana sekiranya berfikir positif, positif, dan positif lalu berusaha mengambil hikmah walaupun pengharapan saya pada hikmah sama seperti perenungan saya pada syukur; sering uring-uringan.
Contoh hal positif yang saya rasakan pada situasai kala itu yaitu saya dapat menghabiskan banyak waktu di rumah dan berkumpul bersama keluarga, adik, saudara, lebih-lebih menemani ibu saya. Terbilang cukup lama saya berada di sana yaitu 6 bulan (April-September) dan mungkin itu kedua kalinya saya menghirup suasana halaman rumah dan segala seisinya cukup lama, terakhir sebelum melanjutkan sekolah menengah pertama.
Saat mengenyam pendidikan menengah pertama dan seterusnya saya mulai jarang
berada di rumah kecuali saat liburan tiba dan itu pun pasti kurang lebih 1
bulan saya pulang. Habis itu biasanya langsung kembali lagi ke aktivitas
semula melakukan petualangan hidup dan pencarian jati diri. Wkwkwk.
Sory bahasanya agak lebay
Seperti yang saya ceritakan di atas saya sering gelisah dan uring-uringan menghadapi situasi yang terasa sulit itu dibanding
merenungi syukur dan menyerap hikmah. (Waktu itu). Apalagi di tengah
masa-masa itu saya mempunyai
special moment
yang ingin sekali saya hadiahkan/persembahkan buat kedua orang tua dan
keluarga saya.
Bagi saya pribadi mungkin moment itu biasa saja, tapi saya yakin bagi orang tua menyaksikan moment langka dan berharga itu adalah rasa syukur yang tak terhingga dan mungkin juga luar biasa. Gegara itu akhirnya moment itu ditunda hingga pada akhirnya dirayakan secara biasa-biasa saja alias nothing special. Tapi harus tetap disyukuri.
Selain cerita di atas, pada 2020 ini mungkin di antara kita banyak kehilangan orang mulia yang jejak dan titah hidupnya berusaha kita ikuti. Mulai dari tokoh hebat, penyair, ulama pulang mendahului kita. Kepulangan mereka (Termasuk guru saya) mengisyaratkan kita bahwa semakin terkikis orang-orang yang kita jadikan sebagai kiblat keteladanan hidup.
Semoga mereka yang masih hidup selalu diberi kesehatan, perlindungan dan umur panjang. Kita masih membutuhkan sosok mereka yang hidupnya kita jadikan pedoman dan kiblat kehidupan di tengah suasana dunia yang semakin ambivelen.
2021 semoga menjumpai banyak hal positif yg berdampak pada kehidupan yang kita jalani.
Matap tetap berkarya hingga semesta mengenal anda
BalasHapusaseekkk