Langsung ke konten utama

filsafat hukum islam




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluq yang bersosial dengan manusia lainnya tentu perlu adanya tata tertib atau peraturan yang disebut hukum, supaya dalam bertransaksi satu sama lainnya tidak ada yang dirugikan hak dan kewajibannya.  Adagium mengatakan dimana ada masyarakat disitu ada hukum. baik hukum positif, adat, ataupun hukum islam.
Seiring dengan perkembang zaman, hukum islam yang dijadikan aturan bagi umat muslim perlunya untuk disesuaikan dengan kondisi manusia saat ini, namun bukan berarti merubah teks tersebut diganti dengan teks yang baru. Melainkan menelusuri makna yang tersirat dibalik teks tersebut. untuk mencari makna yang terdapat didalam tek tersebut. dibutuhkan pendekatan hukum dengan filsafat. Secara otomatis, dengan pendekatan filsafat dibutuhkan akal untuk meng interpretasi dan menggali makna dibalik teks tersebut. karena berfilsafat  sendiri esensinya mencari kebenaran atau mencari makna sedalam – dalamnya dibalik sesuatu maka dibutuhkanlah peran akal.
Begitu juga dalam filsafat hukum islam, sebenarnya sedikit perbedaan antara filsafat hukum dan filsafat hukum islam, tapi yang jelas, kalau filsafat hukum islam dilihat dari sumbernya bersumber pada al qur’an dan as-sunnah. Oleh karenanya dalam mencari makna dibalik sumber tersebut, terbatas pada teks suci. Pada makalah ini akan dibahas menganai karakteristik hukum islam sebagai langkah menuju pendekatan hukum dengan filsafat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Aspek syariah yang berubah dan yang abadi ?
2.      Hukum islam ada diantara :
a.      Revelation and reason
b.      Stability and change
c.       Otoritarianisme and liberalisme
d.      Moral and legal

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Aspek – aspek syariah yang berubah dan abadi
Syariat adalah hukum ketuhanan, baik mengenai sumber ataupun dasarnya. Karena inilah maka dalam masalah perubahan hukum berhubungan dengan keadaan tempat, waktu, dan kepentingan. Banyak para imam madzab diantaranya Ibnu Qoyyim,  Al izz Abdus salam yang menulis karangan karangan mengenai teori hukum islam dan tujuannya, seperti prinsip kemaslahatan dan mengenai sebab musabbab yang yang didasarkan pada syariat. Dari sudut ini mereka membagi dalam dua besar. Ibadah dan muamalah.S kalau dalam aspek ibadah kita tidak perlu memerankan akal dalam melakukan interpretasi terhadap teks. Berbeda dengan muamalah tentang keduniaan duniawi yang justru memerankal akal dalam memandangnya. Karena itu menyangkut tentang kemaslahatn hambanya. Sesuai dengan tujuannya yaitu menarik kemanfaatan dan menolak kemafsadahan yang merugikan kepentingannya. Dengan berbicara syariat ini menarik apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qoyyim syariat dasarnya hikmat dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Syriat itu keadilan, rahmat dan sepenuhnya setiap masalah yang keluar dari keadilan adalah keadilan dan keonaran.
Adanya hukum pada nash didalam syariat, bukan tidak lahir karena tidak ada illat alasannya, begitu juga yang disampaikan Al Alai, apabila berakhirnya alasan pada hukum tersebut, maka berakhir pula ketentuan hukumnya. Salah satu contoh aspek yang berubah dalam risalahnya bahwa guru zaman permulaan islam menerima hadiah lumayan besarnya dari masyarakat. Abu hanifah dan kedua orang sahabatnya tidak membolehkan mengajar al qur’an dengan memungut upah.. akan tetapi setelah keadaan berubah dimana guru guru sudah lagi menerima hadiah. Suatu contoh lagi dalam hukum pidana pencurian, bahwa seorang baik laki laki yang mencuri , maka humannya dipotonglah tangannya. Hal ini yang pernah dipraktekan pada zaman Rosulullah. Namun pada masa Umar Bin Khottab, pernah menggugurkan hukuman tersebut pada suatu tahun terjadinya kelaparan, yaitu atas alasan darurat, alasan kepentingan, dan alasan menghidupi jiwa orang.[1] Dalam hal ibadat, maka hukum tersebut tidak mengalami perubahan (abadi), sampai kapanpun hukum yang menyangkut ketuhanan atau ibadah tetap selamanya abadi. Sedangkan hukum yang menyangkut muamalah keduniaan, bahwasannya hukum tersebut tidak lagi abadi, melainkan menyesuaikan dengan keadaan, perubahan zaman dan waktunya. Dan disinilah maksud aspek syariah yang tidak abadi (berubah)
2.      Pemahaman hukum islam diantara karakteristiknya.
Dalam pembahasan filsafat hukum islam terdapat 3 kata yang perlu dimaknai sebelum membahas apa itu filsafat hukum islam dan bagaimana karakteristiknya. Pertama filsafat merupakan bahasa yunani dari kata philoshopia atau philenshopias. Dari kata philo yang artinya cinta dan shopia yang artinya kebijaksanaan. Dalam literatur bahasanya dapat difahami, bahwa fislafat adalah mencari kebenaran. Dengan mencari kebanaran maka peran akal sangat signifikan untuk mencari kebenaran. Kemudian hukum. sebenarnya tidak ada habisnya untuk mendefinisikan apa itu hukum. salah satunya menurut Han kelsen bahwa hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku manusia dan kaidah primir yang menetapkan sangsi. Adapun menurut sarjana Indonesia SM Amin SH mendefinikan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sangsi.[2] Namun secara luasnya bahwa hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan.[3]lalu hukum islam atau hukum syariah menurut ulama ushul fiqh abdul Wahhab Khollaf, hukum adalah khitobnya Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf baik tuntutan, pilihan, dan kondisional.[4]
Adapun  filsafat hukum menurut Soejono Dirdjosisworo adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau Negara tentang hakikat ciri – ciri landasan berlakunya hukum.[5] namun dalam hukum islam atau syariah yang dibutuhkan dalam pendekatan filafat, yaitu tidak keluar dari otoritatif teks tersebut. karena secara sumbernya hukum islam bersumber pada hukum tuhan yang dinobatkan untuk menuntun umat manusia menuju jalan damai di dunia dan bahagia dihari kiamat. Oleh karena itu berbeda hukum islam dengan hukum positif yang dibuat oleh manusia sendiri. Pada pokoknya, syariah merupakan pernyataan Tuhan dan usaha untuk menegakkan perdamaian dimuka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang.[6] Jadi, perintah dan keadilan merupakan tujuan mendasar syariah. Hukum islam menurut Noel J Coulson berada diantara:
a.    Revelation and Reason (wahyu dan akal)
Dalam memahami hukum islam  terjadi pertentangan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Kelompok pertama memandang dengan pendekatan subjektifisme tesistik dan kelompok kedua memandang dengan objektivisme rasionalistik. Kelompok pertama cenderung untuk mengambil posisi melihat hukum sepenuhnya beriontasi ilahiyyah yang dibakukan dalam kata kata yang dilaporkan dari nabi berupa al qur’an dan assunnah. yaitu dengan mengambil hukum apa adanya sesuai dengan apa yang tertera didalam teks. Selanjutnya kalau metode yang kedua, lebih kepada analisis teks, indikasi ataupun eksplikasi(bayani). Berkaitan dengan metode ini Al Jabiri menjelaskan dalam Takwin Al Aqla Al Arabi bahwa sistem epistemologi bayani yang murni berangkat dari gaya penalaran arab yang tidak dimiliki oleh budaya atau peradaban lain. Al jabiri menjelaskan bahwa epistimologi bayani dibangun atas dua dasar prinsip. Pertama, prinsip diskontinuitas (keterpisahan), dan kedua, prinsip kontingensi(kemungkinan).[7]
Penetapan hukum islam, selalu dikaitkan dengan dalil. Yang dimaksud dalil adalah sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dicari. Petunjuk itu secara dasarnya ada dua yaitu manqulah dan ma’qulah atau kembali kepada dalil naqli dan dalil aqli. Keduanya harus bisa berjalan beriringan dalam penetapan hukum islam. Menurut As Syatibi Dalam upaya memahami konsep dalil menurut As Syatibi membagi dalil ada 2 . yakni kembali kepada naqli semata mata dan kembali kepada ra’yi semata mata. Pengelompokkan ini hanya dipandang dari segi sumbernya yang muncul. Sebab keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Naqli membutuhkan pemikiran, sedangkan pemikiran tidak akan dapat diakui, apabila tidak disandarkan kepada naqli.[8]
Hubungan nash dengan akal, sebagaimana dikatakan bahwasannya nash adalah sumber mutlaq dari tuhan, meskipun demikian, nash diaplikasikannya terhadap kehidupan mayarakat. Sehingga ketetapan hukum perlu untuk melihat keadaan yang dihadapi, dalam menghadapi. inilah akal dapat memberikan peran untuk meng interprestasi apa yang dimaksud oleh nash tersebut. Menurut As Syatibi, dalam hukum islam jika membicarakan hubungan antara  nash dan akal, menurutnya dalam proses hukum dan pencariannya wahyu dalam bentuk nash harus digunakan bersamaan dengan akal. Bagi As Syatibi penemuan hukum melalui akal harus ada konfirmasi dari nash nash yang bersifat universal dan mengandung universal. Penerapan hukum haruslah bersama sama antara akal dan nash. Karena keduanya saling keterkaitan dalam memahami hukum islam.[9]
Coulson mengajukan antara revelation and reason/ wahyu dan akal, menurutya hukum Islam bisa dipandang sebagai hukum Tuhan dan hukum produk para ahli hukum sekaligus. Wahyu mewakili faktor konstanta dan akal manusia mewakili faktor perubahan (variabel) dan fluktuasi dalam yurisprudensi Islam. Agen yang berperan dalam mengkombinasikan dua aspek tersebut adalah para ahli hukum Islam (mujtahid).[10] Para mujtahid memiliki kapasitas untuk mengetahui hukum dan bagaimana hukum dijabarkan, ditafsirkan, dan diterapkan. Otoritas tersebut menggabungkan di dalamnya kekuasaan agama, moral, sosial, dan hukum sekaligus.
b.   Stability and Change. (Stabilitas dan Perubahan)
Prinsib stabilitas dan perubahan ini, menurut Coulson yang disampaikan oleh Akhwan Fanani mendasari prinsip yang lain selain hukum dan moralitas, yang banyak mendapat perhatian dari ahli hukum islam demi memenuhi kebutuhan. Substansi hukum Islam berevolusi melalui prosedur hukum yang diadopsi dari prosedur hukum Barat untuk kebutuhan administrasi dan peradilan. Persinggungan dengan hukum barat juga mengubah secara evolutif substansi hukum islam. Ada perbedaan esensial antara filsafat hukum islam tradsional dan modern. Kalau filsafat hukum islam tradisional, praktek dan institusi sosial memperoleh pengesahan melalui dukungan positif wahyu. Sedangkan yang kedua dukungan itu terletak dari tidak adanya larangan dari wahyu.[11]. seiring dengan perkembangan zaman, turut pula mempengaruhi pada perubahan kondisi sosial, dengan demikian stabilitas hukum perlu untuk menjamin dalam menanggapi perubahan sosial tersebut.
Jika hendak mereaktualisasikan ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum, khsusunya dalam bidang fiqih, maka kita harus mendominasikan akal ketimbang wahyu. Apalagi hal itu menyangkut pada persoalan masyarakat. Hukum diturunkan untuk masyarakat, oleh karenanya stabilitas hukum, dalam penerapannya bergantung pada keadaan masyarakat.[12]perubahan dalam masyarakat, hukum perlu dikembangkan untuk merelevankan dalam bersemayam dengan mayarakat itu sendiri.
Dengan perubahan keadaan sosial masyarakat, dibutuhkan pemahaman terhadap hukum islam. Pemahaman hukum islam ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu hukum islam yang berdimensi ilahiyyah dan berdimensi insaniyyah, yang kedua ini perlu pemahaman yang sungguh sungguh yaitu melalui dua pendekatan. Pendekatan kebahasaan dan maqosid. Dalam hal ini, produk hukum digali dalam ber ijtihad guna meng istimbat hukum.[13] oleh karenanya dalam pemikiran yang ditawarkan oleh Coulson bahwa hukum bukanlah sekedar norma statis yang menjamin dan menertibkan, melainkan dapat mendinamiskan pemikiran untuk merekayasa tingkah laku masyarakat sesuai kemaslahatan. Begitupun Dr. Ahmad Zaki Yamani yang mengemukakakan pendapatnya tentang hukum dalam munculnya masalah yang baru, beliau berpendapat bahwa Negara itu dapat menerapkan hukum penyelesaian baru bagi masalah baru, dengan mengambil cara penyelesaian itu dari prinsip-prinsip umum syariah dan mementingkan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat.[14]pandangan beliau meng isyaratkan bahwa ke stabilitasan hukum perlu untuk menaggapi perkembangan/perubahan kondisi sosial masyarakat.
c.    Otoritarianisme and Liberalisme
Dalam memandang hukum islam yang berada diantara otoritarianime dan liberalime, akademisi barat mengalami kesalah pahaman dalam memandang mengenai kerja hakim. Menurutnya, hakim dalam menggali hukum terbebas dari aturan yang menjadi landasan(bebas). Namun berbeda dengan Noel J Coulson, ia berpendapat bahwa sebenarnya hakim dalam Islam terikat dengan aturan yang dipahami dari hukum Allah. Persoalan sebenarnya dalam hukum Islam, menurut Coulson, bukan terletak pada tidak adanya aturan yang membimbing, melainkan terletak pada ketegangan antara kebebasan individu dan otoritas yang mengikat.
Pada awal perkembangan hukum Islam, setiap ahli hukum Islam memiliki kemerdekaan untuk melakukan penelitian mengenai hukum Islam (berijtihad). Pada perkembangannya muncul pembatasan-pembatasan karena : pertama, berkembangnya teori hukum yang memberikan batasan orang bisa melakukan ijtihād dan kedua, munculnya pengelompokan para ahli hukum ke dalam mazhab-mazhab hukum.[15] dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, hakim terikat dengan keotoritirianisme madzab hukum. para ahli hukum sendiri tidak lagi menafsirkan al qur’an dan hadist secara mandiri, melainkan terikat untuk bertaqlid kepada otoritas pendiri madzhab. Penalaran bebas yang menjadi karakter ahli hukum awal perkembangannya berubah pada otoritarianime madzhab hukum.
Sintesis antara kebebasan individu dan otoritarianisme mazhab tersebut terjadi dalam legislasi dan peradilan di negara-negara Muslim modern. Para ahli hukum mencoba memecahkan otoritarianisme mazhab melalui rujukan langsung terhadap al-Qur’an dan Hadits dengan tidak menentang secara langsung otoritas mazhab. Model eklektis (talfiq atau takhayyur) digunakan untuk mencari pilihan hukum yang lebih baik berdasarkan argumentasi teks al-Qur’an dan Hadits.[16]
d.   Moral and legal.
Membicarakan legalitas atau hukum dan moral merupakan satu kesatuan yang ber implikasi pada kedudukan hukum itu sendiri. Disini akan dibahas mengenai hukum ketika berada diantara legal dan moral. Legalitas menurut Immanuel Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidak sesuaian samata mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka.  Sedangkan moralitas dalam pandangan Kant dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban kita. Kant disini membagi moralitas menjadi 2. Pertama, moralitas heteronom, memaknai bahwa kewajiban ditaati bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan sesuatu yang lahir dari kehendak pelaku. Kedua, moralitas otonom, digambarkan kesadaran manusia dalam mentaati peraturan tersebut. karena diyaqini sebagai sesuatu yang baik[17].manusia yang bertindak baik berdasar pada otoritas kesadaran pribadi dan bukan atas pengaruh dari luar manusia[18]. Dalam artian, bukan karena takut teradap pemberi hukum. dalam memandang hukum dan moral, sangat kaitan di antara keduanya. Berbeda dengan madzab positivisme yang menantangnya, bahwa hukum harus dipisahkan dengan moral.
Dalam masyarakat Barat, meski terdapat demarkasi antara hukum dan moralitas, namun demarkasi tersebut terkadang tidak tegas. Perdebatan yang muncul di kalangan ahli hukum Inggris, misalnya adalah apakah hukum harus mendukung moralitas masyarakat atau tidak. Dalam hukum Islam, demarkasi antara hukum dan moralitas sejak awal lebih tidak jelas. Hukum Islam mencakup wilayah-wilayah yang dalam pandangan hukum modern termasuk hukum publik dan hukum privat, sekaligus mencakup nilai ritual, moral, dan etika. Hal-hal yang tidak termasuk dalam moral, sedangkan termasuk pada wilayah hukum. Coulson mencohtohkan hubungan kelamin asal suka sama suka dalam hukum barat tidak ada aturan hukumnya, sedangkan pada hukum islam termasuk katagori pidana.[19]
dalam Islam, hukum dan moral tidak punya perbedaan yang jelas karena hukum dan moral itu sendiri sangat berkaitan satu sama lain dan keduanya sama-sama berfungsi menjaga keutuhan, kestabilan, keamanan dan berupaya menciptakan kedamaian dan kemaslahatan di t-engah-tengah masyarakat muslim sehingga keduanya sangat sulit dipisahkan serta saling mempengaruhi.[20]






BAB III
PENUTUP
Dari paparan yang ada dalam makalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam syariat, ada aspek yang abadi dan aspek yang berubah. Aspek syariah yang abadi yaitu berkenaan dengan ketuhanan atau ibadah. Sedangkan aspek yang berubah yaitu yang berkenaan dengan muamalah. Dalam penetapan hukum khususnya dalam bidang malam tidak lepas dengan tanpa adanya alasan. Jadi apabila hukum tersebut taka da lagi alasan, maka berakhir pula hukum tersebut.
Hukum dibuat untuk diperuntukkan kepada manusia, baik itu hukum adat, positif ataupun hukum islam. Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman dapat memberikan ruang bagi hukum untuk menyesuaikan dengan keadaan masyarakatnya. Agar hukum itu tidak kaku dengan ketekstualnya. Untuk memahami hukum yang menyesuaikan dengan ruh manusiaanya dan keadaannya, dibutuhkanlah pendekatan filsafat untuk melihat makna yang tersirat dibalik teks tersebut. diatas sudah dijelaskan bahwa hukum itu menurut Noel J Coulson menjelaskan bahwa hukum islam tersebut berada pada akal dan wahyu (revelation and reson) stability and change dimana selain hukum itu berstabil dengan hukum itu sendiri, namun juga menyeuaikan dengan perubahan keadaan sosialnya. Selanjutnya otoritarianisme and liberalism, bahwa hukum bukan hanya terikat pada keotoritasan teks tersebut, melain menggali hukum dengan mengistimbatul hukmi dengan ijtihad. Dan yang terakhir hukum islam berada pada legalitas dan moralitas. Dimana hukum bukan sekedar norma aturan yang bisa dipandang secara dhohir saja. Melainkan juga kepada moralitas.
Dari paparan makalah ini, apabila ada kesalahan baik dalam segi penyampaian ataupun perangkaian makalah ini, kami mohon maaf yang tiada batasnya. Tentunya manusia sebagai makhluq tuhan juga yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, untuk menutupi kesalahan tersebut, kami mohon kritik dan saranya para pembaca guna membenahi kesalahan yang telah penulis lakukan. dalam penjelasan yang begitu singkat ini, semoga dapat hal yang kita petik untuk menambah pengetahuan dalam terus semangat mencapai ridhonya dan menjadi manusia yang lebih baik dari pada sebelumnya. Karena pepatah mengatakan” sungguh beruntung orang yang hidup jika lebih baik dari sebelumnya”
 inunk ainul yaqin
mahasiswa fakultas syariah hukum uin walisongo semarang



[1] .Sobhi Mahmassani. Filsafat Dalam Hukum Islam. Bandung : PT Al maarif. 1977 hal 158-167
[2] C.T.S. Kansil. Pengantar ilmu hukum dan tata hukum indonesia. Jakarta. Balai pustaka. 1983
[3] Muhammad Muslehuddin. Filsafat hukum islam dan pemikiran orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991 hlm13
[4]  Abdul Wahhab Khollaf . Ilmu ushulul fiqhi. Al Haromain.2004 Hlm 100
[5] Teguh Prasetyo dan Abdul Karim Barkatullah Filsafat, teori dan ilmu hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo 2014 hlm 8
[6] . Muhammad Muslehuddin. Filsafat hukum islam dan pemikiran orientalis.  hlm 77
[7] .Muhammad Syukri Al Bani Nasution. Filsafat hukum islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2014 hlm 161-162
[8] . Duski Ibrahim. Metode penetapan hukum islam(membongkar konsep al istiqra’ al ma’nawi as syatibi).yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. 2008 hal 82
[9] . Duski Ibrahim. Metode penetapan hukum islam(membongkar konsep al istiqra’ al ma’nawi as syatibi). 2 hal 98-102
[10] . Ahkwan fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap rumusan dealiktika hukum islam. file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[11] Ahkwan fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap rumusan dealiktika hukum islam.  file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[12] Hamzah fak. Syariah dan hukum UIN Alaudin makasar.Konflik dan ketegangan dalam hukum islam antara stabilitas dan perubahan file:///C:/Users/PC/Downloads/1481-3038-1-PB.pdf
[14] .Nurcholish Majid. ISLAM doktrin dan perdaban. Jakarta:  Graha Pramadina. 2008. Hlm IXXVI
