Langsung ke konten utama

Pulang Kampung dan Mitos Hari Selasa

Gara-gara Corona rencana kawin pulang kampung yang sebetulnya sudah saya handle jauh-jauh hari terpaksa harus dimajukan. Pemajuan kepulangan tersebut bersamaan dengan penundaan waktu wisuda, 22 April 2020. Awalnya saya tidak berniat balik rumah sebelum proses administratif dan seremonial studi selesai, tetapi wabah Corona yang kian hari menyerang banyak korban mendorong niat agar selekas mungkin balik ke tanah kelahiran. Apalagi Semarang, tempat tinggalku sementara adalah salah satu wilayah yang terstampel zona merah, tiap harinya ada korban dinyatakan positif terjangkit virus Covid 19.

Semakin bertambahnya korban dinyatakan positif, keluarga di rumah pada khawatir, orang tua, saudara, kakak dan mbak semuanya mengingatkan agar jaga diri baik-baik di Semarang. Bahkan mereka meminta saya untuk segera meninggalkan kota yang telah membesarkanku kurang lebih 5 tahun lamanya itu.

“Mending pulang kampung saja, kalau sudah reda baru balik lagi ke Semarang,” kata mereka.  

Saya menghubungi teman-teman Kemazaha yang masih menetap di Semarang. Barangkali di antara mereka ada yang ingin pulang kampung, nanti saya ajak pulang bersama.

Setelah saya komunikasi dengan Ilyas, teman-teman Kemazaha, yaitu Ilyas,  Lunk dan Slank berencana pulang kampung juga, tetapi masalah waktu mereka belum menentukan hari dan tanggalnya. Saya berunding dengan mereka, menetapkan waktu yang sekiranya pas buat mudik. Sory saya bukan ummat yang taat pada MUI yang hendak mengharamkan mudik di tengah menguaknya wabah Corona. Disepakatilah Ahad, 05 April 2020.

“fix tanggal segitu dah ya,” kataku mengedilkan perjanjian.

Entah, keesokan harinya, ketika saya bermain ke kos mereka, berunding lagi, meminta kesepakatan bagaimana seandainya jadwal pulang dimajukan saja. Disepakatilah hari Selasa, 31 Maret 2020. Bukan tanpa alasan kita memilih memajukan waktu. Semarang hendak dilockdown, ekonomi semakin menyusut dan orang rumah pada was-was bin panik bila anaknya berada di zona merah.

“Tak rapah kiah, nyaman makre lekas depak ka roma, keng engkok ghik mateppak ah sepeda,” (Boleh, nyaman juga biar segera tiba di rumah, tapi saya masih mau memperbaiki motor dulu) kata Ilyas.

“Oke dah,” Setelah fix diubah tanggal segitu, saya langsung bergegas menuju ke kontrakan, mencuci pakaian, memberesi barang, menata buku dan memasukkannya ke dalam kardus. Hari setelahnya pakaian sudah kering. Ada yang ketinggalan, saya lupa belum mencuci sepatu yang akan kukenakan saat mudik. Menjelang sore, saya mencuci sepatu, biar lekas kering saya menjemurnya di atas genting rumah tetangga di depan kontrakan yang penghuninya kebetulan sudah pindahan rumah.

Sepatu belum saja kering, tiba-tiba hujan melanda, membasahi sepatu yang baru beberapa jam kujemur, akhirnya alas kaki itu bertambah basah kunyup. Saya tidak kehabisan akal, saya gantung sepatu di hanger dan dijemur di bawah cahaya lampu di dalam kamar. Sambil saya tatap wajahmu sepatu itu, perasaan terasa gusar. Dalam hati serasa ada yang ganjal, tidak timbul perasaan senang sedikit pun sebagaimana perasaan jatuh hati pada wanita orang rantau yang rindu kampung halamannya. Yakin sepatu tidak akan kering jika hanya semalam tersinari lampu, saya telphone Lunk, teman Kemazaha yang kebetulan membuka usaha laundry sepatu di kosnya.

“Barangkali dia punya inisiatif,” fikirku.

“Dijemur di depan kipas angin coba kak, sambil dilap pakai kain,” katanya.

“Oke dah, nanti saya ke kosmu saja, sekalian besok saya berangkat dari sana,”

Sesampai di kos Lunk, saya menjemur sepatu dengan cara dihadapkan tepat ke arah kipas angin milik Riko. Tiba di sana, motor legendnya Ilyas ternyata belum juga menyala setelah tiga hari dibongkar oleh mekanik handal asal Lampung. Padahal waktu sudah pukul 23.00 malam. Dicoba starter berkali-kali, tetap saja motor tua berplat nomor H 4770 SF itu belum ada perubahan; tetap tidak mau bangkit.  Saya bisiki Ilyas, “Biar dah kek, kalau belum nyala kita pulang hari Rabunya gag papa, atau tunggu sampai motormu beres,”

“Iya gag papa juga” jawabnya enteng.

Setelah diusahakan dan dicari akar masalahnya motor buntut itu mulai nyala sekitar pukul 2 malam. Pulang hari Selasa, keesokan harinya pukul 06.00 yang direncanakan hari sebelumnya semakin mantap dan yakin meskipun dalam hati saya merasa ragu dan gelisah.

***********
Selasa pukul 06.00 pagi, kita bersiap-siap tancap gas menuju Jawa Timur. Ilyas menyaranin untuk tidak sarapan nasi terlebih dahulu biar di perjalananan tidak ngantuk. Untuk mengganjal perut, saya membeli roti tawar dan mengolesinya dengan susu coklat lalu dimakan bersama-sama di kos mereka. Setelah setengah jam berkemas dan memberesi barang, kemudian kita berangkat. Ilyas boncengan sama Lunk mengendarai motor legendnya, sementara Slank dan saya mengendarai motor sendiri-sendiri.

Tiba di Kalibanteng, rantai motorku mendadak lepas dari girnya. Terpaksa saya menepi di pinggir jalan guna membenahi rantai motor yang keluar dari tempat berpijarnya. “Ini kok tumben, wong biasanya tidak pernah gitu,” Gumamku dalam hati. Selesai mengembalikan posisi rantai, kita bergegas ke tempat tujuan, diambilah jalur tengah, arah Purwodadi.

Sesampai di alas Purwodadi ada yang aneh, motor yang kutampangi ban belakangnya terasa bergoyang-goyang. Ternyata ban motor belakang bocor yang saya pun belum tahu persis apa penyebabnya. Saya menuntun motor itu hingga menemukan Vulganizir. Selisih setengah kilometer, tempat tambal ban dijumpai, sayang orangnya sedang tidak di rumah. Terpaksa mencari alternatif tambal ban lain. Beberapa jarak kemudian, ada tambal ban di kiri jalan, jaraknya lumayan jauh. Kesel bila saya harus memanjakan motor itu dituntun. Emang motor itu kamu?. Mau tidak mau motor perjuangan itu saya naiki walaupun kondisi ban belakangnya bocor. Tak disangka, penyebab bocornya lantaran tertancap baut tumpul sepanjang 4 cm. Otomatis ban dalam harus saya ganti.

“Untungnya dapat tukang tambalnya di sini, lengkap dengan warungnya, bisa sambil minum dan rokok an” kata mereka.

Setelah menambal ban motor, sebagai orang berpengalaman pulang naik motor ke Jawa Timur, Ilyas memimpin perjalanan, saya di barisan tengah dan Slank berada paling belakang. Supaya lekas sampai ke rumah, kita melaju dengan kecepatan setidaknya 80 km. Setengah perjalanan di wilayah Purwodadi, Ilyas hilang kesadaran, tenyata jalur yang sudah terlewati dipintasi lagi dengan arah yang sama.

“Nunk benni elebeten pole jhelenah,”? (Nunk, bukannya jalannya dilewati lagi)? Kata Slank mengingatkan.

