BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia sebagai makhluq yang bersosial dengan
manusia lainnya tentu perlu adanya tata tertib atau peraturan yang disebut
hukum, supaya dalam bertransaksi satu sama lainnya tidak ada yang dirugikan hak
dan kewajibannya. Adagium mengatakan dimana ada masyarakat disitu ada hukum. baik
hukum positif, adat, ataupun hukum islam.
Seiring dengan perkembang zaman, hukum islam yang
dijadikan aturan bagi umat muslim perlunya untuk disesuaikan dengan kondisi
manusia saat ini, namun bukan berarti merubah teks tersebut diganti dengan teks
yang baru. Melainkan menelusuri makna yang tersirat dibalik teks tersebut.
untuk mencari makna yang terdapat didalam tek tersebut. dibutuhkan pendekatan
hukum dengan filsafat. Secara otomatis, dengan pendekatan filsafat dibutuhkan
akal untuk meng interpretasi dan menggali makna dibalik teks tersebut. karena
berfilsafat sendiri esensinya mencari
kebenaran atau mencari makna sedalam – dalamnya dibalik sesuatu maka
dibutuhkanlah peran akal.
Begitu juga dalam filsafat hukum islam, sebenarnya
sedikit perbedaan antara filsafat hukum dan filsafat hukum islam, tapi yang
jelas, kalau filsafat hukum islam dilihat dari sumbernya bersumber pada al
qur’an dan as-sunnah. Oleh karenanya dalam mencari makna dibalik sumber
tersebut, terbatas pada teks suci. Pada makalah ini akan dibahas menganai
karakteristik hukum islam sebagai langkah menuju pendekatan hukum dengan
filsafat.
B. Rumusan
Masalah
1. Aspek
syariah yang berubah dan yang abadi ?
2. Hukum
islam ada diantara :
a.
Revelation
and reason
b.
Stability
and change
c.
Otoritarianisme
and liberalisme
d.
Moral
and legal
BAB II
PEMBAHASAN
1. Aspek
– aspek syariah yang berubah dan abadi
Syariat adalah hukum ketuhanan, baik mengenai sumber
ataupun dasarnya. Karena inilah maka dalam masalah perubahan hukum berhubungan
dengan keadaan tempat, waktu, dan kepentingan. Banyak para imam madzab
diantaranya Ibnu Qoyyim, Al izz Abdus
salam yang menulis karangan karangan mengenai teori hukum islam dan tujuannya,
seperti prinsip kemaslahatan dan mengenai sebab musabbab yang yang didasarkan
pada syariat. Dari sudut ini mereka membagi dalam dua besar. Ibadah dan
muamalah.S kalau dalam aspek ibadah kita tidak perlu memerankan akal dalam
melakukan interpretasi terhadap teks. Berbeda dengan muamalah tentang keduniaan
duniawi yang justru memerankal akal dalam memandangnya. Karena itu menyangkut
tentang kemaslahatn hambanya. Sesuai dengan tujuannya yaitu menarik kemanfaatan
dan menolak kemafsadahan yang merugikan kepentingannya. Dengan berbicara
syariat ini menarik apa yang dikemukakan oleh Ibnu Qoyyim syariat dasarnya
hikmat dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Syriat itu
keadilan, rahmat dan sepenuhnya setiap masalah yang keluar dari keadilan adalah
keadilan dan keonaran.
Adanya hukum pada nash didalam syariat, bukan tidak
lahir karena tidak ada illat alasannya, begitu juga yang disampaikan Al Alai,
apabila berakhirnya alasan pada hukum tersebut, maka berakhir pula ketentuan
hukumnya. Salah satu contoh aspek yang berubah dalam risalahnya bahwa guru
zaman permulaan islam menerima hadiah lumayan besarnya dari masyarakat. Abu
hanifah dan kedua orang sahabatnya tidak membolehkan mengajar al qur’an dengan
memungut upah.. akan tetapi setelah keadaan berubah dimana guru guru sudah lagi
menerima hadiah. Suatu contoh lagi dalam hukum pidana pencurian, bahwa seorang
baik laki laki yang mencuri , maka humannya dipotonglah tangannya. Hal ini yang
pernah dipraktekan pada zaman Rosulullah. Namun pada masa Umar Bin Khottab,
pernah menggugurkan hukuman tersebut pada suatu tahun terjadinya kelaparan,
yaitu atas alasan darurat, alasan kepentingan, dan alasan menghidupi jiwa
orang.[1]
Dalam hal ibadat, maka hukum tersebut tidak mengalami perubahan (abadi), sampai
kapanpun hukum yang menyangkut ketuhanan atau ibadah tetap selamanya abadi.
