Langsung ke konten utama

10 Hari di Semarang





Seminggu sebelum memastikan berangkat ke Semarang, saya komunikasi sama David soal waktu yang tepat. Mumpung Agustus kita sama-sama luang disepakatilah 10 Agustus 2020 kita meluncur.

Inisiatif secepatnya berangkat soalnya kita tidak mengerti apa yang terjadi bulan-bulan berikutnya. Atas keyakinan inilah Agustus menjadi waktu pilihan mengungkap kangen ke tempat yang telah mengajari saya hidup, selebihnya mengurus kepentingan administratif yang begitu ribet bin ruwet.

David meluncur dari Banyuwangi dengan kereta. Kurang lebih pukul 21.00 nan kereta bernama Purbowangi itu tiba di Stasiun Pasar Turi Surabaya. Sementara saya naik bus setelah maghrib dari Bondowoso, sesuai hitungan waktu pukul 23.45 bus patas tiba di Terminal Bungurasih.

Malam hari bus kota sudah berhenti beroperasi, saya meminta kondektur menurunkanku di pintu masuk terminal.  Setelahnya terpaksa saya order ojek online.

Turun dari bus saya melangkah gontai ke arah tempat yang biasa mengorder gojek online, karena transportasi online itu cara paling mudah didapat pada malam hari di Surabaya. Tapi Surabaya tetaplah Surabaya, kota yang tidak pernah sepi dari hilir mudik umat manusia. Tak lama berselang abang gojek yang 5 menit saya pesan menghampiri saya di pinggir jalan, memboncengnya menuju tempat tujuan; Stasiun Pasar Turi.

Di Stasiun Pasar Turi sudah ada David, ia sedang melahap bekal makanan yang dibawanya dari rumah. Saya ditawari makan olehnya, tapi perut tidak bernafsu makan. Perasaan kenyang yang dibawa dari rumah masih membekas. Sembari menunggu David makan selesai, saya jalan-jalan ke lingkungan stasiun, sambil sesekali mengecek jam yang ada di hp, jam menunjukkan pukul 00.25 menit.

“Kurang 6 jam lagi kereta berangkat dari Stasiun Pasar Turi Surabaya menuju Semarang Poncol,” Fikirku.

6 jam waktu yang cukup lama dinanti.  

Sehabis makan, David duduk di samping saya, bercerita kehidupan sehari-harinya di kampung selama 4 bulan lamanya. Kita pun berbagi kisah tentang pengalaman hidup selama di rumah masing-masing. Mungkin bercerita adalah cara menghabiskan malam agar lekas berlalu.

Semakin malam suasana Pasar Turi tampak sepi, angin malam mulai terasa menggantikan hawa panas yang menjadi ciri khas hawa Surabaya, nyamuk pun mulai gentayangan menggigit satu persatu jemari kaki. Untungnya David tidak lupa membawa sebotol autan untuk menepis gigitan nyengat nyamuk nakal itu.

Dua jam berlalu kita mengobrol, tak terasa tiba-tiba rasa kantuk menyapa. Kita mencari kursi kosong buat merebahkan badan selama 3 jam ke depan. Sambil membereskan posisi tidur yang nyaman, kita memastikan barang bawaan aman.

David terlelap lebih dulu, kemudian setengah jam berlalu saya menyusulnya, menjemputnya di alam bawah sadar. Belum lama tidur, satpam Pasar Turi membangunkan orang-orang yang sedang tidur di kursi stasiun termasuk saya dan David. Saya lupa, tidur di kursi stasiun Pasar Turi memang dilarang. Lalu kita bangun dan menyadarkan diri sejenak.

Saya menoleh ke kanan, melihat ada Minimarket sebelah stasiun yang kebetulan berlantai bersih. Saya mengajak David ke sana, mengecek apakah layak buat beristirahat. Lantai minimarket itu cukup bersih buat ukuran orang kepepet bergelandangan dan layak buat merebahkan badan beberapa jam ke depan. Lalu saya dan David pindah tempat tidur ke minimarket yang sudah sudah tutup itu, beralaskan lantai dan berbantal tas.

Meminta tolong ke teman di Surabaya sebetulnya bisa saja buat menumpang tidur di rumah atau kontrakannya, masalahnya waktu itu sudah pukul 12 petang. Tidak mungkin saya mengganggu orang lain istirahat. Kita masih muda, anak muda harus kuat menerjang gelombang badai sedahsyat apapun, apalagi cuma tidur di empiran toko. Anggap saja moment bagian merekam hidup sebuah perjalanan.

Memilih tidur ala gelandangan itu selain merekam cerita, entah kenapa saya teracuni cerita hidup dari perjalanan sastrawan ternama asal Semarang, NH Dini. Dalam salah satu karyanya, saya menemukan karakter dia hampir dalam setiap bab yang menggambarkan dirinya. NH Dini bukan tipikal orang yang mau merepotkan/menyusahkan orang lain sekalipun orang-orang terdekat seperti anak kandungnya sendiri.

Ia perempuan berusia senja, tapi semangat melakukan sesuatu dengan ketegakkan kakinya sendiri menginspirasi insan yang tentu secara fisik lebih tegar darinya. Berkat pelajaran hidup darinyalah, saya mikir dua kali kalau harus merepotkan orang lain.

Adzan subuh berkumandang, kita terbangun dari tidur dan lalu menyadarkan diri. Setelah sadar kita menuju masjid yang jaraknya kurang lebih 15 m dari stasiun. Pas berjalan ke masjid, orang tua menawari becaknya, mengira kita hendak ke salah satu tempat di Surabaya.

Saya bilang padanya kalau kita sedang menanti kereta arah Semarang. Abang becak yang kira-kira usia 50 tahun ke atas itu mengangguk sambil mengingatkan pada kita berdua bahwa kereta Maharani berangkat pukul 06.00, kita menyampaikan terimakasih lalu melanjutkan langkah kaki kita ke masjid.

Dari jarak jauh kita menangkap gerak gerik abang becak itu sedang memungut makanan di tempat sampah. Di kota besar semacam Surabaya hal itu biasa, mungkin sudah menjadi konsumsi harian orang kelas menengah ke bawah yang hidupnya sering luput dari sentuhan negara. Bagi mereka, hidup demikian mungkin telah menjadi suratan taqdir yang telah Tuhan gariskan.

Peristiwa semacam itulah yang kadang membenarkan klaim banyak orang bahwa hidup di kota besar sangatlah keras. Hidup di kota besar seolah penuh kompetisi dan berlaku hukum rimba, siapa kuat ia yang akan memenangkan laga. Persaksian ketimpangan sosial yang amat tajam ini benar-benar menguji hati nurani dan membuat kita sebagai manusia intropeksi diri.

*****

“Setengah jam lagi, kereta Maharani jurusan Stasiun Semarang-Poncol segera diberangkatkan”

Kita menuju tempat duduk di gerbong 6 kereta Maharani. Kala ini naik kereta api tidak seperti hari-hari biasanya sebelum ada pandemi covid 19. Harus menyertakan surat keterangan kesehatan, menggunakan face shield dan tempat duduk hanya boleh ditempati 1 penumpang.

Kursi di gerbong 6 terbilang sepi dari penumpang. Melihat banyak kursi kosong, saya tidak pernah tertib, mencari tempat yang sekiranya nyaman walau itu bukan tempat dudukku sesuai tiket yang tertera. David pun begitu. Saking sepinya kita memanfaatkan kesempatan mengabadikan diri di dalam kereta.

Sepanjang 5 jam perjalanan melewati Stasiun Lamongan, Babat, Bojonegoro, Cepu, Randublatung, Kradenan, Ngrombo, Semarang Tawang akhirnya kereta Maharani itu sampai di tujuan akhir Semarang Poncol. Setiba di Semarang, hati terasa bahagia. Saya akan kembali menghirup udara di tempat yang kurang lebih 5 tahun lamanya saya menapaki hidup di dalamnya. Tidak berlama-lama kemudian saya bersama David langsung ke halte bus BRT.

Tidak lama BRT arah Ngaliyan tiba, sepanjang jalan saya dan David berdiri. Maklum menunggangi bus BRT seperti ada kesepakatan tak tertulis di mana harus mendahulukan orang tua, ibu hamil duduk di kursi penumpang yang tersedia, sedangkan anak muda harus mengalah dengan beridiri. Boleh dibilang, kalau saya bergumam naik bus BRT salah satu jembatan cara belajar jadi manusia yang menghormati manusia lain.