[15] . Ahkwan fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap rumusan dealiktika hukum islam.  file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[16] . Ahkwan fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap rumusan dealiktika hukum islam.  file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[17] .Soekarno dkk. Filsafat Hukum teori dan praktik. Jakarta : KENCANA. 2013 hlm 151-154
[18] Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2009 hlm 73
[19] Akhwan Fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap rumusan dealiktika hukum islam. file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[20] Muhammad Faisal hamdani. Hukum Dan Moral analisis terhadap pemikiran Noel J Coulson. file:///C:/Users/PC/Downloads/artikel(1).pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genap Setahun Pengabdian

  Tepat 1 Februari 2022 lalu, saya memulai pengabdian di YIMA Islamic School setelah melewati rangkaian test dan prosedural sesuai ketetapan lembaga sebagaimana yang juga diberlakukan terhadap calon pegawai yang lain.   Bergabungnya saya di YIMA diperkarsai perintah salah satu orang yang perintah dan larangannya harus saya patuhi sehingga saya tidak berbuat banyak menanggapi hal tersebut. Padahal di waktu bersamaan saya menerima pemprosesan di salah satu tempat di Surabaya dan proses penerimaan di salah satu lembaga di Sidoarjo. Saya pun melewati rangkaian tahap demi tahap hingga sampai pada proses yang hampir mendekati final. Saya hanya berkesimpulan, di manapun insyallah jalan terbaik. Namun orang yang memerintah saya itu bersikukuh meminta saya untuk tinggal di Bondowoso setelah merantau selama hampir 12 tahun lamanya di kota orang, akhirnya YIMA yang saat ini saya berada di dalamnya menjadi pilihan. Dengan ridho seorang itu, akhirnya saya meyakinkan hati untuk memulai penge

Bagaimana Berkomunikasi ?

  Saya menganalisis dan mengutip beberapa bagian hasil pelatihan skill komunikasi tempo lalu yang saya coba kerucutkan menurut analisis saya sendiri, paling tidak dalam konteks yang secara pribadi saya alami sebagai makhluk sosial.   Sengaja saya mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana Berkomunikasi?” Sebab dalam berkomunikasi dengan siapapun, kita akan berhadapan beragam hal, situasi, kondisi, lawan bicara yang beragam karakter, mood komunikan, bahasa, kultur, waktu, tempat atau hal kompleks yang lain, sehingga yang kita butuhkan adalah mode dan cara komunikasi apa yang sebaiknya diaplikasikan menghadapi kejadian apapun dengan siapapun.   Maka tidak ada yang baku dan permanen suatu mode komunikasi diterapkan pada kasus tertentu. Sehingga menurut saya, mode dan cara berkomunikasi belum tentu bisa diterapkan secara sama pada kejadian maupun kasus yang serupa, apalagi berbeda terhadap orang yang berbeda pula. Seperti halnya pancingan respond saya terhadap kelompok

MENJADI GURU

Sehari sebelum tanggal peringatan hari guru nasional 2023, beberapa siswa datang ke saya mengutarakan permohonannya untuk merayakan hari guru bersama guru di kelasnya masing-masing. Saya tidak bertanya banyak perayaan seperti apa yang direncakan anak berusia kelas SD tersebut untuk mengenang moment hari guru itu. Saya hanya menimpali pertanyaan kepada mereka. Kapan pelaksanaan hari guru itu? Spontanitas mereka menjawab, “25 November”. Jawabnya penuh semangat. Pertanyaan berikutnya kenapa ada perayaan hari guru? Jawaban mereka beragam, namun keberagaman itu masih satu keutuhan yang menggambarkan peran guru, paling tidak sesuai pengalaman siswa SD tersebut bersama gurunya . “Karena guru adalah yang mengajarkan ilmu” , "Karena guru yang mengajarkan al qur'an",   “Karena guru yang mendidik soal budi pekerti yang baik”, “ Karena guru mengajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya”. Kurang lebih begitu jawaban sederhana mereka secara beragam. Pertanyaan se