“Wah, saya gag tahu Slank, ikut Ilyas saja,” kata saya, sesampai di persawahan, saya baru sadar kalau jalan yang sekarang kita lewati sebetulnya sudah terlintasi setengah jam yang lalu.

“Iya yah, kita mengulang jalan yang sama,”. Mendapati kekeliruan jalan, saya langsung  mengejar dan memepet Ilyas yang berada cukup jauh di depan.

“Kek, jhelenah tak keleroh,” (kek, jalannya gag keliru), tanyaku.

“enjek, bendher,” (Enggag, sudah benar), Ilyas meyakinkan.

Pertengahan jalan, Ilyas mulai merasa kalau jalan yang sedang dilintasi tenyata sudah dilewati sejak tadi. Sepanjang 25 kilometer kita melewati jalan yang sama alias nyasar. Kita berhenti sejenak, menghela nafas sambil bertanya arah menuju Sragen-Ngawi ke orang di warung pinggir jalan. Setelah ditunjukin arah, kita berangkat lagi kemudian berhenti di Indomaret yang terletak di pertigaan jalan arah Sragen untuk beli minuman dan mendinginkan mesin motor.

Posisi kembali semula, Ilyas dengan motor legendnya mengomandoi laju perjalanan. Sesampai di rel kereta api, Slank yang sedang membonceng Lunk menyalip, mengambil posisi berada di barisan terdepan, dan Ilyas dan saya mengikor di belakangnya. Mendapati Plank Purwodadi yang seharusnya Sragen kita baru sadar kalau Slank salah jalur yang semestinya di rel kereta api ambil lurus, bukan malah belok kiri lurus wae. Dua kali salah jalan, membuat perjalanan tampak semakin jauh, sampai ke tempat tujuan bisa semakin lama.

***********
Sekitar pukul 13.00 an, kita telah tiba di Kabupaten Ngawi. Lewat Ngawi hawanya bikin emosi karena jaraknya lumayan cukup panjang dibanding kabupaten lain yang sudah kita lintasi. Satu jam sebelum memasuki Kabupaten Madiun, Ilyas jauh dari rombongan, berada di depan, saya dan Slank tidak menemukan arah jejaknya. Sesampai di pom bensin Nganjuk, gerimis hujan cukup deras sehingga bisa berakibat basah bila perjalanan diteruskan, terpaksa kita berteduh sekalian mengisi bensin yang diperkirakan sudah mau habis. Lalu saya menghubungi Ilyas melalui aplikasi pesan WhatsApp, pesan itu terbalas setelah kita tiba di perbatasan Nganjung-Jombang.

“Ketemu di selamat datang Jombang dah kak,” kata Ilyas dalam pesan itu.

“Oke dah sip,” Saya, Slank dan Lunk tancap gas menuju Jombang tempat di mana kita berjanjian sama Ilyas. Di sana Ilyas sedang menunggu di Indomaret, sebelum melanjutkan perjalanan Ilyas cerita kalau sorban yang ia kenakan buat pengganti masker melilit ke rantai motornya. Beruntung ia tidak sampai jatuh atau terjadi musibah yang membahayakan dirinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, perut yang sedari tadi sejak berangkat dari Ngaliyan belum terisi sesuap nasi pun perlahan-lahan memberi sinyal patanda lapar, lalu kita berhenti di warung makan di Kabupaten Jombang. Lunk memesan kangkung, Slank pesan ampela ati, saya dan Ilyas memesan penyetan lele.

Perjalanan masih kurang 4 jam an, sehabis makan kita tancap gas lagi melewati dua sisa kabupaten sebelum memasuki Probolingggo, yaitu Mojokerto dan Pasuruan. Di Mojokerto apes lagi-lagi menimpa saya, rantai motor saya kembali lepas di tengah jalan, dicoba pasang berkali-kali, tetap saja rantai motor itu tidak mau melekat di girnya. Pasang lepas, pasang lepas, selalu begitu. Saya harus membawanya ke bengkel, sedangkan waktu sudah hampir pukul setengah 21.00.