Setelah dzhuhur bus BRT tiba di halte Kedung Pane, pemberhentian yang jaraknya lumayan dekat dengan kontrakan saya di Taman Puri Banjaran, sekitar 3 km ke arah sana. Saya order grab mobil (Sigra) untuk mengantarkan saya dan David ke kontrakan. Sopir mobil grab ini salah satu orang yang penghasilan kesehariannya terdampak akibat covid. Katanya, sebelum ada covid orderannya bisa lebih 5. Pasca terjadi pandemi penghasilannya menurun drastis. Terkadang 2, 3, bahkan tidak ada sama sekali.

Pukul 13.00, Sigra yang kita tumpangi tiba di depan halaman kontrakan. Saya mengintip kontrakan dari jendela mobil tampak sepi. Hanya motor mereka yang terpanggang sinar matahari di halamannya. Saya tahu,  di kontrakan tersisa Adib dan Rizal, mungkin mereka berdua ada di dalam sedang istrirahat, sedangkan Afif yang 5 bulan lalu pulang ke kampungnya di Ngawi belum juga kunjung kembali.

Setiba di depan kontrakan, saya membuka pintu, lalu langsung menuju ke kamar mandi, keramas dan membasuh badan yang bersih. Saya khawatir ada virus brengsek menempel selama di perjalanan.

Kontrakan Puri Banjaran, perteduhan paling lama yang saya huni selama menjadi warga Semarang. Rumah dua kamar itu menjadi saksi sejarah kehidupan selama 3 tahun lamanya saya berteduh di dalamnya. Di sanalah rumah pembebasan (freedom institute) pergolakan anak muda yang berjuang menata hidup demi cita –cita besarnya.

Saya bersyukur satu atap bersama mereka, teman-teman baik saya yang berasal dari berbagai wilayah. Purwerejo, Riau, Kendal, Kebumen, Ngawi, dan Jepara. Awalnya rumah sekali buka pintu depan tembus pintu belakang itu dihuni 7 orang, (Adib, Rijal, mas Fadli Rais, Masruri, Danil dan saya) lalu setahun kemudian tersisa 4 orang.

Ketiganya (Mas Fadli Rais, Masruri dan Danil) pindah ke bascame Elsa di Segaran. Berhubung penghuninya tinggal 4 orang, akhirnya kamar dibagi satu kamar dua orang. Rumah beralamat Taman Puri Banjaran itu sangat sederhana, tapi sarat makna bagi saya yang beratap di dalamnya.

Sepulang dari Semarang saya tidak meninggalkan apa-apa di kamar itu selain foto saya terpampang di dinding kamar bersama gambar presiden Soekarno yang saya beli saat ziarah ke Makam Sunan Kalijaga. Wkwkwkwk  

*****

Sore hari setelah istirahat, saya diajak David mengambil kunci pintu di rumah omnya di Ungaran. Saya pinjam motornya Sadad buat mengantarkan David ke sana lalu ke rumahnya di Mijen. Sepulang dari sana, saya balik menghampiri Sadad di tempat pengaisan rezeqi. Setelah sift memburu dolar selesai, Sadad dan saya berniat makan di warungnya Adib dan Rijal.

Kita menikmati hidangan telur penyet di warung Nusantara milik mereka. Sehabis makan, saya menemui teman-teman Justisia di kontrakan Silayur. Kebetulan di antara mereka banyak yang tidak pulang meski di tengah liburan semester seperti Haidar, Faiz, Rusda, Sidik dan Sadad, ditambah mas Fadli Rais dan Danil yang kebetulan juga tinggal di sana.

Pergi ke Semarang niat dari rumah memang tidak bisa berlama-lama. Target 10 hari segala urusan yang menjadi tujuan utama usahakan terselesaikan. Waktu yang sangat pendek itu memang harus mengkalkulasinya sedemikian rupa.

Apa yang mesti dikerjain nanti malam, besok, besok lusa harus saya catat di buku kecil. Biar waktu yang amat singkat itu tidak terbuang sia-sia dan apa yang menjadi agenda dari rumah terbereskan. Selebihnya, waktu yang tersisa dihabiskan buat bermain, berjalan dan mengabadikan kenangan di setiap sudut kota yang menjadi ikonnya kota Semarang.

4 hari an ngurus administratif yang ruwetnya minta ampun itu terselesaikan, tinggal mencetak skripsiku untuk dipostkan ke keluarga Agama Baha’i di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Kebetulan penelitian saya mengangkat tema soal kehidupan sosial keagamaan mereka.

Bagi saya mereka selain melengkapi sumber primer dalam kepentingan penelitian, juga menjadi keluarga persaudaraan baru saat saya jumpai kala tinggal di Semarang.

Senang rasanya mengenal mereka. Orangnya baik, ramah dan menghargai siapapun yang berniat tulus bersilaturrahim ke kediamannya. Berintraksi bersama mereka saya mengamini pesan Gus Dur, salah satu tokoh yang begitu saya idolakan, bahwa orang kalau sudah berbuat baik kepada orang lain, mereka tidak akan tanya apa agamanya.

Selama penelitian berlangsung, 4 kali saya ditemani David bolak-balik Semarang-Pati. sepulang dari Pati kadang saya sempatkan berziarah ke makam Sunan Kudus dan Kalijaga bahkan sampai bermalam di sana. Seru rasanya ingat perjuangan menuntaskan tugas akhir kala itu.

Sebetulnya kemarin ingin berkunjung ke sana lagi menyerahkan hasil penelitian saya ke keluarga Baha’i sekalian pamit pulang. Berhubung kondisinya tak memungkinkan, terpaksa saya mengirim naskah itu lewat post dan tidak lupa menyelipkan surat panjang yang saya tulis malam harinya.

Semoga lain waktu saya masih diberi kesempatan bersilaturrahim ke rumah mereka lagi di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Bertemu Ibu Jamali, Pak Sanusi, Bu Sulis, Mas Hujat dan keluarga Baha’i yang lain. Semoga Tuhan memberkahi umur mereka.

Hari berikutnya saya dan teman-teman mengagendakan untuk merayakan tasyakkuran wisuda. Konsepnya sangat sederhana, cukup tahlil, doa yang dipimpin Gus Ruri lalu dilanjut acara inti; makan-makan. Sebelum acara dimulai, saya komunikasi sama Salwa. Kebetulan hanya dia yang masih stay di Ngaliyan. Lainnya berangkat dari rumah masing-masing.

Saya jemput Salwa di kosnya kemudian langsung menuju ke Pasar Ngaliyan. Saya pasrahkan semuanya pada dia yang lebih mengerti apa saja yang hendak dibelanjakan (Bukan karena status dia perempuan, sehingga saya pasrahkan padanya. Tidak..!).

Setelah belanja buah-buahan, saya mampir ke toko sembako, membeli rokok titipan Adib. Turun dari motor, hujan mendadak turun, deras sekali. Terpaksa kita berteduh di empiran toko dekat pertigaan pasar Ngaliyan. Hujan sedikit agak reda, kita bergegas ke Elsa putri buat mempersiapkan tasyakkuran malam harinya. Alhamdulillah tasyakkuran itu berjalan lancar meski dikemas secara sederhana dan apa adanya. 

Malam Minggu 16 Agustus saya bersama Faiz, Sidik dan Yaqin yang kebetulan baru datang dua hari lalu, jalan-jalan ke kota lama, salah satu ikon bersejarah kota Semarang. Baru beberapa menit memarkir kendaraan, cuaca tampak mendung. Biar tidak keburu hujan kami berempat bergegas mencari baground yang indah buat mengabadikan kenangan.

Tidak lama berswap foto, perlahan gerimis hingga akhirnya diguyur hujan deras. Kami berlari cepat ke tempat parkiran motor, jaket yang saya cantolkan di atas setir motor Faiz sudah terlanjur basah kuyup. “Alamat kedinginan,” fikirku.

Kita meneduh di tempat sekitar sana yang tak jauh dari parkiran motor. Sekali agak reda, Faiz dan Sidik tancapkan gas segera balik menuju kontrakan Silayur. Hujan masih deras membuat tubuhku menggigil kedinginan. Tidak puas ke sana, saya niatkan dalam hati “Bagaimana pokoknya sebelum pulang, saya jalan jalan ke sana lagi.”

Tepat seperempat perjalanan, hujan kembali melanda. Faiz dan Sidik secara tak sengaja menepi di depan toko milik Sayyida. Di sana kita berteduh cukup lama sembari menunggu hujan reda. Semakin ditunggu, hujan tambah semakin deras. Jalanan tampak lengang, sesekali mobil dan motor lewat menerobos derasnya hujan.

Di depan toko yang saya numpang teduhi itu, ada becak terpakir di emperannya. Pemiliknya tidur di atas kursinya. Sesekali air hujan menciprati kulitnya, pemilik becak itu terbangun lalu melajutkan tidurnya sambil membenahi posisi. Bagi mereka, melawan terik matahari dan dinginnya hujan mungkin peristiwa yang mau tidak mau harus dilewati demi memenuhi kepentingan anak, istri dan keluarganya.

Rupanya hujan itu tidak mau diajak berkompromi, akhirnya Sidik dan Faiz memantapkan keyakinan; menerjang hujan.

*****

Malam Rabunya giliran saya dan Faiz, berdua menyusuri kota Semarang. Biar cukup lama menghabiskan malam di sana, saya berangkat lebih awal setelah maghrib. Tujuan pertama kita keliling Pecinan, salah satu pasar bersejarah di kota Semarang.

Aroma lingkungan dan arsitektur bangunannya pun tergambar jelas melukiskan udara masa lalu. Setelah berputar di Pecinan, tujuan selanjutnya ke Kota Lama, kota inilah yang menjadi salah satu tempat pelarian saya tatkala dirundung kejenuhan saat tinggal di Semarang.

Banyak peninggalan bersejarah masih membekas di kota itu. Gedungnya, Gereja Bleduk, Gedung Jiwasraya, Gedung Marabunta ataupun bangunan kuno yang masih tersisa dan terawat. Selain dinamai kota lama, orang menjulukinya sebagai kota tua, setua bangunan itu berdiri. Berkelana ke sana tanpa disadari sukma dan ingatan kita terhanyut ke fase kehidupan seabad-dua abad tahun silam lamanya.

Setelah Faiz memarkirkan motornya, kita berjalan menyusuri lingkungan kota lama, kebetulan saya dan anak sulung dari dua bersaudara itu mempunyai kebiasaan serupa saat mengunjungi tempat, yaitu mengabadikan kenangan (untuk tidak menyebutnya penyuka fotografi). Jadi saya tidak merasa canggung meminta tolong ke dia memotretkan diri walau berpindah-pindah tempat, membenahi penampilan dan berganti gaya. Walaupun gayanya gitu-gitu aja sih.

Setelah berkeliling cukup lama, saya dengan Faiz istirahat sejenak di kursi taman sebelah bangunan Gereja Bleduk. Saya tidak faham betul apakah kursi ini diperuntukkan khusus sepasang kekasih atau bebas hak semua orang. Soalnya dari kursi yang tersedia di taman, hanya kursi yang kita duduki ini penduduknya laki-laki semua. Lainnya, laki-laki-perempuan, muda – mudi lagi. he

Keringat di tubuh perlahan menggerahkan. Kita meneguk es jeruk yang dibelinya di depan gereja. Saya yang tidak begitu suka minuman dingin (ber-es), hanya menyeduh 2 sampai 3 tegukan. Selebihnya ngobrol. Obrolan anak muda khas: Tentang cita-cita dan cinta. He.      

Puas berjalan-jalan di kota lama, saya dan Faiz melanjutkan season berikutnya, JPO (Jembatan Penyebrangan Orang/ sky bridge), jembatan itu relatif baru diresmikan oleh pemkot Semarang, letaknya di JL Pandanaran.

Mengabadikan diri malam hari di sana, keindahan lampunya berkesan futuristik dan minimalis menghiasi setiap dindingnya. Meski cuma jalan-jalan, suasana di dalamnya sudah menghadirkan kebahagiaan tersendiri dalam kalbu. Setiap jengkal dikelilingi lampu berkelap-kelip. Setelah berswap foto di JPO selesai, saya bergegas ke sudut terakhir; Tugu Muda.

Entah kesekian kalinya saya ke Tugu Muda. Saya masih ingat pertama kali diajak kakak seneorku saat menjadi maba 2015 silam di Semarang. Saya ajak Faiz ke sana lagi. Karena di tempat itulah yang juga menjadi bagian sejarah kota Semarang berdiri. Tampak dari belakang bangunan lawang sewu menghadirkan gaya arsitektur kolonial menjadi baground keindahan tersendiri.

Dari perjalan tadi sampai ke titik ini, tidak ada tujuan lain selain sekedar jalan-jalan juga demi mengabadikan kenangan sebelum saya meninggalkan kota Semarang, kota yang telah memberi pengalaman hidup bagi kehidupan pribadi saya. Hampir pukul 12 malam saya dan Faiz tiba di kontrakan Corner Institute.




*****

Keesokan harinya saya bersilaturrahim ke orang-orang yang telah mengajari banyak hal selama di Semarang. Menyamperi teman kelas, teman organisasi dan juga ke Elsa. Pertama saya silaturrahim ke Elsa, lembaga yang seringkali meyediakan ruang belajar dan diskusi secara terbuka buat siapapun.