Sedangkan hukum yang menyangkut muamalah keduniaan, bahwasannya hukum tersebut
tidak lagi abadi, melainkan menyesuaikan dengan keadaan, perubahan zaman dan
waktunya. Dan disinilah maksud aspek syariah yang tidak abadi (berubah)
2. Pemahaman
hukum islam diantara karakteristiknya.
Dalam pembahasan filsafat hukum islam terdapat 3
kata yang perlu dimaknai sebelum membahas apa itu filsafat hukum islam dan
bagaimana karakteristiknya. Pertama filsafat
merupakan bahasa yunani dari kata philoshopia
atau philenshopias. Dari kata philo yang artinya cinta dan shopia yang artinya kebijaksanaan. Dalam
literatur bahasanya dapat difahami, bahwa fislafat adalah mencari kebenaran.
Dengan mencari kebanaran maka peran akal sangat signifikan untuk mencari
kebenaran. Kemudian hukum. sebenarnya tidak ada habisnya untuk mendefinisikan
apa itu hukum. salah satunya menurut Han kelsen bahwa hukum adalah suatu
perintah terhadap tingkah laku manusia dan kaidah primir yang menetapkan
sangsi. Adapun menurut sarjana Indonesia SM Amin SH mendefinikan bahwa hukum
adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sangsi.[2] Namun
secara luasnya bahwa hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil
pengundangan formal maupun dari kebiasaan.[3]lalu
hukum islam atau hukum syariah menurut ulama ushul fiqh abdul Wahhab Khollaf,
hukum adalah khitobnya Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang
mukallaf baik tuntutan, pilihan, dan kondisional.[4]
Adapun
filsafat hukum menurut Soejono Dirdjosisworo adalah pendirian atau
penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau Negara tentang
hakikat ciri – ciri landasan berlakunya hukum.[5] namun
dalam hukum islam atau syariah yang dibutuhkan dalam pendekatan filafat, yaitu
tidak keluar dari otoritatif teks tersebut. karena secara sumbernya hukum islam
bersumber pada hukum tuhan yang dinobatkan untuk menuntun umat manusia menuju
jalan damai di dunia dan bahagia dihari kiamat. Oleh karena itu berbeda hukum
islam dengan hukum positif yang dibuat oleh manusia sendiri. Pada pokoknya,
syariah merupakan pernyataan Tuhan dan usaha untuk menegakkan perdamaian dimuka
bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang.[6]
Jadi, perintah dan keadilan merupakan tujuan mendasar syariah. Hukum islam
menurut Noel J Coulson berada diantara:
a. Revelation and Reason
(wahyu dan akal)
Dalam memahami hukum islam terjadi pertentangan antara kelompok satu
dengan kelompok yang lain. Kelompok pertama memandang dengan pendekatan
subjektifisme tesistik dan kelompok kedua memandang dengan objektivisme
rasionalistik. Kelompok pertama cenderung untuk mengambil posisi melihat hukum
sepenuhnya beriontasi ilahiyyah yang dibakukan dalam kata kata yang dilaporkan
dari nabi berupa al qur’an dan assunnah. yaitu dengan mengambil hukum apa
adanya sesuai dengan apa yang tertera didalam teks. Selanjutnya kalau metode
yang kedua, lebih kepada analisis teks, indikasi ataupun eksplikasi(bayani).
Berkaitan dengan metode ini Al Jabiri menjelaskan dalam Takwin Al Aqla Al Arabi bahwa sistem epistemologi bayani yang murni
berangkat dari gaya penalaran arab yang tidak dimiliki oleh budaya atau
peradaban lain. Al jabiri menjelaskan bahwa epistimologi bayani dibangun atas
dua dasar prinsip. Pertama, prinsip
diskontinuitas (keterpisahan), dan kedua,
prinsip kontingensi(kemungkinan).[7]
Penetapan hukum islam, selalu dikaitkan dengan dalil.
Yang dimaksud dalil adalah sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang
dicari. Petunjuk itu secara dasarnya ada dua yaitu manqulah dan ma’qulah atau
kembali kepada dalil naqli dan dalil aqli. Keduanya harus bisa berjalan
beriringan dalam penetapan hukum islam. Menurut As Syatibi Dalam upaya memahami
konsep dalil menurut As Syatibi membagi dalil ada 2 . yakni kembali kepada
naqli semata mata dan kembali kepada ra’yi semata mata. Pengelompokkan ini
hanya dipandang dari segi sumbernya yang muncul. Sebab keduanya saling
membutuhkan satu sama lain. Naqli membutuhkan pemikiran, sedangkan pemikiran
tidak akan dapat diakui, apabila tidak disandarkan kepada naqli.[8]
Hubungan nash dengan akal, sebagaimana dikatakan
bahwasannya nash adalah sumber mutlaq dari tuhan, meskipun demikian, nash
diaplikasikannya terhadap kehidupan mayarakat. Sehingga ketetapan hukum perlu
untuk melihat keadaan yang dihadapi, dalam menghadapi. inilah akal dapat memberikan
peran untuk meng interprestasi apa yang dimaksud oleh nash tersebut. Menurut As
Syatibi, dalam hukum islam jika membicarakan hubungan antara nash dan akal, menurutnya dalam proses hukum
dan pencariannya wahyu dalam bentuk nash harus digunakan bersamaan dengan akal.
Bagi As Syatibi penemuan hukum melalui akal harus ada konfirmasi dari nash nash
yang bersifat universal dan mengandung universal. Penerapan hukum haruslah
bersama sama antara akal dan nash. Karena keduanya saling keterkaitan dalam
memahami hukum islam.[9]
Coulson mengajukan antara revelation and reason/ wahyu
dan akal, menurutya hukum Islam bisa dipandang sebagai hukum Tuhan dan hukum
produk para ahli hukum sekaligus. Wahyu mewakili faktor konstanta dan akal
manusia mewakili faktor perubahan (variabel) dan fluktuasi dalam yurisprudensi
Islam. Agen yang berperan dalam mengkombinasikan dua aspek tersebut adalah para
ahli hukum Islam (mujtahid).[10]
Para mujtahid memiliki kapasitas untuk mengetahui hukum dan bagaimana hukum
dijabarkan, ditafsirkan, dan diterapkan. Otoritas tersebut menggabungkan di
dalamnya kekuasaan agama, moral, sosial, dan hukum sekaligus.
b. Stability and Change.
(Stabilitas dan Perubahan)
Prinsib stabilitas dan perubahan ini, menurut
Coulson yang disampaikan oleh Akhwan Fanani mendasari prinsip yang lain selain
hukum dan moralitas, yang banyak mendapat perhatian dari ahli hukum islam demi
memenuhi kebutuhan. Substansi hukum Islam berevolusi melalui prosedur hukum
yang diadopsi dari prosedur hukum Barat untuk kebutuhan administrasi dan
peradilan. Persinggungan dengan hukum barat juga mengubah secara evolutif
substansi hukum islam. Ada perbedaan esensial antara filsafat hukum islam
tradsional dan modern. Kalau filsafat hukum islam tradisional, praktek dan
institusi sosial memperoleh pengesahan melalui dukungan positif wahyu.