Malam biasanya jarang ada bengkel buka, Saya dan Slank menoleh kanan kiri, memantau setiap toko yang terletak di pinggir jalan. “Barangkali ada yang buka,” fikirku. Tetapi setelah diamati, tidak satu pun ditemukan bengkel yang masih buka. Terpaksa saya dan Slank menepi di pom bensin di Mojokerto. Selang berapa menit Ilyas dan Lunk barbalik arah, menyusul saya dan Slank di pom bensin.

Kita berunding di sana, saya saranin Ilyas dan Lunk pulang terlebih dahulu ke Probolinggo, soalnya Lunk keesokan harinya pukul 8 pagi harus naik kapal, pulang ke tanah kelahiran yang telah membesarkan dirinya, Pulau Raas Madura. Kita sepakat, Lunk dan Ilyas balik dahulu, sedangkan Saya dan Slank terpaksa bermalam di pom bensin sambil menunggu bengkel motor buka di keesokan harinya, Rabu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00, saya dan Slank keramas secara bergantian di kamar mandi pom bensin, supaya aman, bila saya yang keramas, Slank yang menjaga barang-barang yang kami bawa, begitupun sebaliknya. Akibat corona, pom bensin jam setengah 00.00 sudah tutup, tidak ada pengendara yang berlalu lalang mampir di pom tersebut, sedangkan karyawannya hanya tersisa 2 orang sedang mondar-mandir kesana-kemari.

Sehabis keramas, kita jagongan di kursi depan supermarket di pom bensin yang sudah tutup. Biar ada penahan ngantuknya, saya beli snack dan minuman di Indomaret yang jaraknya cukup jauh dari tempat kami menepi. Snack jagung goreng dan minuman itu saya nikmati bersama Slank sembari merenung tentang masalah kepulangan kita dari Semarang yang banyak apesnya dengan dihubungkan dengan mitos hari Selasa.

Saya dan Slank kebetulan satu daerah Tapal Kuda, Saya berasal Bondowoso dan Slank di Probolinggo, spesifiknya Kecamatan Paiton. Kurang lebih tradisi kita sama, tentu tidak menutup kemungkinan banyak pula yang berbeda. Salah satu persamaannya terkait hari Selasa. Menurut penuturan orang rumah, Selasa bukan hari yang bagus buat memulai sesuatu atau pergi perjalanan selain hari Jumat. Leluhur daerah kami menyebutnya jika hendak memulai sesuatu yaitu “Nyareh dedinan se mapan,” (Cari hari yang bagus).

Saya tidak mengerti apa maksud hari yang bagus itu dan apa ciri-cirinya sehingga hari tertentu disebut baik sementara hari lainnya disebut tidak baik. Meskipun dulu sempat pernah diajari hitung-hitungan soal hari macam itu, tetapi saya kurang tertarik dan tidak menekuninya. Namun biasanya orang kampung saat hendak memulai sesuatu pasti mencari hari yang bagus dengan cara bertanya ke ahli permistikan atau tokoh agama yang dianggap pakar membidangi masalah tersebut, seperti kapan hari yang bagus memulai panen padi, mengawinkan anak, mengantarkan anak menuntut ilmu di pesantren dan juga saat pergi perjalanan jauh.

Peramalan waktu semacam ini tentu hanya sebatas asumsi subjektifitas yang mungkin juga bersifat lokalitas, tidak bisa dijadikan pembenaran mutlak, dalam tradisi filsafat Kaum Sopies menyebutnya kebenaran relatif atau nisbi. Bisa saja benar dan bisa saja tidak. Tetapi kebanyakan masyarakat kampung sudah terlanjur mempercayai mengenai istilah hari tersebut atau nyareh dedinan yang entah atas dasar apa mereka begitu mempercayainya, sehingga saat mereka hendak melakukan sesuatu apapun yang dianggapnya penting, kepercayaan macam begini tidak bisa dihindari.