Kebetulan saat itu Elsa sedang merayakan ulang tahun, jadi saat saya kesana bisa bertemu banyak orang, Pak Abu Hafshin (dosen saya di kampus sekaligus mantan ketua PWNU Jateng periode kemarin), Pak Tedi Kholiluddin, Pak Cepruddin, Pak Iman Fadhilah, Mas Jaedin, Sunandar. Ketika mengungkap pamitan untuk boyong, Pak Eman menyahut, membeberkan syarat kebolehan perantau untuk boyong.

“Mas, min syurutil boyong itu ada 4: pertama, punya yayasan, kedua, anak tunggal, ketiga, (saya lupa penjelasan pak Iman) dan keempat, dijodohkan. Kamu yang mana? Keempatkah ?” katanya.

Mendapati pertanyaan itu saya tersenyum. Sebetulanya keempat syarat itu saya tidak memenuhi syarat perboyongan. Hehe. Setelah berbincang cukup lama dengan beliau semua, saya senang sekali sebelum pulang bisa silaturrahim ke mereka yang secara kebetulan berkumpul dalam satu ruangan.

Beruntung selama tinggal di Semarang dipertemukan sama orang-orang baik dan peduli yang tidak keberatan bila bersinggah ke rumahnya.  Saya senang diberi wejangan yang berarti oleh mereka.

Keesokan harinya giliran bertemu sama pak Arif Budiman, wali dosen yang selalu tanya perkembangan akademik saya di Semarang. Selain itu beliau tidak pernah berpaling menyapa saya kala berpapasan di manapun setiap kali bertemu.

Sebelum bertemu saya sudah janjian dengan beliau, dan memperkenankan saya datang ke kantornya, ruang Wakil Rektor 3. Pertemuan bersama beliau ini, ia tetap sebagai wali dosen yang saya kenali sebalumnya, selalu memberi semangat kepada setiap mahasiswanya.

*****

Sehari sebelum pulang saya prepare mengkemasi baju ke dalam koper, memasuki buku ke dalam kardus dan memastikan semua barangku tidak ada yang tercecer. Di tengah membereskan barang bawaan, entah mengapa rasa haru itu pasti saja datang.

Saya berfikir berarti ini terakhir kali saya tinggal di kamar ini dan terakhir pula bersemai di Semarang. Hidup 5 tahun di Semarang adalah pengalaman yang begitu berharga dan tentu sangat berkesan dalam kehidupan pribadi saya.

Kadang timbul saja keraguan atas waktu secepat ini berlalu, padahal seperti baru kemarin saya menginjakkan kaki di Semarang. Ingatan bingung cari tempat penginapan saat verifikasi berkas 5 tahun silam tetap saja melekat dalam benak saya sampai sekarang hingga cerita ini ditulis. Tapi semesta punya cara sendiri memberi jedah mengatur ritme anak semestanya meski harus berpisah dengan tempat perjalan hidupnya bahkan orang tercintanya sekalipun.

Setelah berkemas barang selesai, saya pergi ke kontrakan teman-teman Justisia di Silayur, sekalian pamitan ke mereka. Teman justisia adalah keluarga saya selama di Semarang. Menggembirakan sekali berkumpul bersama mereka saat berproses di dalamnya. Tidak ada kata selain ucapan terima kasih pada mereka yang telah menerima saya menjadi bagian keluarganya.

Saya minta tolong ke Faiz mengantarkan ke Stasiun Poncol, kebetulan kereta yang saya tumpangi berangkat pukul 21.00. 3 jam lagi dari waktu itu. Sebelum pulang biar ada kenangan, saya berswap foto bersama mereka di kontrakan sepanjang kurang lebih 6 meter itu. Selepas foto teman-teman mau mengantarkan saya sampai ke Stasiun poncol, tapi saya melarangnya. “Gag usah, kayak mau ngantar orang naik haji aja” gumamku.

Mereka tidak keberatan mengantarkan saya walaupun sampai di Stasiun.

Saya mampir sebentar ke warungnya Adib dan Rijal, teman serumah di Kontrakan Puri Banjaran. Setelah berjumpa mereka, saya menepi di Bandeng Juana, membeli oleh-oleh khas Semarang. Saat melakukan pembayaran merasa ada yang kurang saat saya rogoh dompet di tas; Hp saya ketinggalan.