Sedangkan yang kedua dukungan itu terletak dari tidak adanya larangan dari
wahyu.[11].
seiring dengan perkembangan zaman, turut pula mempengaruhi pada perubahan
kondisi sosial, dengan demikian stabilitas hukum perlu untuk menjamin dalam
menanggapi perubahan sosial tersebut.
Jika hendak mereaktualisasikan ajaran Islam,
khususnya dalam bidang hukum, khsusunya dalam bidang fiqih, maka kita harus
mendominasikan akal ketimbang wahyu. Apalagi hal itu menyangkut pada persoalan
masyarakat. Hukum diturunkan untuk masyarakat, oleh karenanya stabilitas hukum,
dalam penerapannya bergantung pada keadaan masyarakat.[12]perubahan
dalam masyarakat, hukum perlu dikembangkan untuk merelevankan dalam bersemayam
dengan mayarakat itu sendiri.
Dengan perubahan keadaan sosial masyarakat,
dibutuhkan pemahaman terhadap hukum islam. Pemahaman hukum islam ada dua hal
yang perlu diperhatikan yaitu hukum islam yang berdimensi ilahiyyah dan
berdimensi insaniyyah, yang kedua ini perlu pemahaman yang sungguh sungguh
yaitu melalui dua pendekatan. Pendekatan kebahasaan dan maqosid. Dalam hal ini,
produk hukum digali dalam ber ijtihad guna meng istimbat hukum.[13]
oleh karenanya dalam pemikiran yang ditawarkan oleh Coulson bahwa hukum
bukanlah sekedar norma statis yang menjamin dan menertibkan, melainkan dapat
mendinamiskan pemikiran untuk merekayasa tingkah laku masyarakat sesuai
kemaslahatan. Begitupun Dr. Ahmad Zaki Yamani yang mengemukakakan pendapatnya
tentang hukum dalam munculnya masalah yang baru, beliau berpendapat bahwa
Negara itu dapat menerapkan hukum penyelesaian baru bagi masalah baru, dengan
mengambil cara penyelesaian itu dari prinsip-prinsip umum syariah dan
mementingkan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat.[14]pandangan
beliau meng isyaratkan bahwa ke stabilitasan hukum perlu untuk menaggapi
perkembangan/perubahan kondisi sosial masyarakat.
c.
Otoritarianisme
and Liberalisme
Dalam memandang hukum islam yang berada diantara
otoritarianime dan liberalime, akademisi barat mengalami kesalah pahaman dalam
memandang mengenai kerja hakim. Menurutnya, hakim dalam menggali hukum terbebas
dari aturan yang menjadi landasan(bebas). Namun berbeda dengan Noel J Coulson,
ia berpendapat bahwa sebenarnya hakim dalam Islam terikat dengan aturan yang
dipahami dari hukum Allah. Persoalan sebenarnya dalam hukum Islam, menurut
Coulson, bukan terletak pada tidak adanya aturan yang membimbing, melainkan
terletak pada ketegangan antara kebebasan individu dan otoritas yang mengikat.
Pada awal perkembangan hukum Islam, setiap ahli
hukum Islam memiliki kemerdekaan untuk melakukan penelitian mengenai hukum
Islam (berijtihad). Pada perkembangannya muncul pembatasan-pembatasan karena : pertama, berkembangnya teori hukum yang
memberikan batasan orang bisa melakukan ijtihād dan kedua, munculnya pengelompokan para ahli hukum ke dalam
mazhab-mazhab hukum.[15]
dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, hakim terikat dengan keotoritirianisme
madzab hukum. para ahli hukum sendiri tidak lagi menafsirkan al qur’an dan
hadist secara mandiri, melainkan terikat untuk bertaqlid kepada otoritas
pendiri madzhab. Penalaran bebas yang menjadi karakter ahli hukum awal
perkembangannya berubah pada otoritarianime madzhab hukum.
Sintesis antara kebebasan individu dan
otoritarianisme mazhab tersebut terjadi dalam legislasi dan peradilan di
negara-negara Muslim modern. Para ahli hukum mencoba memecahkan otoritarianisme
mazhab melalui rujukan langsung terhadap al-Qur’an dan Hadits dengan tidak
menentang secara langsung otoritas mazhab. Model eklektis (talfiq atau
takhayyur) digunakan untuk mencari pilihan hukum yang lebih baik berdasarkan
argumentasi teks al-Qur’an dan Hadits.[16]
d. Moral
and legal.