Saya dan Slank panjang lebar ngobrol di pom bensin tempat kami berteduh soal hari Selasa yang oleh sebagian masyarakat kita disimbolkan hari kurang baik untuk memulai sesuatu.  Sembari berangan-angan saya mencoba memetik hikmah yang telah kita lalui sepanjang perjalanan.

Waktu sudah hampir menunjukkan pukul setengah dua malam, saya dan Slank istirahat di teras mushollah pom bensin. Agar barang aman, saya rangkul tas dan kalungi tali tas bawaanku. Di sepertiga malam, mataku terbuka, melihat ponsel waktu masih menunjukkan pukul 03.00, saya saksikan Slank yang sedang terlelap tidur lengkap dengan sepatu yang melekat di kakinya.  

“Mungkin dia sedang dingin,” gumamku. Tapi emohhhhhh saya peluk. Heheheh.

Berhubung pagi masih lama, saya melanjutkan tidur sambil menanti adzan subuh berkemundang. Pukul 05.00 lewat beberapa menit, saya dan Slank bangun dari tidur, cuci muka lalu menunaikan ibadah sholat subuh di mushollah, tempat yang kami tumpangi buat tidur. Selesai sholat, kita beli air putih, teh hangat dan roti goreng di pasar rakyat Mojokerto, Kita nikmati hidangan makanan itu untuk mengganjal perut dan menghangati tubuh. Kita memang sengaja tidak sarapan nasi, sarapan nasi bisa cepat ngantuk saat mengemudi kendaraan.

***********
Pukul 08.15 saya ditemani Slank pergi ke bengkel yang jaraknya tidak cukup jauh dari pom bensin, tempat saya menepi semalam. Saya bilang ke abang bengkelnya kalau rantai sekalian girnya diganti saja, berhubung ban depan motor mulai menipis, saya minta biar sekalian pula diganti. Tetapi abang bengkel menyaranin supaya tidak perlu diganti semuanya.

“Tak perbaiki aja ya mas, gag usah diganti, nyampek kok ke rumahnya sampean, insyaallah aman sampai tujuan,” kata abang bengkel dengan logat bahasa Jawa Mojokertoan.

Saya iyakan saja permintaannya sambil berfikir menangkap pesan darinya. “Appa iyya mas, ya sudah kalau gitu bang,”Jawabku. Abang bengkel meminta ongkos hanya 10 ribu buat memperbaiki rantai motorku yang lepas dari girnya.

Setelah motor beres, saya dan Slank melanjutkan perjalanan pulang kampung. Setiba di Pasuruan kami berhenti, mengisi bensin dan mencuci tangan biar tidak tertempel virus Corona selama di jalan. Setiap kali berhenti, saya ingat pesan wanita salah satu temanku, agar tidak lupa mencuci tangan kala berhenti di setiap perjalanan.

Rabu pukul 12.00-an siang, saya berpisah dengan Slank, dia harus belok kanan ke rumahnya, sedangkan saya masih 2 jam lagi agar sampai ke rumah, Bondowoso. Di Kecamatan Buduan arah masuk Bondowoso, saya berhenti sejenak menyantap hidangan bakso plus lontong di kiri jalan. Untuk berjaga-jaga dari virus Corona, masuk keluar warung saya mencuci tangan pakai sabun yang sudah disediakan pemiliknya.

Setelah makan, saya tancap gas lagi. Tiba di rumah pada Rabu sekitar pukul 14.00 an. Turun dari motor, tanpa melepas pakaian dan helm yang saya kenakan, saya langsung menuju kamar mandi. “Ummi, Bu Dhe, cium tangannya nanti setelah mandi,” kataku dari bilik kamar mandi sambil membilas air ke tubuh. Saya keramas, mengusap sabun sebanyak 3 kali ke badan, terus berulang-ulang sekiranya bersih, wangi dan bebas dari noda atau virus.

Setelah tulisan ini dipublish, saya menyatakan JERA bila perjalanan jauh mengendarai motor lagi, lelahnya bukan main, tubuh terasa remuk, lengan pegel dan leher keselnya minta ampun. Sekian curhatan online dari saya.
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se