Saya menduga Hp itu tertinggal di kontrakan Silayur. Terpaksa saya balik arah meminta antar Rusda mengambil hp yang tercecer itu. Ternyata betul, hp itu tergelatak di lantai. Membawa barang banyak, memang harus ekstra hati-hati. Jika tidak, ada saja yang ketinggalan. Apalagi saya orangnya gampang pelupa. Tapi tidak melupankanmu, anjay.

Pukul 20.30 saya dan teman-teman tiba di Stasiun Poncol. Mereka yang membantu menenteng barang bawaanku. Bersyukur diperkenalkan sama teman baik seperti mereka. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian. Sebelum kereta berangkat, saya berswap foto bersama mereka di halaman Stasiun. Tidak ada tujuan lain, selain terakhir kali mengabadikan kenangan dan moment bersamanya.

Pukul 9 kurang 10 menit, informasi kereta Kertajaya jurusan terakhir Pasar Turi Surabaya segera diberangkatkan. Saya lalu masuk dan mendorong koper dan kardus buku itu sendiri. Dari jauh saya lambaikan tangan perpisahan ke mereka. Saat memasuki gerbong tidak sengaja berjumpa teman yang juga hendak pulang kampung ke Jawa Barat. Terhitung lama saya tidak bertemu dengannya.

Semarang ibarat kekasih yang sebetulnya terlalu berat ditinggalkan dan terlalu manis dilupakan. Harapan saya tidak pernah padam pada kota ini, semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku mengunjunginya di masa depan meski cuma sekedar meredam kangen dan membasuh rindu.

Numpang hidup kurang lebih 5 tahun selama di Semarang adalah langkah dan proses tak terbayangkan sebelumnya. Bersyukur Tuhan menaqdirkanku bersemai di dalamnya walau sebatas warga Semarang biasa dan sementara. 2015 berangkat, 2020 selesai.

Berawal di Semarang, saya dapat belajar banyak hal. Belajar hidup, belajar akademik, belajar mendewasakan diri dan belajar apapun yang mesti dipelajari.

Mencintai Semarang juga mencintai manusia dan segala sesuatu yang melekat di dalamnya. Saya Mencintainya (baca: Semarang) sebagaimana menyayangi orang-orang tercintaku, tidak terbatas waktu (Selamanya). Semarang telah mengajari banyak arti, karenanya saya tidak perlu mengasih alasan mengapa saya begitu mencintainya.

******


Baru pertama kali saya melakukan perjalanan malam hari melalui kereta dari Semarang Poncol menuju stasiun Pasar Turi Surabaya. Liburan biasanya saya pulang antara pagi atau siang hari. Perjalanan malam nyamannya sepi, tidak tersilau sinar matahari.

Sayangnya, saat melintasi persawahan pemandangan jadi gelap gelita, hanya sinar lampu yang bergelantungan dipajang di pinggir sawah. Itupun jarang sekali ditemui. Sedangkan kalau perjalanan siang hari persawahan dan pepohonan itu yang jadi obat kejenuhan kala berjam-jam berada di kereta selain membaca buku dan mendengarkan musik.

Pukul 1.45 kereta Kertajaya itu tiba di stasiun Pasar Turi. Saya agak kerepotan, barang bawaanku teramat banyak dan sangat berat. Saya harus mendorong koper pelan-pelan, memastikan kardus berisi buku yang saya letakkan di atas koper itu tidak terjungkal. Selain itu saya harus menggendong dua tas, kecil dan besar.

Beruntung saat berada di kereta, saya sempat tidur sebentar. Keluar stasiun saya merehatkan badan sejenak di kursi duduk yang tersedia di halamannya. Berkali-kali angkutan entah itu mobil, becak, motor menawarkan transportasinya, saya belum kunjung mengiyakan tawaran mereka.

Setelah meredakan pegel, saya mengiyakan tawaran abang gojek yang menghampiri saya di kursi stasiun. Negosiasi ongkos selesai, saya bilang ke abangnya untuk ke warung sebentar, menyeduh teh hangat dan makan mie rebus. Saya suruh abang gojek itu makan juga, tetapi abang itu menolak dan hanya memesan kopi hitam dan rokok. Dihisapnya rokok itu perhalan, ia berbagi cerita selama menjadi jasa angkutan di wilayah Pasar Turi.  

