(sumber: tatkala.co) |
Setelah terlantiknya Presiden dan Wakil Presiden RI, Ir. Joko Widodo dan
Prof. KH. Ma’ruf Amim Minggu kemarin 20 Oktober 2019, sontak ucapan selamat
mengalir deras baik di dunia nyata maupun di jagat maya. Ucapan itu datang
dari berbagai lapisan baik yang tergabung dalam organisasi, pejabat
pemerintahan, masyarakat sipil maupun secara individu.
Hari itu sayapun sebagai warga negara tidak ketinggalan memberikan salam
hormat kepada beliau lewat pamflet yang saya buat sendiri. Setelah pamflet
itu jadi kemudian saya menyebarnya di berbagai group WA ataupun story WA.
Setelah pamflet terkirim di beberapa group yang saya tergabung di dalamnya
maupun secara lewat story WA, selang beberapa detik kemudian komentar
negatif, cibiran, dan hujatan (Meski sebenarnya semua itu adalah lelucon
dan guyonan belaka sih) menggeranyangi ponselku entah bagi mereka yang
mendaku dirinya anti pemerintah, kecewa pada pemerintah, tidak percaya pada
pemerintah, sok kekiri-kirian, mendaku kiri, sampai pada mereka yang hanya
sekedar menjadi follower petaklid buta.
Taklid buta ini biasanya hanya terpengaruh oleh ajakan orang, seruan teman,
obrolan kawan, rayuan sahabat dan perintah siapun tanpa ada pijakan dan
kemauan mencari tahu lebih detail, menyikapi secara bijak, mempertanyakan
secara kritis, mengkaji lebih dalam, dan menilai lebih luas. Di fikiranya
pokoknya yang penting “IYA” dengan segala keanggug -anggugkan kepala.
Membuka ponsel waktu itu sebenarnya saya capek dan lelah merespon komentar
dari mereka satu persatu di berbagai group ataupun lewat jalur pribadi.
Untungnya tertawaku yang geli dan terbahak-bahak membawa lelah dan capek
kian menjadi hilang seketika. Cuma saja sebagai pelajar bodoh seperti saya,
saya masih berkeyakinan untuk selalu mengingatkan diri sendiri bahwa mau
menjadi pendukung ataupun anti kita/saya harus tetap mengedepankan fikiran
kritis dan waras serta tidak puas dengan apa yang kita ketahui.
Dalam arti semitsal ketika kita berada di pihak pendukung, apabila dalam
setiap kebijakan yang tidak pro masyarakat dan jauh dari nilai kemanusiaan
harus kita kritik, kaji, dan kritisi sesuai dengan kemampuan kita
masing-masing sebagai siapa. Tidak justru mendukung secara membabi buta
dengan segala kefanatikanya layaknya yang dilakukan sebagian elite politik
bangsa ini. Hanya karena kesamaan golongan tidak sungkan menutup-nutupi
kebobrokan yang sebenarnya terjadi.
Begitupun semistal kita berada di pihak kontra atau arti pemerintah
katakanlah seperti sikap sebagain kawan saya. Kritisisme mestinya harus
tertanam dan menjadi pegangan dalam ketidaksetujuanya. Bukan justru hanya
mengandalkan urat nadi dan teriakan hura - hura “lawan dan anti pemerintah”
tapi tidak mengerti apa dan mengapa harus mengambil sikap anti pemerintah.
Bahaya.
Apalagi persoalanya terkait politik kenegaraan di Indonesia. Tentu sangat
luas(baca:politik) dan butuh kesiapan, kometmen, dan kemauan segala pihak
maupun segenab elemen untuk meraih apa yang dicita-citakan bangsa ini
bersama-sama ke depan (Baca: cita-cita bangsa). Sulit rasanya untuk maju
jika semua masalah hanya dibebankan pada seorang pemimpin.
Sebuah kebodohan yang sangat sempurna jika kita menjadi pendukung atau
ataupun anti tapi mengesampingkan nilai kritisisme dalam diri sendiri kala
memandang persoalan. Apabila kritisisme dikesampingkan yang terjadi adalah
seseorang akan sangat mudah menilai, mudah menjustifikasi, mudah mengklaim,
bahwa mereka salah dan pendapat saya paling benar. Ketiadaan spirit mencari
tahu lebih dalam ini adalah tanda kegelapan yang memburamkan pikiran kita
menjadi picik. Yang hanya menerima secara tunggal. Apalagi kaitanya dengan ilmu pengetahuan.
Konsep, ilmu, teori, metode, pendapat, fatwa, pandangan, faham, gagasan,
dan ide ia tidak lahir dari ruang hampa. Faktor kondisi yang sangat mungkin
menciptakan mengapa harus mengeluarkan pendapat sedemikian. Tidak berhenti
belajar, mencari tahu, mendengarkan pendapat orang, dan mengais ilmu adalah
cara terbaik dan terbijak yang mesti harus dilakukan. Khususnya bagi
kita/saya yang masih dalam taraf kebodohan untuk terus belajar sampai kapan
pun, di manapun, dan kepada siapapun. Sebagai pelajar, kepuasan pada ilmu
secara heroik adalah bencana dan musibah sangat dahsyat dalam kancah dunia
pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar