Selama berproses di Justisia sebenarnya terlalu singkat bila diceritakan
dalam seberkas catatan pendek ini, begitupun menggambarkan sosok Fadli
Zon Amin
Rais, Pimpinan Umum yang baru saja kemarin lengser dari Rais Syuriah
jabatan tertinggi di Justisia.( 30 Desember 2019) Jabatan yang diperebutkan
oleh banyak anggota, maksudnya berebut menolak.
Saya lupa kapan berkenalan dengan anak tunggal kelahiran Kebumen ini. Dalam
intraksi dengannya itu, setidaknya saya dapat membaca karakter dia dalam
berbagai dimensi, tentu dengan kacamata secara subjektif saya pribadi.
Dimensi yang melekat padanya itu setidaknya saya menemukan beberapa ruang.
Ia sebagai pemimpin dan seneor saya di organisasi, ia sebagai teman, ia
sebagai motivator dan ia sebagai Fadli Rais saja.
Saya bergabung di Justisia pada 2016, masa itu saya nututi 3 kepemimpinan
Mbak Wilut, Mas Jaedin dan terakhir Mas Fadli Rais. Setiap pemimpin punya
pola dan gaya masing-masing dalam mengomandoi kapal organisasi kemana
hendak berlabuh. Walupun berbeda gaya dan pola, tetapi visi dari ketiganya
sama yaitu untuk membangun organisasi agar tetap sehat. Itu yang mereka
usahakan. (matur nuwun mas mbak)
Perbedaan pola dan gaya adalah hal wajar dalam teori leadership,
semua itu salah satunya tergantung dan menyesuaikan pada kondisi, zaman dan
tantangan yang dihadapi. Bicara membangun organisasi berarti berbicara
membangun dan membangunkan orang-orang yang menetap di dalamnya.
Sebagai nahkoda, seorang yang memiliki nama bermakna “Keutamaan Seorang
Pemimpin” ini tidak segan meminta pendapat pada bawahannya terkait
kepentingan organisasi apapun itu baik soal sepele atau besar. Entah kepada
bawahannya, pengurus di sekelilingnya maupun kepada kader sekalipun mereka
masih duduk di kursi magang. Selain itu, tentu masih banyak yang menarik
untuk ditulis sebenarnya he. Selanjutnya ia sebagai seneor saya.
Sebagai seneor, ia tidak pernah meletakkan gengsi dalam bergaul bersama
kadernya atau adik-adiknya, pun tidak pernah menunjukkan sikap seneoritas
dengan segala relasi kuasanya. Dalam mendidik kadernya pun tidak pernah
pandang bulu asal nomor disave dan kelihatan gerak-geriknya dalam kegiatan,
pasti kondisi dan aktivitas kadernya selalu ia tanya dan pantau. Darinya
saya diajari banyak hal, mulai dari wawancara, menulis berita, artikel dan
lain sebagainya meskipun sejauh ini tulisan saya masih sangat tampak
ecek-ecek. Kemudian saya membaca Fadli
Zon Amin
Rais tidak lain sebagai teman.
Pertemanan saya dengan lelaki yang punya akun twitter bernama Pengepul
Bakteri ini memang sebelum saya bergabung di Justisia, entah itu kapan saya
lupa, intinya saya cuma sebatas kenal tidak lebih. Dalam menjalin intraksi
dengan teman-temannya termasuk denganku, ia pandai mengatur irama dan
memancing obrolan dengan siapapun orang yang diajaknya bicara. Ketika
intraksi sama orang jenis A, B, C dan seterusnya, topik yang
diperbincangkan pun bisa saja berbeda. Dan banyak lagi kalau dirinci satu
persatu.
Poin ketiga saya mengenal lelaki yang berpenampilan sangat sederhana ini,
sengaja saya mengenangnya sebagai motivator. Motivator yang bukan hanya
bermodal bacot, tetapi dari laku yang kerapkali ia praktikkan, yaitu
tentang keulesan ia dalam menulis dan kekuatan ia dalam membaca, membaca
apa saja, buku, berita, informasi dan pembacaan ia pada situasi yang cukup
peka dan tajam. Laku itu yang membuat saya selalu termotivasi untuk
berusaha melakukan hal serupa. Tidak berlebihan saya kira, bila nama profil
dinding facebooknya ia namai “Fadli Rais Membaca dan Menulis”.
Terakhir ia sebagai Fadli Rais seorang manusia, mungkin itu saja.
Selebihnya kalau anda bergumam dalam hati “Kok tidak ada kekurangannya” ya
kalau saya menyebutkan kekurangannya, nanti larinya ke arah ghibah. Ghibah
jelas dilarang dalam agama dan tidak sehat demi pri kemanusiaan.
Terimakasih mas Fadli Rais atas didikannya selama berproses di Justisia dan
mohon maaf bila belum sempurna dalam membantu di roda kepengurusan kemarin.
Komentar
Posting Komentar