Membicarakan legalitas atau hukum dan moral
merupakan satu kesatuan yang ber implikasi pada kedudukan hukum itu sendiri.
Disini akan dibahas mengenai hukum ketika berada diantara legal dan moral.
Legalitas menurut Immanuel Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidak
sesuaian samata mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah
belaka. Sedangkan moralitas dalam
pandangan Kant dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan
norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban
kita. Kant disini membagi moralitas menjadi 2. Pertama, moralitas heteronom, memaknai bahwa kewajiban ditaati
bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan sesuatu yang lahir dari kehendak
pelaku. Kedua, moralitas otonom,
digambarkan kesadaran manusia dalam mentaati peraturan tersebut. karena
diyaqini sebagai sesuatu yang baik[17].manusia
yang bertindak baik berdasar pada otoritas kesadaran pribadi dan bukan atas
pengaruh dari luar manusia[18].
Dalam artian, bukan karena takut teradap pemberi hukum. dalam memandang hukum
dan moral, sangat kaitan di antara keduanya. Berbeda dengan madzab positivisme
yang menantangnya, bahwa hukum harus dipisahkan dengan moral.
Dalam masyarakat Barat, meski terdapat demarkasi
antara hukum dan moralitas, namun demarkasi tersebut terkadang tidak tegas.
Perdebatan yang muncul di kalangan ahli hukum Inggris, misalnya adalah apakah
hukum harus mendukung moralitas masyarakat atau tidak. Dalam hukum Islam,
demarkasi antara hukum dan moralitas sejak awal lebih tidak jelas. Hukum Islam
mencakup wilayah-wilayah yang dalam pandangan hukum modern termasuk hukum
publik dan hukum privat, sekaligus mencakup nilai ritual, moral, dan etika. Hal-hal
yang tidak termasuk dalam moral, sedangkan termasuk pada wilayah hukum. Coulson
mencohtohkan hubungan kelamin asal suka sama suka dalam hukum barat tidak ada
aturan hukumnya, sedangkan pada hukum islam termasuk katagori pidana.[19]
dalam Islam, hukum dan moral tidak punya perbedaan
yang jelas karena hukum dan moral itu sendiri sangat berkaitan satu sama lain
dan keduanya sama-sama berfungsi menjaga keutuhan, kestabilan, keamanan dan
berupaya menciptakan kedamaian dan kemaslahatan di t-engah-tengah masyarakat
muslim sehingga keduanya sangat sulit dipisahkan serta saling mempengaruhi.[20]
BAB III
PENUTUP
Dari paparan
yang ada dalam makalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam syariat, ada
aspek yang abadi dan aspek yang berubah. Aspek syariah yang abadi yaitu
berkenaan dengan ketuhanan atau ibadah. Sedangkan aspek yang berubah yaitu yang
berkenaan dengan muamalah. Dalam penetapan hukum khususnya dalam bidang malam
tidak lepas dengan tanpa adanya alasan. Jadi apabila hukum tersebut taka da lagi
alasan, maka berakhir pula hukum tersebut.
Hukum dibuat
untuk diperuntukkan kepada manusia, baik itu hukum adat, positif ataupun hukum
islam. Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman dapat memberikan ruang
bagi hukum untuk menyesuaikan dengan keadaan masyarakatnya. Agar hukum itu
tidak kaku dengan ketekstualnya. Untuk memahami hukum yang menyesuaikan dengan
ruh manusiaanya dan keadaannya, dibutuhkanlah pendekatan filsafat untuk melihat
makna yang tersirat dibalik teks tersebut. diatas sudah dijelaskan bahwa hukum
itu menurut Noel J Coulson menjelaskan bahwa hukum islam tersebut berada pada
akal dan wahyu (revelation and reson) stability and change dimana selain hukum
itu berstabil dengan hukum itu sendiri, namun juga menyeuaikan dengan perubahan
keadaan sosialnya. Selanjutnya otoritarianisme and liberalism, bahwa hukum
bukan hanya terikat pada keotoritasan teks tersebut, melain menggali hukum
dengan mengistimbatul hukmi dengan ijtihad. Dan yang terakhir hukum islam
berada pada legalitas dan moralitas. Dimana hukum bukan sekedar norma aturan
yang bisa dipandang secara dhohir saja. Melainkan juga kepada moralitas.
