Gema takbir dikumandangkan disetiap menara – menara masjid oleh
umat muslim seluruh dunia tatkala menyambut hari raya Idul Adha, lampu yang
gemerlap terang mencolok menyinari jalan dan tempat berteduh seorang lelaki
bernama Mustofa di Ibu Kota Jakarta, yang sudah sekian lama tak lebaran
dikampung halamannya bersama keluarga, saudara, handaitolan, tidak lupa, tak
bersama kekasih disampingnya.
Mustafa merasa sedih dan terharu ketika suara takbir semakin
kencang dan merdu tergema ditelinganya, apalagi saat membuka ponsel yang setiap
saat status dari temannya banyak yang menampilkan gambar dimoment bahagia
bersama keluarga.
Rumah kontrakan yang disewa bersama 7 rekannya, kian hari kian sepi
hanya sisa Mustafa dan Abdul Hamid pelajar asal lamongan yang H-1 akan pulang
juga kerumah saudaranya di Bekasi, Hamid mengajak Mustafa untuk berlibur
kerumah saudaranya itu.
“Must, ayo ikut aku kerumah budeku, dari pada kamu disini
sendiri,”? ajak Hamid
“Tidak mid, biar aku disini saja sendiri, sama saja mid, kalau aku
kesana, tak bisa mengobati rinduku pada keluarga dan kekasih dirumah,” Mustofa
menolaknya.
“Owh iyya sudah kalau begitu, jangan lupa ya Must, kalau mau kemana
– mana pintu rumah dikunci, sekalian barang – barangku kau Amankan, kalau semitsal
ada yag kotor pakaianku, kau cucikan, biar sedikit menambah pahala dihari raya
ini heheh,” ledek hamid pada musthofa
Musthofa hanya diam termenung, tak melawan guyonan hamid, rupanya
rasa sedih tak mampu mengalahkan bahak tawa si Hamid.
Diujung malam, warga sekitar pada terlelap tidur, hanya suara
kendaraan yang terdengar begitu kencang, dan angin malam yang bersepoi – sepoi
menyelimuti kehangatan untuk mengajak bersahabat dengan musthofa.
Bukan tak ada alasan Mustofa tak pulang kampung merayakan hari raya
dirumah bersama keluarga, tapi karena tuntutan mencari ilmu yang jaraknya cukup
begitu jauh untuk ditempuh. fikir musthofa, dari pada uang habis buat beli
tiket menuju kampung Ranu Segaran Kabupaten Lumajang, lebih baik buat beli buku
sebanyak mungkin selain untuk menambah bekal pengetahuan, juga untuk mengisi
kekosongan waktu dikontrakan tempat dimana ia tinggal sendiri kali ini.
Meskipun tak pernah pulang, namun musthofa tak pernah lupa untuk
meluangkan waktu memberi kabar keluarga dirumah, apalagi di era globalisasi
yang begitu canggih dan pesat perkembangan tekhnologi, semua dengan mudah, cukup
ditelp saja, sudah mampu meredakan rasa kangen yang begitu menggebu – gebu dihati
mustofa akan kampung halaman yang masih
permai nan asri tak dibangun pabrik - pabrik atau bangunan cakar langit seperti
kota dimana ia tinggal sekarang yang kian hari meminggirkan mayarakat miskin,
dan menumpas kehidupan petani yang semakin hari akan hilang tanah
pencahariannya akibat ulah kerakusan tangan pemodal yang membangun apartemen
menjulang tinggi hanya untuk kepentingan pribadinya.
Meskipun alat tekhnologi yang begitu membantu untuk menghubungi
keluarga dirumah, namun musthofa tak melepaskan kebiasaan menulis surat lalu
mengirimnya kepada kekasih selama ia mendekap dipenjara suci pondok pesantren
“Qolbun Salim” didaerah Pasuruan, dimana ia pertama kali mengenal kekasihnya,
melalui tinta hitam yang ditulis dengan jemari tangannya, karena baginya,
untaian kata yang ditulis melalui sebuah pena lebih mengalir alur cerita yang
tertanam dibenaknya, yang mau disampaikan tiba – tiba keluar dengan sendirinya,
seakan – akan ada gerak gaya grafitasi. Dari pada menulis memakai papan ketik
yang siap sedia komplit bersama layar kacanya yang disebut Komputer.
Ia menulis surat kepada kekasihnya…
“Assalamualaikum dinda..
Sudah lama sekali kita tak berjumpa, sejujurnya aku ingin sekali
merayakan hari raya dirumah bersama ayah – ibu, dan tak lupa bersamamu wahai
kekasih. Tapi sayang, bukan saat nya kita dipertemukan dimoment yang fitri ini,
namun inshallah cintaku tetap fitri kepadamu wahai kekasih. Bertahun tahun
lamanya, kita hanya mengungkap rasa belas kasih, cinta dan sayang melalui pesan
suara yang kau ucapkan melalui telp genggammu begitupun aku, melalui pesan
tulisan yang kau tulis begitupun yang kutulis, dan melalui doa yang setiap
malam kau panjatkan disetiap sujud malammu untuk berharap medapat cinta yang
sejati yang kekal abadi yang diridhoi Rabbi.
Dinda, ditempat yang kupijak sekarang ini, kalau boleh berkata
jujur, banyak godaan yang terkadang melemahkan imanku, banyak wanita cantik
menawan hinggap didepan mata, mulai dari wanita yang berbodi seksi, hingga
bahenol sekalipun, lelaki siapa tak mau memandang kalau tubuh itu sudah berada
didepan mata. tapi meski begitu, tak mengurangi rasa cintaku kepadamu meski
dapat dibilang menyaingi kecantikan yang kau miliki. Mulai dari wanita berpakaian
kekurangan kain hingga pantat dan payudaranya seperti barang dagangan yang
diobral kesana kemari seperti jajahan tahu bulat digoreng lima ratusan, hingga
dari wanita yang menutup kain seluruh tubuhnya yang tak mengalahkan ninja yang
menurutnya sunnah Rosul ia lakukan. jujur, sama sekali tak membolak balikkan
hatiku untuk berpaling darimu. Ini sejujurnya ku katakan, apapun pakaiannnya
yang penting menutup aurat menurut pandangan masyarakat jawa, lebih – lebih
adalah ketaqwaan yang patut dinomor satukan kekasih.
Sekarang kita berpisah, mungkin suatu saat nanti kita dipertemukan
kembali untuk membangun dan merintis cinta suci.
Sekarang kita berjauhan tempat, harapan suatu nanti, kita dapat
berteduh dibawah atap yang sama,
Aku tak memiliki apa – apa untuk diberikan kepadamu sebagai
supraize kado special dihari ulang tahunmu nanti, yang ku punya hanya satu
yaitu ilmu dan cinta, bahwa aku tetap mencintaimu meski ditempat sana banyak
wanita yang menarik perhatianku”
Jumat, 01 Agustus 2017
Inunk Ainul Yaqin
Komentar
Posting Komentar