Pukul 03 kurang 15 menit, saya berangkat bersama abang gojek sampai ke Stasiun Gubeng Surabaya. Itu baru pertama kali saya pulang dari Surabaya ke rumah dengan transportasi kereta api. Biasanya saya naik bus dari Terminal Bungorasih. Memilih naik kereta sampai ke jurusan Jember, sekedar meluapkan keinginan saja melewati jalur selatan. Saya menunggu kereta Purbowangi kurang lebih setengah jam dari pemberangkatan.

Sebelum naik kereta, saya beli makanan dan minuman di Indomaret yang bersebelahan dengan stasiun. Pukul 04.15, kereta Purbowangi yang hendak membawa tubuhku 5 jam ke depan segera berangkat. Saya tidak kuat menahan mata yang semakin lama ditahan semakin berat. Saya tidur di kereta, menyandarkan jidatku di peletakan minuman dan makanan yang ada di samping kursi kanan saya. Sesekali saya bangun lalu tidur lagi terus begitu sampai kereta ini tiba di stasiun Leces Probolinggo.

Setiba di stasiun Leces saya berusaha melawan ngantuk, karena di stasiun inilah saya dapat mengembalikan memori 15 tahun silam saat bersama al marhum babah (sebutan kakek) diajak menyambangi puteri keduanya di Leces.

Saya ingat betul saat babah menuntun saya yang saat itu kelas 2/3 SD naik ke atas kereta dan mengajaknya bicara apa saja lalu membiarkan bermain dengan kegirangan di dalamnya. Dan kalau saya terlelap tidur, babah memangku saya di atas paha dan dadanya, lalu mengipasi saat keringat membasahi tubuku.

Maklum kereta zaman itu tidak senyaman sekarang. Ah, stasiun Leces dan perjalanan sampai ke Jember itu membawa rinduku pada sosok yang berperan besar pada hidup yang saya jalani. Babahku wafat saat saya semester 5 kemarin.

Tubuhnya yang seringkali menderita sakit, membuat saya belum sempat membawanya ke Semarang, tempat di mana saya menimba ilmu dan memburu pengalaman. Semoga Tuhan menyediakan tempat terbaik di sisinya.

Kali ini saya begitu semangat memandang persawahan di balik jendela kereta api. Udara di pagi hari menghadirkan kesejukan tersendiri buat memotret keindahan pemandangan di kanan maupun kiri jalan. Menyaksikan petani menanam bibit, menumbuk padi dan mencangkul tanah adalah peristiwa luar biasa yang harus saya sadari sebagai anak bangsa agar faham betul siapa pihak yang berperan besar dalam asupan yang saya makan setiap harinya.

Berkat mereka inilah, sehingga saya bisa makan nasi, sayur dan makanan lain yang sumber primernya berasal dari hasil keringat mereka. Oh Tuhan, semoga engkau mengangkat derajat mereka.

Pukul 08. 40, kereta tiba di tujuan sesuai tiket yang saya pesan; Stasiun Jember. Saya tanya ke kondektur, kalau stasiun yang lebih dekat dengan terminal Arjasa ternyata bukan Stasiun Jember, tapi setelahnya, Stasiun Arjasa. Saya memilih turun di sana. Setiap kali berhenti stasiun, saya turun dari kereta, menghirup udara segar dan menenangkan diri sejenak. Sambil memburu suasana yang lebih menyenangkan hati dan fikiran. Baru kereta hendak berangkat, saya masuk ke dalam kereta.

5 menit kemudian kereta segera tiba di stasiun Arjasa. Saya berehat sejenak di bruk pinggir jalan lalu menyelonjorkan kaki pelan-pelan. Sesampai di Jember, senang sekali saya bisa melewatinya sendiri dengan selamat. Tiba di rumah, diperkirakan sekitar 30-40 menit lagi. Relatif hampir dekat.

Membuka hp jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Tidak lama kemudian angkutan umum (angkot) menghampiriku. Kebetulan angkot sedang sepi dari penumpang, saya bisa bergerak sebebasnya di dalamnya melihat barang bawaanku yang teramat banyak.

Setelah sampai di terminal, saya berganti transportasi menaiki bus antar kota. Ada teman di Jember yang menyuruhnya mampir ke rumahnya. Merasa beban yang saya bawa banyak dan tubuh sudah lelah, saya tidak mungkin mampir memenuhi permintaan teman saya. Akhirnya bus itu tiba juga di terminal Bondowoso, tanah kelahiran saya.  

 

 

          

 

 

 

     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se