Dari paparan
makalah ini, apabila ada kesalahan baik dalam segi penyampaian ataupun
perangkaian makalah ini, kami mohon maaf yang tiada batasnya. Tentunya manusia
sebagai makhluq tuhan juga yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, untuk
menutupi kesalahan tersebut, kami mohon kritik dan saranya para pembaca guna
membenahi kesalahan yang telah penulis lakukan. dalam penjelasan yang begitu
singkat ini, semoga dapat hal yang kita petik untuk menambah pengetahuan dalam
terus semangat mencapai ridhonya dan menjadi manusia yang lebih baik dari pada
sebelumnya. Karena pepatah mengatakan”
sungguh beruntung orang yang hidup jika lebih baik dari sebelumnya”
inunk ainul yaqin
mahasiswa fakultas syariah hukum uin walisongo semarang
[1] .Sobhi Mahmassani. Filsafat Dalam Hukum Islam. Bandung : PT
Al maarif. 1977 hal 158-167
[2] C.T.S. Kansil. Pengantar ilmu hukum dan tata hukum
indonesia. Jakarta. Balai pustaka. 1983
[3] Muhammad Muslehuddin. Filsafat hukum islam dan pemikiran
orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991 hlm13
[4]
Abdul Wahhab Khollaf . Ilmu
ushulul fiqhi. Al Haromain.2004 Hlm 100
[5] Teguh Prasetyo dan Abdul Karim
Barkatullah Filsafat, teori dan ilmu
hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo 2014 hlm 8
[6] . Muhammad Muslehuddin. Filsafat hukum islam dan pemikiran
orientalis. hlm 77
[7] .Muhammad Syukri Al Bani Nasution.
Filsafat hukum islam. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada. 2014 hlm 161-162
[8] . Duski Ibrahim. Metode penetapan hukum islam(membongkar
konsep al istiqra’ al ma’nawi as syatibi).yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. 2008 hal
82
[9] . Duski Ibrahim. Metode penetapan hukum islam(membongkar konsep
al istiqra’ al ma’nawi as syatibi). 2
hal 98-102
[10] . Ahkwan fanani IAIN
Walisongo. Perspektif Coulson terhadap
rumusan dealiktika hukum islam. file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[11] Ahkwan
fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap
rumusan dealiktika hukum islam. file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[12] Hamzah fak. Syariah dan hukum UIN
Alaudin makasar.Konflik dan ketegangan
dalam hukum islam antara stabilitas dan perubahan file:///C:/Users/PC/Downloads/1481-3038-1-PB.pdf
[14] .Nurcholish Majid. ISLAM doktrin dan perdaban.
Jakarta: Graha Pramadina. 2008. Hlm
IXXVI
[15] .
Ahkwan fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap
rumusan dealiktika hukum islam. file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[16] .
Ahkwan fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap
rumusan dealiktika hukum islam. file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[17] .Soekarno dkk. Filsafat Hukum teori dan praktik. Jakarta : KENCANA. 2013 hlm
151-154
[18] Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press. 2009 hlm 73
[19] Akhwan Fanani IAIN Walisongo. Perspektif Coulson terhadap rumusan
dealiktika hukum islam.
file:///C:/Users/PC/Downloads/ipi296498.pdf
[20] Muhammad Faisal hamdani. Hukum Dan Moral analisis terhadap pemikiran
Noel J Coulson. file:///C:/Users/PC/Downloads/artikel(1).pdf
Komentar
Posting Komentar